The Feeling [Second Pieces]

Wednesday, May 15, 2013



here
Sudah hari ketiga sejak percakapanku dan Rhea tempo hari di perpustakaan kampus. Tiga hari pula Rhea tampak sedang menjaga jarak denganku. Entah mengapa aku merasa ada yang salah dengan diriku, dengan kejadian hari itu, dengan perkataanku, dengan perasaanku. Di dalam hatiku aku merasa ucapanku begitu keterlaluan, dan jauh di dalamnya lagi, di bagian paling dasar aku merasa sedang mengingkari sesuatu.
Aku tidak tahu mengapa aku merasa seperti ini, merasa merindukan suara Rhea yang bercerita tentang lelaki-lelaki yang ia kagumi, yang ia suka, yang ia dekati atau yang sedang ia jauhi. Aku rindu pada anak-anak rambutnya yang jatuh di pipinya, atau pada wajah jahilnya, atau pada matanya yang menyipit curiga. Aku rindu pada senyum cerianya ketika tengah berkisah tentang petualangan hatinya, meski ada rasa iri yang kadang hinggap padaku. Aissshh sialan! Kenapa omonganku jadi kedengaran kayak orang habis putus cinta?

The Feeling [First Pieces]

Monday, May 13, 2013



"When I see you, I fell in love with you. And you smile because you know it."

-Arrigo Boito-

Aku tidak bisa mengerti Rhea.
Rhea, si gadis yang begitu mudah jatuh cinta pada setiap laki-laki yang ia anggap baik, tampan, kaya, cerdas, sekalipun orang laki-laki itu baru sepersekian detik ia temui. Dalam satu perkenalan dia bisa mengidentifikasi laki-laki mana saja yang bisa ia taksir mana yang tidak. Dia seperti punya radar tersendiri untuk laki-laki yang ia angggap memenuhi kriterianya. Tinggi. Atletis. Beralis tebal. Baik hati. Penyayang. Sempurna. Kriteria tipikal yang akan disebutkan setiap wanita bila diminta untuk mendeskripsikan laki-laki idaman mereka. Tapi bagi Rhea berrbeda, ia tidak terlalu memperhitungkan fisik yang mumpuni meskipun terkadang pesona raga lelaki menahan matanya sesaat. Ia tidak akan kenyang dengan melihat bungkusnya saja, ia perlu tahu isinya juga. Dalam hal ini. Otaknya. Kepalanya. Kecerdasan. Tidak perlu sekelas Einstein, cukup untuk bisa menandingin lontaran kalimat dari Rhea yang kadang-kadang perlu imajinasi tinggi serta daya analitis yang kuat, dijamin Rhea rela menghabiskan berjam-jam bersama lelaki 'nyaris Einstein' itu.
Tapi kembali lagi. Rhea begitu mudah jatuh cinta pada fisik sekalipun fisik bukan incaran pertamanya. Bingungkan? Saya saja yang sudah bertahun-tahun jadi sahabatnya bingung dengan konsep hati Rhea yang aneh.
Kakak seniornya di sekolah menengah. Tampan, anggota Paskibraka, ahli pelajaran eksak. Ada sekian minggu Rhea berusaha untuk menambah tinggi badannya agar bisa masuk dalam pasukan pengibar bendera pada acara17-an di sekolahnya. Dengan melibatkan tiang gantungan, obat cina, melakukan gerakan-gerakan menarik-narik kaki dan tangan, pada akhirnya ia bisa sukses masuk ke lingkarna paskibra. Endingnya? dia bisa dekat dengan senior incarannya itu. Ujungnya? baru tiga hari perkenalan dia sudah ogah bertemu cowok tinggi itu. Alasannya?
"Tuh cowok nggak bisa diajak ngomongin Dan Brown, larinya malah ngomongin girl band. Kampret."
Atau yang sedang terjadi sekarang ini. Rhea seorang gitaris band indie jebolan kampus tetangga. Alasan ketertarikan; bisa main gitar, alisnya tebal, tampang oriental ala boyband korea. Dia bela-belain beli gitar ratusan ribu, belajar main gitar sampai jari-jarinya melepuh, beli buku chord-chord gitar, dan si gitaris mulai memperhatikannya saat dia manggung di sebuah festival musik kampus dengan skill pas-pasannya. Endingnya? Dia makin dekat sama cowok gitaris itu, malah sempat diajari main gitar dengan cara picisan film-film Hollywood. Biasalah, si cowok di belakang, sambil memposisikan tangannya pada tangan si gadis, sesekali dengan gerakan yang tidak disengaja tapi sebenarnya disengaja si cowok menyentuh jemari si cewek yang sedang berusaha membentuk kunci C G A Minor dengan tangan yang gemetaran. Lalu mereka saling berpandangan, tersenyum, lalu seisi dunia menghilang dan menyisakan mereka berdua sebagai pemilik bumi ini.

Si jatuh yang berkali-kali patah.

Thursday, May 2, 2013



Sebuah percakapan. Dini hari.
"Kamu berdetak terlalu cepat."
"Dan aku sudah bosan memikirkan dia."
"Katakan padanya agar ia tidak jatuh terus-terusan. Capek saya berpikir terus. Memikirkan orang yang sama."
"Tapi dia tuli, sepertinya."
"Atau buta. Badannya sudah dijahit sana sini, tapi dia tidak bosan-bosan jatuh juga."
"Kamu tahu kejadian kemarin? Saat Mata melihat lelaki itu di seberang sana bersama gadis lain. Aku bisa menebak mengapa jantung marah-marah kemarin, dia tidak bisa mengontrol infeksi rasa yang diberikan kepadanya. Memompa darah terus menerus."
"Saya kasihan sama tubuh ini. Gara-gara kebodohan segumpal daging yang bahkan tak eksis di dalamnya, dia terpaksa menderita."
"Padahal ia bisa bangkit, dianya saja yang tak mau."
"Tidak bisakah kita beristirahat sekarang? Kantong hitam di bawha saya sudah semakin besar. Saya harus kelihatan oke besok pagi. Tubuh ini mau presentasi."
"Saya juga mau tidur, dari tadi Alam Mimpi sudah gedor-gedor pintu mau masuk. Tapi si bodoh ini tidak mau keluar dari Alam Khayal."
"Kenapa kita harus seperti ini?"