"Ahahahahaha!"
"Radiiitttt!!! jangan kencang-kencangg!!"
"Ahahahaha! ini hebat Riiettt!"
"Ta-ttapi.. a-aakuu.. ta-ta-takuuuttt."
"Ahahahaha!!!" tawa pemuda berambut cepak itu makin kencang, sekencang laju sepeda yang mereka naiki itu menuruni bukit. Dua anak manusia itu baru saja pulang sekolah, pelajaran tambahan karena akan menghadapi UN mengharuskan mereka pulang sore. Tapi tak apa, itu menjadi momen manis untuk mereka berdua.
Raditya, pemuda yang duduk di sadel depan sepeda itu tertawa riang saat angin menerpa wajahnya, menuruni bukit dengan sepeda yang berkecepatan tinggi sudah menjadi hobinya sejak kecil. Dia sudah anti dengan segala ketakutan akan jatuh, tergelincir, rem blong, atau apapun namanya. Berbeda dengan gadis yang sedang memeluk erat pinggangnya. Gadis itu semakin mempererat pelukannya dan memejamkan matanya kala laju sepeda itu semakin kencang.
"Ririet.. ke pantai yuk." ajak pemuda itu, mata coklat kehitamannya menangkap siluet pesisir pantai yang kini tidak jauh darinya. Gadis yang dipanggil Ririet itu mengangguk dalam diam, masih berkosentrasi untuk tetap mempererat pelukannya. Oh.. rupanya sekarang pelukan itu butuh konsentrasi.
Pemuda bertubuh jakung itu memperlambat laju sepeda hitam bermotif kobaran api miliknya. Menarik napas lega ketika maniknya memandang lurus pada hamparan pasir putih yang tersapu buih ombak. Segaris senyum tipis terukir di wajahnya, kemudian diapun menoleh pada gadis yang masih terus saja mencengkram bagian depan kemeja sekolahnya itu.
"Oiii.. oiii Ririet, udah nyampe nih. Jangan nyuri kesempatan terus dong buat meluk-meluk gue."
Bletak!
"Wadaaawww.. kok gue dijitak sih?" tanya Radit sembari mengelus-elus kepalanya.
"Emangnya yang nyuri kesempatan siapa? Weekkkk.." gadis berlesung pipit itu memeletkan lidahnya, turun dari sadel sepeda dan berlari-lari kecil menyongsong angin. Radit tersenyum, menatap pada salah satu maha karya Tuhan itu. Disandarkannya sepeda miliknya pada salah satu pohon kepala yang tumbuh di sana, sebelum akhirnya berlari menyusul gadis yang terlebih dahulu bermain dengan ombak.
“Radit.. boleh nanya sesuatu nggak?” Tanya Ririet
“Boleh… boleh, mau nanya apa?”
“Kenapa kau begitu menyukai langit?” tanya Ririet.
“Karena…” pemuda itu berhenti sejenak, memandang pada sepasang bola, mata bening yang balas memandanginya dengan rasa penasaran. Mengintip sejenak dibalik manik yang bagai berlian itu, “karena langit adalah hidupku..” jawab Radit dengan tangan yang direntangkan matanya terpejam seolah meminta agar angin sore membawanya ke langit, “aku ingin agar angin membawaku padanya… aku sangat mencintai langit. Dan aku berjanji, suatu saat nanti aku akan terbang kepadanya.”
Ririet terdiam. Kemudian Radit membuka matanya, memperlihatkan suatu pengharapan pada Ririet
“Riet…” Radit memanggilnya pelan, “kamu mau kan jadi langitku?”
~0o0~
THE END.
Setan yang rasuki saia pas bikin nih cerita gaje… hahahaha.
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?