The Feeling [Second Pieces]

Wednesday, May 15, 2013



here
Sudah hari ketiga sejak percakapanku dan Rhea tempo hari di perpustakaan kampus. Tiga hari pula Rhea tampak sedang menjaga jarak denganku. Entah mengapa aku merasa ada yang salah dengan diriku, dengan kejadian hari itu, dengan perkataanku, dengan perasaanku. Di dalam hatiku aku merasa ucapanku begitu keterlaluan, dan jauh di dalamnya lagi, di bagian paling dasar aku merasa sedang mengingkari sesuatu.
Aku tidak tahu mengapa aku merasa seperti ini, merasa merindukan suara Rhea yang bercerita tentang lelaki-lelaki yang ia kagumi, yang ia suka, yang ia dekati atau yang sedang ia jauhi. Aku rindu pada anak-anak rambutnya yang jatuh di pipinya, atau pada wajah jahilnya, atau pada matanya yang menyipit curiga. Aku rindu pada senyum cerianya ketika tengah berkisah tentang petualangan hatinya, meski ada rasa iri yang kadang hinggap padaku. Aissshh sialan! Kenapa omonganku jadi kedengaran kayak orang habis putus cinta?
Buru-buru aku menggeleng-gelengkan kepalaku, gara-gara memikirkan Rhea aku tidak menyadari bahwa dosen yang tadi memberikan materi Genetika sudah keluar dari ruang kelas. Teman-temanku sibuk membereskan peralatan tulis mereka, dan beranjak keluar. Diiringi helaan napas yang panjang, aku melakukan hal yang sama. Sesaat, ada satu hal yang terlintas di kepalaku
Menelepon Rhea.
Bukan hal yang besar-besar amat, tapi bagiku menelepon Rhea itu adalah sesuatu yang perlu dipikirkan matang-matang. Aku tidak pernah menelepon Rhea duluan. Biasanya, dialah yang menelepon bila memerlukan sesuatu, dialah yang mengirimkanku pesan singkat bila ingin bertemu, dialah yang membutuhkanku. Dan aku merasa senang karenanya. Dan kini, saat memutuskan untuk menelepon dirinya, aku merasa... aku merasa aku yang membutuhkannya.
'Ah tidak, aku meneleponnya hanya ingin tahu kabarnya saja. Iseng. Tidak lebih.' sugesti pikiranku.
Namun, kala aku mengangkat kepalaku, menempelkan telepon genggamku ke telinga kanan, sosok yang hendak aku ajak bicara itu sudah berada di depanku. Hanya berjarak tiga meter dariku.
Aku bisa menangkap keterkejutan di mata beningnya, kejut yang sama seperti yang kurasakan. Rhea bergerak kikuk di tempatnya berdiri, lalu dengan langkah yang tergesa-gesa mencoba berjalan melewatiku.
"Rhea," panggilku, menahan lengannya. Ia tetap diam, genggamannya pada buku yang ia peluk semakin erat. "Kamu kenapa?"
"Kenapa?" tanyanya, ada cekat dalam suaranya.
"Kamu ada masalah?" aku mencari-cari pandangannya.
"Nggak kok, nggak ada."
"Ada masalah sama cowok-cowok kamu?" tanyaku lagi, mencoba mencairkan kekakuan. Sayangnya, atmosfer yang ada di sekitar kami malah terasa semakin dingin.
"Nggak."
"Aku ada salah sama kamu?"
Ia tidak merespon secepat yang tadi. Ada jeda panjang yang hadir kala aku menunggu jawabannya.
"Bukan di kamu, tapi aku." gumamnya setelah lama menimbang-nimbang.
"Maksud kamu?" keningku mengernyit, kedua tanganku menggenggam bahunya, membalikkan posisinya menghadap kepadaku.
"Aku, aku yang salah."
"Rhea, ngomong yang jelas deh. Kamu tahu aku nggak suka sesuatu yang berbelit-belit."
Matanya seolah menolak untuk melihatku, manik hitamnya tak pernah fokus padaku. Padahal biasanya, setiap kali ia ingin bercerita, dia selalu mencari-cari aku. Kini kenapa dia sekarang begitu menghindariku.
"Rhe..."
"Kenapa kamu masih belum sadar-sadar juga?" gumamnya pelan, bahunya bergerak menjauhiku. "Mengapa di saat aku mengharapkan hal yang lebih sama kamu, aku malah terjebak di persahabatan yang tidak aku inginkan?"
"Rhe—jangan berputar-putar deh, kamu nggak pengen sahabatan sama aku? Aku ada salah sama kamu? Aku nggak mengerti maksud kamu apa." ucapku depresi.
Aku bisa melihat ada retak di matanya, menyalang menahan sesuatu untuk keluar dari sana. "Kamu nggak perlu mengerti ini semua, cukup kamu dengarkan saja. Sama seperti yang sering kamu lakukan." katanya menghirup napas panjang, "Kamu nggak ada salah apa-apa sama aku. Aku yang salah karena aku sudah berharap lebih sama kamu. Dan mulai sekarang, aku nggak akan lagi cerita sama kamu tentang apa yang aku lakukan."
"Rhe... kenapa?" gadis ini omongannya makin berputar-putar.
"Karena aku suka kamu." katanya pelan, meski begitu mampu membuat jantungku seolah berhenti berdetak. "Aku sayang  sama kamu, dan aku memilih menyerah sekarang. Karena aku tahu, kamu nggak mungkin mau sama aku. Aku suka segala hal yang ada di kamu, tapi kamu nggak pernah sadar. Aku selalu cari orang yang lebih baik dari kamu, lebih tinggi, lebih ganteng, lebih kaya, lebih pintar, tapi tetap saja... aku nggak bisa. Aku nggak bisa melupakan kamu, karena cuma kamu yang aku mau... Kamu yang sebenar-benarnya punya semua perasaan aku. Cuma kamu, dan aku nggak bisa nggak jatuh cinta sama kamu."
"Rhea..."
"Aku aja yang terlanjur buta sama rasa sayangku ke kamu. Semua perhatian kecil kamu aku anggap besar, padahal sebenarnya kamu cuma biasa-biasa aja. Aku sadar sekarang, Dit. Hubungan ini nggak akan mungkin bisa lebih teman."
Usai berkata seperti itu, Rhea langsung pergi begitu saja dari hadapanku tanpa memberikanku kesempatan untuk berbicara. Dan aku seolah-olah lumpuh, tidak mengejarnya tidak pula berteriak untuk menahannya.
Ada yang salah.

~0o0~

Keriuhan langsung saja terdengar begitu aku menyelesaikan petikan terakhir pada gitar listrik yang kupegang. Kulihat wajah sumringah teman-temanku, tak ingin sombong tapi tampaknya mereka puas dengan penampilan solo akustikku yang membawa lagu The Reason. Sembari turun dari panggung aku menyapukan pandanganku dan mendapati Rhea ada di sana, di sudut cafe sedang berkumpul bersama teman-teman kelasnya dan teman sekelasku  yang juga heboh karena penampilanku. Sesaat aku bertemu pandang dengannya sampai ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dariku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, namun ketika dia melakukannya hal itu terasa begitu menyakitkan. Aku mempercepat langkahku, membelah kerumunan padat di depan panggung dan berjalan menuju sudut tempatnya berada. Ada hal yang ingin aku selesaikan dengannya. Dia tidak bisa terus menjauhiku seperti ini.
"Radittt!! Gilaaa penampilan lo keren bangettt!" Nanda, si manis berkawat gigi itu langsung menyambutku dengan menjerit senang. Teman-temannya yang lain juga turut menyampaikan pendapat mereka.
"Kalau tahu kamu jadi ganteng gitu pas lagi main gitar, aku putusin deh si Adri sekarang juga. Biar gue jadi pacar kamu yaa, Radit yaa? Yaa?"
"Idihhh, aku laporin Adri baru tahu rasa kamu!" Tia, temanku yang lain menimpali, "sama aku aja ya, Dit. Aku masih single kok, dan aku rela ngikutin kamu ke mana-mana asal kamu mau main gitar terus di dekat aku."
"Idihhh, ngawur!"
"Tauk nih cewek-cewek langsung pada sakit jiwa semua kalau lihat cowok bening dikit aja." ujar Andra, salah seorang temanku.
Aku hanya terkekeh kecil menanggapi ucapan mereka semua. Lebih dari ini, aku mengharapkan Rhea yang datang memberikanku ucapan selamat karena telah berhasil tampil maksimal malam ini. Sesaat aku melayangkan pandangan kepadanya dan dia tampak sibuk dengan gadget di tangannya.
Dan jujur saja, sikapnya yang seperti ini membuatku gusar. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku saat dia berlaku seperti ini. Sejak kejadian beberapa hari yang lalu, diamnya Rhea kian menjadi. Tak hanya menghindariku, kini ia bahkan tidak menatapku sama sekali. Dia begitu... dingin.
"Hai, Rhe..." sapaku, sembari menggeser dan duduk di kursi yang ada di hadapannya. Rhea hanya melirikku sekilas dan tersenyum singkat.
Matanya yang tak lagi ceria menatapku, senyumnya yang tak lagi lebar, dan dirinya yang seolah tak peduli. Ini semua salah, tidak seharusnya seperti ini.
Aku yang tengah menyusun kata-kata apa yang bisa kuucapkan kepada Rhea langsung menaikkan pandanganku ketika mendengar suara kursi yang bergeser. Rhea berdiri dan bergegas meninggalkan area Cafe. Tanpa pikir panjang, aku segera mengejarnya. Apa yang terjadi di antara kami harus aku selesaikan saat ini juga.
"Rhea, tunggu." kataku begitu berhasil meraih lengannya. Membuatnya berhenti melangkah. "Kita harus bicara."
Dia menoleh sedikit, "tidak ada yang perlu kita bicarakan, Dit."
"Ada, Rhe. Masih ada urusan yang belum selesai di antara kita."
"Kalau yang mau kamu bicarakan itu masalah yang kemarin-kemarin, rasanya semua sudah jelas. Aku tahu kamu nggak punya perasaan apa-apa ke aku. Dan sekarang aku sedang berusaha melupakan kamu. Jadi tolong, jangan berlaku seperti ini sama aku."
"Kenapa kamu selalu menarik kesimpulan sendiri?" tanyaku.
"..."
"Tentang perasaan kamu, apa kamu benar-benar merasa seperti itu ke aku? Beneran sayang?" setengah mendesak, aku meraih bahunya mencari-cari wajahnya.
Rhea menatapku dengan pandangan yang nelangsa, ada luka di sana. Meski begitu, entah mengapa aku merasa senang. Setelah sekian lama akhirnya mata itu mau memandangku, meski dalam keadaan yang tidak mengenakkan seperti sekarang ini. "Aku mesti bagaimana lagi  untuk meyakinkan kamu? Mengakui perasaan aku ke kamu adalah hal tersulit dan memalukan yang pernah aku lakukan."
"Mengakui perasaan itu tidaklah memalukan, Rhea."
"Pengakuan yang diiringi penolakan, memalukan. Buatku. Apa lagi yang menolak itu kamu."
Sekarang aku sudah tidak bisa lagi menahan diriku, segera kutarik Rhea ke dalam pelukanku. Meski aku belum mengerti rasa macam apa yang kini sedang bersemayam di dadaku, perlahan aku mulai sadar. Kalau aku begitu bahagia berada di dekatnya, dan merasa tak lengkap bila Rhea menjauhiku. Aku bisa merasakan tubuh Rhea yang kikuk di pelukku, tapi aku tak peduli.
"Aku sudah bilang sama kamu, jangan mengambil kesimpulan sendiri." ujarku pelan. Aku berhenti sejenak untuk menarik napas, mempersiapkan diriku. "Maaf kalau kata-kata aku waktu itu membuat kamu sakit hati. Tapi jujur, aku saja bingung dengan perasaanku padamu. Waktu kamu tanya apa aku naksir sama kamu, di situ aku takut, takut mengakuinya, takut kalau aku beneran suka sama kamu dan takut—aku nggak mau jadi kayak cowok-cowok yang pernah ada di hati kamu. Aku nggak mau di saat aku menyayangi kamu setengah mati, kamu malah jatuh cinta sama orang lain. Aku mau jadi satu-satunya, Rhea."
Rhea melonggarkan pelukanku, matanya yang sewarna malam menatapku penuh harap. "Ja—jadi...?"
Aku menangkup pipinya dengan kedua tanganku. "Jangan lagi mencintai orang lain, Rhe. Cukup jatuh cinta sama aku aja."
-the End-
Finallyyyy!!! The story have the ending.
Endingnya rada-rada gimana gitu deh… agak kurang sreukkk menrutku. How ‘bout you, guys? Semoga cerita ini bsia memuaskan teman-teman sekalian yappp :D
See you in the next story :D

2 comments:

  1. muahahahahaha rime' romantiss pisaaan atuhh neengg :P
    like dahhhh (Y) :D

    ReplyDelete
  2. hoohohoho...

    Thaanks for the compliment!
    Just wait ya for another story or another fanfic! Hihihihi

    ReplyDelete

Kalau menurutmu, bagaimana?