Perempuan yang Kutemui di Depan Kedai Kopi

Wednesday, August 21, 2013


here

Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, berjalan menyusuri kota menuju stasiun kereta api. Salju sedang turun di bulannya yang kedua, langit tampak kelabu, begitu kontras dengan jalan-jalan yang berkerlap-kerlip dan atap-atap gedung serta tepi jalan yang putih tertutupi salju. Jalan mulai sepi, wajar saja karena sekarang ini waktu hampir menunjukkan dini hari.
Aku berbelok menuruni tangga yang membawaku ke arah stasiun, menempelkan kartu pass-ku pada mesin berpalang dan melangkahkan kaki begitu tabung melintang di depanku itu bergeser membuka. Aku menghela napas sejenak, menoleh ke kanan kiri dan mendapati hanya beberapa orang yang sedang menunggu kereta terakhir datang. Aku kembali melangkahkan kakiku, menuju kedai kopi kecil yang berada di sisi kiri stasiun kereta api.
Setidaknya, aku butuh teman untuk perjalanan pulangku sebentar.
Aku baru saja meraih kenop pintu ketika ada tangan lain yang berada di atas tanganku—hendak masuk juga mungkin ke dalam kedai ini. Kurasakan dingin merambat masuk ke dalam sarung tangan kulit yang kukenakan. Sontak, aku menoleh ke arah tangan kananku. sebuah tangan putih mulus berjemari lentik yang tertangkap mataku, lalu aku melirik ke atas dan mendapati sesosok perempuan tengah tersenyum ke arahku.
"Maaf," katanya pelan.

Kita yang Mulai Berbeda

Monday, August 19, 2013

R.A.B on NaruHina Fanfiction
Naruto by Masashi Khisimoto-sensei~tukang bikin galau selaluuuu
Warning: OOC.OOC. OOC. Bertele-telempret.
Enjoy this!
~0o0~
here
“Sekarang, harus kuapakan perasaan yang tak terkatakan ini?”
~0o0~
Segalanya berubah.
Sejak pernyataan Yakushi-senpai di kelasku beberapa hari yang lalu, semua hal mulai terlihat berbeda dihadapanku. Aku yang tidak pernah mendapatkan telepon bernada perhatian dari pria selain Ayah, Neji-nii dan Naru-kun, kini aku mulai sering mendapatkan banyak pesan singkat atau sesekali telepon dari Yakushi-senpai. Meskipun hanya berupa ucapan selamat pagi, atau menanyakan kabarku.
Begitu pula tingkah laku Naru-kun kepadaku. Kini ia seolah-olah menjaga jarak dariku. Ia mulai jarang mengusik diriku, menghindari tatapanku, dan cenderung terburu-buru saat berbicara. Sikapnya terkadang membuatku bingung, ada saatnya ia seperti ingin mengatakan sesuatu namun seolah-olah ada yang menahannya. Tak jarang pula, ia bersikap dingin. Hanya membalas perkataanku sepatah kata.
Aku... tidak begitu menyukai perubahan ini. Terlebih lagi, aku semakin membenci diriku sendiri.
Terkadang, ada kelegaan yang hadir saat Yakushi-senpai sedang bersamaku.Kami akan larut dalam diskusi kecil kami di perpustakaan, atau diamnya kami dan hanya ada suara gesekan halaman buku yang di bolak-balik setiap sekian menit. Namun, rasa bersalah itu sering mampir saat aku secara tidak sengaja menghindari tangannya yang hendak menggenggam tanganku. Terkadang aku masih sering terlupa akan statusku bersama Yakushi-senpai. Ada sepersekian detik yang terisi oleh orang lain sekalipun aku sedang bersama Yakushi-senpai.
Yakushi-senpai pacarku. Kutanamkan itu dalam-dalam di kepalaku. Ini bukan lagi saatnya untuk memikirkan orang lain.
***
"Kau itu ingin jualan makan siang atau apa sih? Bawa kotak makan segitu banyaknya." tegur Ino ketika melihatku menaikkan tiga buah kotak makan siang ke atas mejaku.
"Ini untukku, Naru-kun, dan Yakushi-senpai" aku menjawab sekenanya, bergegas menuju kelas Naru-kun sehingga aku bisa cepat-cepat menemui Yakushi-senpai di taman dekat lapangan basket.
"Kau seperti berpacaran dengan dua orang saja, Hinata." suara Ino mengejutkanku, membuat langkahku terhenti.
"Maksudmu?"
Ino tidak menjawab, malah berjalan ke arahku dan merangkul bahuku. "Kau... benar-benar menyukai Yakushi-senpai kan?"
Perkataannya membuatku tersentak, namun aku buru-buru tersenyum, tidak ingin membahas ini lebih jauh lagi. "T-tentu saja. A-ano, aku pergi dulu."
Aku cepat-cepat melangkahkan kakiku, bisa kurasakan tatapan Ino menatap punggungku.
***
Aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu kelas IPS-3, kelas Naru-kun. Aku melongokkan kepalaku ke dalam kelas, mencari-cari sosok Naru-kun sampai akhirnya aku menemukannya sedang bersenda gurau dengan teman-temannya di pojokan kelas.
Si gadis berambt pirang itu juga di sana, duduk di samping Naru-kun sambil sesekali tertawa karena lelucoan yang saling mereka lontarkan.
Andai aku bisa... ah tidak!Aku harusnya sudah bisa melepaskan perasaan ini. Aku hanya akan mengingat, bahwa Naru-kun hanyalah sahabatku, sahabatku sejak kecil, sahabat terbaik yang pernah aku punya. Tidak lebih.
Ya, seperti itu.
Aku baru saja hendak memanggil Naru-kun ketika ia secara tiba-tiba berbalik ke arah pintu, membuatku membatu dengan tatapannya.
Degupan ini seharusnya tidak kurasakan lagi.
Dan ya, memang tidak kurasakan lagi. Tanganku cuma berkeringat karena udara yang panas.
Dan aku tersenyum, melambai kaku ke arahnya. Awalnya aku yang ingin menghampiri Naru-kun di tempat duduknya, tapi ia sudah terlebih dulu beranjak dan kini ia sedang berjalan ke arahku.
"Ada apa?" tanyanya.
Aku mengangsurkan kotak makan yang berwarna orange cerah. "Ini, makan siang untuk Naru-kun."
"Untukku?" ia tersenyum lima jari, senyum yang menyilaukan. "Haaa!! Tidak ada racunnya kan, nenek?"
"Maksudmu apa?"
Ia terkekeh pelan, lalu meraih tanganku, menarikku ke luar dari kelasnya. "Ya sudah, kau mau kita makan di mana? Jangan di kelasku ya, terlalu berisik."
"A—ano, Naru-kun..." panggilanku membuatnya menghentikan langkah, lantas berbalik.
"Apa?"
"Ano..." jemariku mengerat pada pegangan tas plastikku. "Ano... mungkin siang ini kita... kita tidak bisa makan siang bersama. Aku... aku... aku sudah ada janji makan siang dengan Yakushi-senpai."
Sesaat, ada kilatan yang lain di matanya yang langsung ia ganti dengan senyuman, senyuman yang membuatku merasa bersalah. "Ah, iya. Aku lupa, sekarang kan kau sudah punya pacar."
Ia lantas melepaskan genggamannya dan berbalik masuk ke dalam kelasnya. Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu padanya, tapi tidak ada satu kata pun yang terucap. Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa padanya.
"Ah, iya," tiba-tiba ia berpaling ke arahku. Senyumnya bukanlah senyum tersiksa yang kuinginkan "Tenang saja, aku akan memakannya kok. Biar pun ini beracun."
Aku ingin sekali mengatakan sesuatu.
Ia melambai singkat padaku, gerakannya menyuruhku cepat-cepat ke tempat Yakushi-senpai.
Aku memutar arah, berlari.
Kenapa semuanya jadi seperti ini?
Kenapa semuanya jadi begitu menyakitkan?
***
"... ta? Hinata? Hinata Hyuuga—"
"A... ada apa, Yakushi-senpai?"
Kudengar ia menghela napas panjang, diikuti suara kotak makan yang diletakkan di bangku tempat kami duduk. Aku mencoba melirik ke arahnya, dan dia menatapku begitu tajam. "Apa kau sedang ada masalah?"
Aku menggeleng pelanq.
"Benarkah?" ia memastikan.
"Iya, tidak ada kok." kataku, mengulas senyum. Bisa kurasakan jemarinya mengepal di atas jemariku. Ia tersenyum.
"Kalau kamu ada masalah, kamu cerita ya. Aku pengen jadi orang yang selalu ada di sampingmu, jadi seseorang yang bisa kamu andalkan. Ya?"
Aku mengangguk, "arigatou, Yakushi-senpai."
Ia tersenyum lagi, lalu merongoh saku celananya dan mengeluarkan dua buah lembar kertas. Rautnya penuh harap ketika menatapku. "Kudengar, kau suka sekali minions, mau nonton bersamaku? sabtu ini?"
Aku sedikit tercengang mendengar ajakannya, mataku berulang kali melirik dua tiket nonton yang ada di tangannya dan juga wajah Yakushi-senpai. Entah mengapa, aku ragu untuk menerimanya. Namun, sekali lagi logika menampar keraguanku. Untuk apa? Bukan kah sekarang ini aku adalah kekasih Yakushi-senpai?
"Ummm, boleh."
"Benarkah? Syukurlah. Ini akan menjadi kencan pertama kita." gumamnya sembari tersenyum simpul, memandangi mataku dalam-dalam. Aku menunduk memutuskan pandangannya, mengangguk, berharap ragu ini menghilang.
Aku tidak boleh meragu. Aku punya kenyataan yang harus kuhadapi.
***
Sekarang aku bingung menghadapi Naruto yang sedang berjalan beriringan denganku. Aku meremas pelan tali tas selempangku, seakan-akan dengan melakukan hal itu rasa resah yang ada pada diriku bisa sedikit berkurang. Aku berencana mengatakan bahwa acara sabtu-malam yang biasa aku lewati bersamanya tidak bisa aku lakukan untuk sabtu minggu ini, karena aku sudah ada janji dengan Yakushi-senpai. Dan sampai sekarang, aku belum juga bisa mengatakan hal ini padanya.
Tahu-tahu, aku sudah ada di depan gerbang rumahku.
“Hinata, aku duluan ya…” katanya, sekilas melambaikan tangannya padaku dan melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang hanya berjarak dua blok dari tempat tinggalku.
“Ano, Naru-kun…”
Ia berhenti, lalu berbalik menatapku yang berdiri gelisah tak jauh dari tempatnya. Sebelah alisnya terangkat naik, mengisyaratkan sebuah pertanyaan padaku.
“Itu… untuk malam minggu nanti…” aku menelan ludah, tenggorokanku tiba-tiba saja terasa kering. “anu, itu… bisakan kalau kita nggak ngumpul dulu?”
Naruto masih saja diam dan menatapku dalam-dalam, kegelisahan makin menjadi menggolakkan dadaku. Bagaimana kalau dia makin marah padaku? Dia yang masih mau pulang bersama-samaku saja sudah bagus, dan aku malah semakin mengecewakannya. Ia mendengus.
“Kamu ada acara lain ya?” tanyanya, datar. Ekspresinya tidak terbaca.
Ini bukan Naru-kun.
Aku mengangguk kaku.
Ia mengulas senyum tipis, namun yang kurasakan hatiku seperti disayat-sayat. “Hmm, terserah kau saja. Kau pasti punya kehidupan sendiri juga kan.” Ujarnya pelan, melambai lagi. “Semoga sabtu malammu menyenangkan, selamat bersenang-senang.”
Lalu ia berbalik, tanpa menunggu balasanku.
Aku hanya menatap punggungnya.
~0o0~
"Aku ingin lupa..."