here |
Saat itu
aku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, berjalan menyusuri kota menuju
stasiun kereta api. Salju sedang turun di bulannya yang kedua, langit tampak
kelabu, begitu kontras dengan jalan-jalan yang berkerlap-kerlip dan atap-atap
gedung serta tepi jalan yang putih tertutupi salju. Jalan mulai sepi, wajar
saja karena sekarang ini waktu hampir menunjukkan dini hari.
Aku
berbelok menuruni tangga yang membawaku ke arah stasiun, menempelkan kartu
pass-ku pada mesin berpalang dan melangkahkan kaki begitu tabung melintang di
depanku itu bergeser membuka. Aku menghela napas sejenak, menoleh ke kanan kiri
dan mendapati hanya beberapa orang yang sedang menunggu kereta terakhir datang.
Aku kembali melangkahkan kakiku, menuju kedai kopi kecil yang berada di sisi
kiri stasiun kereta api.
Setidaknya,
aku butuh teman untuk perjalanan pulangku sebentar.
Aku baru
saja meraih kenop pintu ketika ada tangan lain yang berada di atas
tanganku—hendak masuk juga mungkin ke dalam kedai ini. Kurasakan dingin
merambat masuk ke dalam sarung tangan kulit yang kukenakan. Sontak, aku menoleh
ke arah tangan kananku. sebuah tangan putih mulus berjemari lentik yang
tertangkap mataku, lalu aku melirik ke atas dan mendapati sesosok perempuan
tengah tersenyum ke arahku.
"Maaf,"
katanya pelan.
Aku
mengangguk saja sebelum akhirnya mendorong pintu kaca dan mempersilahkannya
masuk. Ia tetap tersenyum padaku, dan aku pun membalasnya dengan cengiran
kikukku. Gadis itu langsung berjalan ke arah bar dan memesan sesuatu. Aku pun
mengikutinya--ini karena aku ingin memesan moka, bukan karena gadis itu—dengan
kepala yang bertanya-tanya, manusia macam apa yang hanya mengenakan pakaian tipis
dan tidak menggunakan sarung tangan berkeliaran tengah malam di cuaca yang
bersalju?
Begitu
mendapatkan pesananku dan membayar, aku bergegas keluar. Tujuh menit lagi
keretaku datang dan aku memilih untuk menunggu di luar, meskipun keadaan di
dalam kedai ini lebih nyaman. Aku mendudukkan diriku di bangku yang berada di
depan kedai kopi ini sembari menyesap minumanku. Rasa hangat masuk ke dalam
kerongkonganku.
Terdengar
langkah kaki dari belakangku, dan tahu-tahu gadis yang tadi kutemui di kedai
itu sudha duduk di sampingku, menyesap gelasnya juga. Aku memandanginya selama
sepersekian detik sebelum mengalihkan mataku darinya. Takut dianggap tidak
sopan karena menatap orang lain lama-lama. Namun, seolah-olah ada hal lain yang
merasukiku dan membuatku selalu saja mencuri pandang ke arahnya. Dan selama
empat menit, aku terus-menerus menggunakan ekor mata kiriku untuk mengamatinya.
Pipinya putih bersemburat merah, matanya sewarna malam, rambutnya ikal, dengan
poni rata sebatas alis. Kepalanya tertutupi kupluk putih, mengenakan cardigan rajut
hijau pastel. Tangannya yang tak bersarung memegang erat-erat cangkir plastik
dengan logo berwarna hijau itu.
Tanpa
sadar, aku terus-menerus memelototinya.
Tiba-tiba
saja ia menoleh ke arahku, aku gelagapan dan bingung harus berbuat apa karena
ketahuan sedang menatap seseorang. Tapi bibir tipis gadis itu mengukir satu
senyuman manis.
"Hari
ini, cuacanya dingin sekali ya." katanya.
"Umm,
yeah." gumamku, kikuk aku meminum moka-ku sampai tinggal setengah. Untung
saja suara pemberitahuan menyelamatkanku dari situasi kikuk yang kuciptakan
sendiri. Bergegas aku berdiri begitu moncong kereta muncul dari terowongan.
"Hei!"
Aku
menoleh, dan mendapati gadis berkupluk putih itu tersenyum padaku.
"Ya?"
"Apakah
besok kau akan ke sini lagi?"
"Hmm,
sepertinya begitu." jawabku, sedikit bingung dengan pertanyaannya. Gadis
itu mengangguk, dan karena kereta yang akan aku tumpangi sudah membuka pintu di
depanku, aku segera beranjak dari stasiun.
Dari dalam
kereta, kulihat gadis itu masih duduk di sana. Seolah-olah mengunci mataku, ia
menatapku. Tersenyum.
***
Malam ini
aku lembur lagi, baru keluar kantor pukul 11.00. Aku mempercepat langkah,
ketinggalan kereta di malam yang bersalju bukanlah hal yang bagus untuk
kesehatan. Aku berbelok, lekas, meskipun keretaku baru akan datang tiga puluh
menit lagi.
Aku masuk
ke kedai kopi, bunyi 'tring' menjadi penanda kedatanganku dan aroma kopi dan
manisnya kayu manis menyambut penciumanku. Aku mengedarkan pandangan sembari
berjalan ke arah bar. Ah, mungkin gadis kemarin itu ta datang hari ini.
Mengapa
aku mencari-cari gadis itu?
Barista
tersenyum menyerahkan pesananku, cangkir hangat itu kugenggam dan beralih ke
kasir, mengeluarkan beberapa lembar uang dan berbalik untuk menunggu di luar
dan mataku mendapati gadis itu sedang berdiri di depan pintu, hendak melangkah
masuk. Selama beberapa detik pandangan kami bertemu dan perasaan lega yang
tidak aku tahu karena apa dan mengapa hadir memenuhi rongga dadaku. Gadis itu
melempar satu lengkungan bibirnya padaku, dan kali ini aku membalasnya. Tak
lagi melongo seperti kemarin.
Ia
melangkah ke arahku—bukan, ke bar—dan serta merta dingin salju langsung saja
menerpaku begitu ia melewatiku. Aku langsung saja mengeratkan peganganku pada
cangkir kopiku, meraup sebanyak mungkin kehangatannya.
Aku
mendudukkan diriku di bangku yang kemarin kutempati, mengedarkan pandanganku ke
sekeliling peron stasiun. Hanya ada seorang petugas yang berjaga di posnya,
seorang pria yang baru masuk ke stasiun
dan tunawisma yang tertidur di atas kardus. Lagi, rasa dingin yang mulai terasa
akrab membayang di belakangku, aku menolehkan kepala dan kudapati gadis itu
kembali duduk di sampingku, masih dengan gaya berpakaian nyentrik tak sesuai
musim. Kupluk berwarna putih dan kardigan rajut berwarna hijau pastel. Bibirnya
yang tipis menyesap minumannya.
"Hai,"
sapaku.
Manik
bulannya menatapku, "Hai juga." Balasnya.
Suara
lampu yang berderik-derik di atas kepalaku mengisi sunyi.
"Kau,
kenapa selalu pulang selarut ini?" tanyanya kemudian.
"Aku
lembur,"
"Hmm,
kalau begitu sebaiknya salju tidak turun deras ya hari ini."
"Kenapa?"
"Kau
bisa saja sakit kalau terus-terusan berjalan di tengah hujan salju seperti
ini." rona merah menghampiri wajahnya yang seputih pualam, lantas ia
beralih meminum kopinya, gerak-geriknya canggung.
"Oh
begitu ya," aku hanya menjawab semampuku. Karena sejujurnya aku juga
sedikit kikuk dengan apa yang dia katakan tadi. Aku merasa... sedikit
diperhatikan.
Diam
menjadi sosok ketiga di antara diriku dan gadis itu sampai terdengar pemberitahuan
dari petugas stasiun bahwa keretaku akan sampai beberapa menit lagi.
"Keretamu
ya?" tanya gadis itu, suaranya yang lembut bagai mantra membuatku
berkeinginan untuk terus memandanginya.
"Ya,
begitu lah." jawabku, cepat-cepat mengalihkan perhatianku dari dirinya.
Entah mengapa seperti ada yang berkecamuk di dalam rongga dadaku, membuatku
seperti berada dalam sebuah guncangan, guncangan yang menyenangkan. Sedikit,
aku mencuri pandang lewat ujung mataku. Gadis itu menyenandunngkan sebuah
serenade, jemarinya yang lentik mengetuk-ngetuk dinding gelasnya. Sekali lagi,
guncangan di dalam dadaku semakin tak karuan.
Moncong
keretaku sudah terlihat di ujung terowongan.
Dalam hati
aku berharap kereta itu tak pernah datang.
"Ehmm,
sampai jumpa besok." entah mengapa aku mengatakan hal itu padanya.
Ia
mengangguk, senyumnya yang manis terukir lagi. Ada dorongan yang asing tumbuh
di dalam hatiku. Cepat-cepat kutepis. Begitu pintu kereta terbuka di hadapanku,
aku melompat masuk.
***
Aku tidak
tahu apa yang terjadi pada diriku sendiri.
Hari ini
tidak ada lembur. Jadwal keluar kantorku
kembali normal. Seharusnya sudah tujuh jam yang lalu aku sampai di rumahku,
bersantai di ruang tengah sembari menonton TV atau tidur di bawah selimut yang
hangat. Namun, realita yang ada aku hanya duduk-duduk di sini, di bangku
stasiun sembari memegang gelas kopi yang meninggalkan jejak kecoklatan di
dasarnya. Aku meremas tiket yang berada di dalam saku mantelku. Kereta yang
seharusnya kutumpangi telah berlalu lima menit yang lalu. Begitu pula kereta
dua jam yang lalu, empat jam yang lalu. Aku hanya membeli tiket, tanpa masuk ke
kereta yang seharusnya membawaku pulang. Aku hanya duduk di sini, menghabiskan
tiga cangkir kopi tanpa melakukan apa-apa.
Aku
merutuki diriku, otakku semakin bodoh saja.
Aku tidak
tahu.
Aku mau
pulang, hanya saja setiap kali kereta yang singgah membukakan pintunya untukku,
aku selalu saja bediam diri. Aku...
Aku
mengharapkan perempuan itu datang. Aku mengharapkan perbincangan yang baru
dengan perempuan yang baru kutemui dua hari itu. Perempuan yang auranya
sedingin salju namun memiliki senyum yang manis dan selembut gula-gula kapas.
Aku
menantinya. Seharusnya aku lembur saja, jadi tidak perlu menunggu bodoh seperti
ini.
Ada apa
ini?
Lagi, aku
berjalan ke loket pembelian tiket untuk yang keempat kalinya. Petugas yang
berjaga di balik dinding kaca itu memandangiku dengan dahi yang mengernyit.
Mungkin heran melihatku yang bolak balik loketnya, mungkin juga berpikir bahwa
ada laki-laki setengah gila.
Aku lekas
pergi, tatapan penjaga loket itu membuatku jengah. Cepat-cepat kumemacu
langkah. Awalnya aku hanya ingin menunggu di bangku yang tadi kududuki, namun
mataku menangkap sosok yang membuatku menunggu bodoh sedang berdiri di depan
pintu kedai kopi, setengah berlari aku bergerak ke arahnya.
"Hai!"
sapaku.
Ia
memalingkan wajah dan melambai padaku, lengkungan tipis terlukis di wajahnya.
Segera,
aku membukakannya pintu. Aroma kopi menyambut kami di udara, dia berjalan masuk
dengan hawa dingin yang membekukan. Ini pasti karena ia selalu saja memakai
kardigan tipis itu.
"Kau
mau pesan apa?"
"Latte."
"Latte-nya
dua ya," kataku pada barista, lalu beralih menatap gadis berkupluk putih
itu. "Kau, apa kau tidak kedinginan dengan mengenakan pakaian tipis begitu
di musim dingin begini?"
Ia
menggeleng, "aku sudah akrab dengan dingin."
"Tapi
kau bisa sakit kalau berpakaian seperti
itu."
"Tidak
apa-apa, aku sudah terbiasa. Dingin adalah bagian dari diriku."
Aku hanya
tersenyum menanggapi jawabannya. Aku mengangsurkan tangan kananku. "Kita
sudah dua hari ini saling berbicara, tapi aku tidak tahu namamu. Kenalkan, aku
Doni."
Ia
memandangi tanganku yang tergantung di udara, sesaat ragu-ragu menjabatnya.
"Yuki."
Dingin
langusng saja menjalar dari tangannya, menusuk seakan-akan mampu membekukan
tulang-tulangku. Aku mengernyit, dan ia lekas melepaskan tangannya. "Ma—maaf."
ujarnya.
"Tanganmu
dingin sekali."
Ia hanya
tersenyum.
Dua latte
tersaji di hadapan kami, saat ia merogoh sakunya aku segerra menahannya.
"Aku akan mentraktirmu, anggap saja sebagai penanda perkenalan kita."
"Umm,
terima kasih."
Aku
membalas senyumnya.
Kami
berdua sama-sama menunggu kereta terakhir, duduk di bangku yang selama dua hari
ini akrab denganku.
"Cincin
yang bagus," ia melirik pada cicin perak yang melingkari jari manisku.
"Ah,
ya. Ini cincin pertunanganku." Balasku ragu. Rasanya ada yang bergolak
aneh di perutku, rasa mual, rasa bersalah. Tiba-tiba saja aku mengingat
tunanganku.
"Apakah
kau mencintainya?"
Ah, cinta.
Kapan terakhir kali aku memikirkan kata itu. "Seharusnya aku
mencintainya."
"Seharusnya?"
Aku
tersenyum miris, cincin itu dingin melingkari kulitku. Ingatanku melesat di
kejadian enam bulan yang lalu, saat pertunangan karena janji konyol orang tuaku
kepada sahabatnya. Janji untuk
menikahkan anak-anak mereka untuk 'mempererat' persahabatan mereka.
"Ya,"
aku menjawab singkat. Ia tak bertanya lagi.
Hening.
"Pakailah,"
kataku, mengangsurkan mantel abu-abuku. Ia menyorotiku dengan pandangan
bertanya-tanya. "Aku tidak tahan melihatmu, kau pasti kedinginan. Ini,
pakailah."
"Kau
lebih membutuhkannya." ia menolak.
Namun aku
memaksa, segera saja aku mengeser dudukku dan menyampirkan mantelku ke bahu
mungilnya.
Mengapa
aku bertingkah seperti ini?
Aku
menemukan matanya menatapku. Napasnya menerpa wajahku. Wajahnya mencipta rona
merah, tanganku menggenggam bahunya. Napasnya semakin terasa.
Waktu
berlalu begitu cepat.
***
Kuulangi
kebodohanku yang kemarin. Kali ini lebih parah.
Seharusnya
aku libur, tidur bermalas-malasan di kamarku atau nonton TV seharian. Tapi aku
malah menghabiskan waktuku di sini. Seharian. Sejak pagi aku menunggu di bangku
ini dengan mata yang mencari-cari di antara kerumunan orang-orang di stasiun,
berharap menemukan gadis berambut ikal dengan kardigan hijau pastelnya. Aku
menantinya, ingin mengucap maaf berkali-kali sampai ia memaafkanku.
Mana
mungkin gadis itu mau memaafkanmu?
Aku
meremas kepalaku frustasi. Kejadian kemarin membuatku tak bisa tidur semalaman.
Aku mungkin telah menjadi laki-laki kurang ajar baginya, mana bisa aku
mendaatkan maaf begitu mudah?
Lembutnya
bibir gadis itu masih bisa kurasakan.
Sialan!
Apa-apaan kepalaku ini!
Aku mengerang
depresi, membuat pria yang duduk tak jauh diriku memandangku dengan tatapan
heran. Kuacuhkan.
Kenapa
kemarin aku hanya diam saja? Kenapa semalam gadis itu hanya diam saja? Kenapa
aku langsung saja meninggalkannya? Kenapa aku begitu bodoh?
Ada
seseorang yang duduk di sampingku.
Aku
menoleh dengan kecepatan yang mungkin mampu mematahkan tulang leherku, harapan
membanjiri tubuhku. Dalam kecepatan kilat, aku diguyur kecewa.
Bukan dia,
melainkan barista yang biasanya berada di balik bar kedai kopi yang ada di
belakangku.
Satu
tatapan heran kudapatkan lagi.
"Seharian
ini kulihat anda hanya duduk sendirian di sini," katanya membuka
percakapan pertama kami selain percakapan di balik bar.
Aku
mengangguk, "ya, aku... aku sedang menunggu seseorang."
"Siapa?"
tangannya menawarkan sebungkus rokok, aku menggeleng. Bibirnya menjepit
sebatang rokok, lalu menyulut api.
"Kau
tahu perempuan yang selama tiga hari ini selalu duduk di sini setiap jam
sebelas malam? Aku... kemarin aku... agaknya bersikap kurang ajar
padanya."
"Perempuan
yang mana?"
"Perempuan
yang selalu mengenakan kardigan hijau itu, yang rambutnya ikal. Setiap aku
menunggu kereta, dia selalu menemaniku. Kemarin bahkan aku mentraktirnya latte.
Kau sendiri yang membuatkannya." aku menambahi.
Kernyitan
di dahinya makin dalam, rokok yang ia jepit di antara jari telunjuk dan tengah
tangan kanannya ia abaikan. sebentuk abu jatuh mengotori lantai di dekat
kakinya. Ia terkekeh. Matanya melontarkan pandangan tak percaya padaku.
"Maaf
tuan, kau memang selalu duduk di sini, namun tak pernah ada perempuan yang
menemani anda."
"Maksudmu?"
"Anda
mungkin berhalusinasi. Aku bisa melihat anda dari bar, anda selalu sendirian
menunggu kereta."
"Tidak
mungkin, tiga hari ini dia selalu datang ke kedaimu. Kau sendiri yang
melayaninya. Kemarin bahkan kau tersenyum kepada kami." aku ngotot, orang
di depanku ini menatapku seolah aku ini orang sakit jiwa.
"Anda
selalu sendirian tuan," katanya remeh, lalu terkekeh.
Aku
mengernyit marah padanya. Mengabaikan.
Ia terus
mengasapi diri, kereta terakhir hampir datang.
Aku
gelisah menunggu. Gadis itu mungkin tidak datang. Bisa jadi dia marah. Murka
padaku yang kurang ajar padanya. Namun harapan ini tak mau pupus.
Moncong
kereta sudah terlihat, laki-laki di sampingku berdiri.
Pintu
membuka, aku tak beranjak, laki-laki itu melangkah masuk, berputar menghadapku
dari dalam kereta. Tepat sebelum pintu kereta menutup di hadapannya, ia
mengatakan sesuatu.
"Anda
selalu sendirian, tuan. Selama ini anda sendirian. Tidak kemarin, tiga hari
yang lalu, maupun hari-hari lalu yang anda gunakan untuk menunggu."
Pintu
menutup di depannya. Kereta terakhir telah berangkat.
Aku
mengeratkan mantelku, hawa dingin tiba-tiba saja muncul. Aku mencari-cari ke
belakang. Hanya mendapati ke kosongan. Stasiun telah sepi, peron-peron sunyi,
langkah-langkah yang sibuk tak terdengar lagi.
Aku tetap
duduk di bangkuku, mengharapkan dia datang. Mengharapkan dinginnya
menghampiriku.
Langkah
kaki terdengar.
Dari dalam
terowongan, gadis berambut ikal itu muncul.
***
Nice twist... cerpen yang keren. Saya juga dulu suka menulis cerpen, cuma belakangan udah jarang sejak kerja. Kapan-kapan boleh dong sharing soal kepenulisan nih, hehehehe...
ReplyDeleteHehehe, makasih....
DeleteIya boleh lah kapan-kapan saling sharing.
Terima kasih sudah berkunjung :D