Perempuan yang Kutemui di Depan Kedai Kopi

Wednesday, August 21, 2013


here

Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, berjalan menyusuri kota menuju stasiun kereta api. Salju sedang turun di bulannya yang kedua, langit tampak kelabu, begitu kontras dengan jalan-jalan yang berkerlap-kerlip dan atap-atap gedung serta tepi jalan yang putih tertutupi salju. Jalan mulai sepi, wajar saja karena sekarang ini waktu hampir menunjukkan dini hari.
Aku berbelok menuruni tangga yang membawaku ke arah stasiun, menempelkan kartu pass-ku pada mesin berpalang dan melangkahkan kaki begitu tabung melintang di depanku itu bergeser membuka. Aku menghela napas sejenak, menoleh ke kanan kiri dan mendapati hanya beberapa orang yang sedang menunggu kereta terakhir datang. Aku kembali melangkahkan kakiku, menuju kedai kopi kecil yang berada di sisi kiri stasiun kereta api.
Setidaknya, aku butuh teman untuk perjalanan pulangku sebentar.
Aku baru saja meraih kenop pintu ketika ada tangan lain yang berada di atas tanganku—hendak masuk juga mungkin ke dalam kedai ini. Kurasakan dingin merambat masuk ke dalam sarung tangan kulit yang kukenakan. Sontak, aku menoleh ke arah tangan kananku. sebuah tangan putih mulus berjemari lentik yang tertangkap mataku, lalu aku melirik ke atas dan mendapati sesosok perempuan tengah tersenyum ke arahku.
"Maaf," katanya pelan.
Aku mengangguk saja sebelum akhirnya mendorong pintu kaca dan mempersilahkannya masuk. Ia tetap tersenyum padaku, dan aku pun membalasnya dengan cengiran kikukku. Gadis itu langsung berjalan ke arah bar dan memesan sesuatu. Aku pun mengikutinya--ini karena aku ingin memesan moka, bukan karena gadis itu—dengan kepala yang bertanya-tanya, manusia macam apa yang hanya mengenakan pakaian tipis dan tidak menggunakan sarung tangan berkeliaran tengah malam di cuaca yang bersalju?
Begitu mendapatkan pesananku dan membayar, aku bergegas keluar. Tujuh menit lagi keretaku datang dan aku memilih untuk menunggu di luar, meskipun keadaan di dalam kedai ini lebih nyaman. Aku mendudukkan diriku di bangku yang berada di depan kedai kopi ini sembari menyesap minumanku. Rasa hangat masuk ke dalam kerongkonganku.
Terdengar langkah kaki dari belakangku, dan tahu-tahu gadis yang tadi kutemui di kedai itu sudha duduk di sampingku, menyesap gelasnya juga. Aku memandanginya selama sepersekian detik sebelum mengalihkan mataku darinya. Takut dianggap tidak sopan karena menatap orang lain lama-lama. Namun, seolah-olah ada hal lain yang merasukiku dan membuatku selalu saja mencuri pandang ke arahnya. Dan selama empat menit, aku terus-menerus menggunakan ekor mata kiriku untuk mengamatinya. Pipinya putih bersemburat merah, matanya sewarna malam, rambutnya ikal, dengan poni rata sebatas alis. Kepalanya tertutupi kupluk putih, mengenakan cardigan rajut hijau pastel. Tangannya yang tak bersarung memegang erat-erat cangkir plastik dengan logo berwarna hijau itu.
Tanpa sadar, aku terus-menerus memelototinya.
Tiba-tiba saja ia menoleh ke arahku, aku gelagapan dan bingung harus berbuat apa karena ketahuan sedang menatap seseorang. Tapi bibir tipis gadis itu mengukir satu senyuman manis.
"Hari ini, cuacanya dingin sekali ya." katanya.
"Umm, yeah." gumamku, kikuk aku meminum moka-ku sampai tinggal setengah. Untung saja suara pemberitahuan menyelamatkanku dari situasi kikuk yang kuciptakan sendiri. Bergegas aku berdiri begitu moncong kereta muncul dari terowongan.
"Hei!"
Aku menoleh, dan mendapati gadis berkupluk putih itu tersenyum padaku. "Ya?"
"Apakah besok kau akan ke sini lagi?"
"Hmm, sepertinya begitu." jawabku, sedikit bingung dengan pertanyaannya. Gadis itu mengangguk, dan karena kereta yang akan aku tumpangi sudah membuka pintu di depanku, aku segera beranjak dari stasiun.
Dari dalam kereta, kulihat gadis itu masih duduk di sana. Seolah-olah mengunci mataku, ia menatapku. Tersenyum.
***
Malam ini aku lembur lagi, baru keluar kantor pukul 11.00. Aku mempercepat langkah, ketinggalan kereta di malam yang bersalju bukanlah hal yang bagus untuk kesehatan. Aku berbelok, lekas, meskipun keretaku baru akan datang tiga puluh menit lagi.
Aku masuk ke kedai kopi, bunyi 'tring' menjadi penanda kedatanganku dan aroma kopi dan manisnya kayu manis menyambut penciumanku. Aku mengedarkan pandangan sembari berjalan ke arah bar. Ah, mungkin gadis kemarin itu ta datang hari ini.
Mengapa aku mencari-cari gadis itu?
Barista tersenyum menyerahkan pesananku, cangkir hangat itu kugenggam dan beralih ke kasir, mengeluarkan beberapa lembar uang dan berbalik untuk menunggu di luar dan mataku mendapati gadis itu sedang berdiri di depan pintu, hendak melangkah masuk. Selama beberapa detik pandangan kami bertemu dan perasaan lega yang tidak aku tahu karena apa dan mengapa hadir memenuhi rongga dadaku. Gadis itu melempar satu lengkungan bibirnya padaku, dan kali ini aku membalasnya. Tak lagi melongo seperti kemarin.
Ia melangkah ke arahku—bukan, ke bar—dan serta merta dingin salju langsung saja menerpaku begitu ia melewatiku. Aku langsung saja mengeratkan peganganku pada cangkir kopiku, meraup sebanyak mungkin kehangatannya.
Aku mendudukkan diriku di bangku yang kemarin kutempati, mengedarkan pandanganku ke sekeliling peron stasiun. Hanya ada seorang petugas yang berjaga di posnya, seorang pria  yang baru masuk ke stasiun dan tunawisma yang tertidur di atas kardus. Lagi, rasa dingin yang mulai terasa akrab membayang di belakangku, aku menolehkan kepala dan kudapati gadis itu kembali duduk di sampingku, masih dengan gaya berpakaian nyentrik tak sesuai musim. Kupluk berwarna putih dan kardigan rajut berwarna hijau pastel. Bibirnya yang tipis menyesap minumannya.
"Hai," sapaku.
Manik bulannya menatapku, "Hai juga." Balasnya.
Suara lampu yang berderik-derik di atas kepalaku mengisi sunyi.
"Kau, kenapa selalu pulang selarut ini?" tanyanya kemudian.
"Aku lembur,"
"Hmm, kalau begitu sebaiknya salju tidak turun deras ya hari ini."
"Kenapa?"
"Kau bisa saja sakit kalau terus-terusan berjalan di tengah hujan salju seperti ini." rona merah menghampiri wajahnya yang seputih pualam, lantas ia beralih meminum kopinya, gerak-geriknya canggung.
"Oh begitu ya," aku hanya menjawab semampuku. Karena sejujurnya aku juga sedikit kikuk dengan apa yang dia katakan tadi. Aku merasa... sedikit diperhatikan.
Diam menjadi sosok ketiga di antara diriku dan gadis itu sampai terdengar pemberitahuan dari petugas stasiun bahwa keretaku akan sampai beberapa menit lagi.
"Keretamu ya?" tanya gadis itu, suaranya yang lembut bagai mantra membuatku berkeinginan untuk terus memandanginya.
"Ya, begitu lah." jawabku, cepat-cepat mengalihkan perhatianku dari dirinya. Entah mengapa seperti ada yang berkecamuk di dalam rongga dadaku, membuatku seperti berada dalam sebuah guncangan, guncangan yang menyenangkan. Sedikit, aku mencuri pandang lewat ujung mataku. Gadis itu menyenandunngkan sebuah serenade, jemarinya yang lentik mengetuk-ngetuk dinding gelasnya. Sekali lagi, guncangan di dalam dadaku semakin tak karuan.
Moncong keretaku sudah terlihat di ujung terowongan.
Dalam hati aku berharap kereta itu tak pernah datang.
"Ehmm, sampai jumpa besok." entah mengapa aku mengatakan hal itu padanya.
Ia mengangguk, senyumnya yang manis terukir lagi. Ada dorongan yang asing tumbuh di dalam hatiku. Cepat-cepat kutepis. Begitu pintu kereta terbuka di hadapanku, aku melompat masuk.
***
Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku sendiri.
Hari ini tidak  ada lembur. Jadwal keluar kantorku kembali normal. Seharusnya sudah tujuh jam yang lalu aku sampai di rumahku, bersantai di ruang tengah sembari menonton TV atau tidur di bawah selimut yang hangat. Namun, realita yang ada aku hanya duduk-duduk di sini, di bangku stasiun sembari memegang gelas kopi yang meninggalkan jejak kecoklatan di dasarnya. Aku meremas tiket yang berada di dalam saku mantelku. Kereta yang seharusnya kutumpangi telah berlalu lima menit yang lalu. Begitu pula kereta dua jam yang lalu, empat jam yang lalu. Aku hanya membeli tiket, tanpa masuk ke kereta yang seharusnya membawaku pulang. Aku hanya duduk di sini, menghabiskan tiga cangkir kopi tanpa melakukan apa-apa.
Aku merutuki diriku, otakku semakin bodoh saja.
Aku tidak tahu.
Aku mau pulang, hanya saja setiap kali kereta yang singgah membukakan pintunya untukku, aku selalu saja bediam diri. Aku...
Aku mengharapkan perempuan itu datang. Aku mengharapkan perbincangan yang baru dengan perempuan yang baru kutemui dua hari itu. Perempuan yang auranya sedingin salju namun memiliki senyum yang manis dan selembut gula-gula kapas.
Aku menantinya. Seharusnya aku lembur saja, jadi tidak perlu menunggu bodoh seperti ini.
Ada apa ini?
Lagi, aku berjalan ke loket pembelian tiket untuk yang keempat kalinya. Petugas yang berjaga di balik dinding kaca itu memandangiku dengan dahi yang mengernyit. Mungkin heran melihatku yang bolak balik loketnya, mungkin juga berpikir bahwa ada laki-laki setengah gila.
Aku lekas pergi, tatapan penjaga loket itu membuatku jengah. Cepat-cepat kumemacu langkah. Awalnya aku hanya ingin menunggu di bangku yang tadi kududuki, namun mataku menangkap sosok yang membuatku menunggu bodoh sedang berdiri di depan pintu kedai kopi, setengah berlari aku bergerak ke arahnya.
"Hai!" sapaku.
Ia memalingkan wajah dan melambai padaku, lengkungan tipis terlukis di wajahnya.
Segera, aku membukakannya pintu. Aroma kopi menyambut kami di udara, dia berjalan masuk dengan hawa dingin yang membekukan. Ini pasti karena ia selalu saja memakai kardigan tipis itu.
"Kau mau pesan apa?"
"Latte."
"Latte-nya dua ya," kataku pada barista, lalu beralih menatap gadis berkupluk putih itu. "Kau, apa kau tidak kedinginan dengan mengenakan pakaian tipis begitu di musim dingin begini?"
Ia menggeleng, "aku sudah akrab dengan dingin."
"Tapi kau bisa sakit kalau berpakaian seperti  itu."
"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa. Dingin adalah bagian dari diriku."
Aku hanya tersenyum menanggapi jawabannya. Aku mengangsurkan tangan kananku. "Kita sudah dua hari ini saling berbicara, tapi aku tidak tahu namamu. Kenalkan, aku Doni."
Ia memandangi tanganku yang tergantung di udara, sesaat ragu-ragu menjabatnya. "Yuki."
Dingin langusng saja menjalar dari tangannya, menusuk seakan-akan mampu membekukan tulang-tulangku. Aku mengernyit, dan ia lekas melepaskan tangannya. "Ma—maaf." ujarnya.
"Tanganmu dingin sekali."
Ia hanya tersenyum.
Dua latte tersaji di hadapan kami, saat ia merogoh sakunya aku segerra menahannya. "Aku akan mentraktirmu, anggap saja sebagai penanda perkenalan kita."
"Umm, terima kasih."
Aku membalas senyumnya.
Kami berdua sama-sama menunggu kereta terakhir, duduk di bangku yang selama dua hari ini akrab denganku.
"Cincin yang bagus," ia melirik pada cicin perak yang melingkari jari manisku.
"Ah, ya. Ini cincin pertunanganku." Balasku ragu. Rasanya ada yang bergolak aneh di perutku, rasa mual, rasa bersalah. Tiba-tiba saja aku mengingat tunanganku.
"Apakah kau mencintainya?"
Ah, cinta. Kapan terakhir kali aku memikirkan kata itu. "Seharusnya aku mencintainya."
"Seharusnya?"
Aku tersenyum miris, cincin itu dingin melingkari kulitku. Ingatanku melesat di kejadian enam bulan yang lalu, saat pertunangan karena janji konyol orang tuaku kepada  sahabatnya. Janji untuk menikahkan anak-anak mereka untuk 'mempererat' persahabatan mereka.
"Ya," aku menjawab singkat. Ia tak bertanya lagi.
Hening.
"Pakailah," kataku, mengangsurkan mantel abu-abuku. Ia menyorotiku dengan pandangan bertanya-tanya. "Aku tidak tahan melihatmu, kau pasti kedinginan. Ini, pakailah."
"Kau lebih membutuhkannya." ia menolak.
Namun aku memaksa, segera saja aku mengeser dudukku dan menyampirkan mantelku ke bahu mungilnya.
Mengapa aku bertingkah seperti ini?
Aku menemukan matanya menatapku. Napasnya menerpa wajahku. Wajahnya mencipta rona merah, tanganku menggenggam bahunya. Napasnya semakin terasa.
Waktu berlalu begitu cepat.
***
Kuulangi kebodohanku yang kemarin. Kali ini lebih parah.
Seharusnya aku libur, tidur bermalas-malasan di kamarku atau nonton TV seharian. Tapi aku malah menghabiskan waktuku di sini. Seharian. Sejak pagi aku menunggu di bangku ini dengan mata yang mencari-cari di antara kerumunan orang-orang di stasiun, berharap menemukan gadis berambut ikal dengan kardigan hijau pastelnya. Aku menantinya, ingin mengucap maaf berkali-kali sampai ia memaafkanku.
Mana mungkin gadis itu mau memaafkanmu?
Aku meremas kepalaku frustasi. Kejadian kemarin membuatku tak bisa tidur semalaman. Aku mungkin telah menjadi laki-laki kurang ajar baginya, mana bisa aku mendaatkan maaf begitu mudah?
Lembutnya bibir gadis itu masih bisa kurasakan.
Sialan! Apa-apaan kepalaku ini!
Aku mengerang depresi, membuat pria yang duduk tak jauh diriku memandangku dengan tatapan heran. Kuacuhkan.
Kenapa kemarin aku hanya diam saja? Kenapa semalam gadis itu hanya diam saja? Kenapa aku langsung saja meninggalkannya? Kenapa aku begitu bodoh?
Ada seseorang yang duduk di sampingku.
Aku menoleh dengan kecepatan yang mungkin mampu mematahkan tulang leherku, harapan membanjiri tubuhku. Dalam kecepatan kilat, aku diguyur kecewa.
Bukan dia, melainkan barista yang biasanya berada di balik bar kedai kopi yang ada di belakangku.
Satu tatapan heran kudapatkan lagi.
"Seharian ini kulihat anda hanya duduk sendirian di sini," katanya membuka percakapan pertama kami selain percakapan di balik bar.
Aku mengangguk, "ya, aku... aku sedang menunggu seseorang."
"Siapa?" tangannya menawarkan sebungkus rokok, aku menggeleng. Bibirnya menjepit sebatang rokok, lalu menyulut api.
"Kau tahu perempuan yang selama tiga hari ini selalu duduk di sini setiap jam sebelas malam? Aku... kemarin aku... agaknya bersikap kurang ajar padanya."
"Perempuan yang mana?"
"Perempuan yang selalu mengenakan kardigan hijau itu, yang rambutnya ikal. Setiap aku menunggu kereta, dia selalu menemaniku. Kemarin bahkan aku mentraktirnya latte. Kau sendiri yang membuatkannya." aku menambahi.
Kernyitan di dahinya makin dalam, rokok yang ia jepit di antara jari telunjuk dan tengah tangan kanannya ia abaikan. sebentuk abu jatuh mengotori lantai di dekat kakinya. Ia terkekeh. Matanya melontarkan pandangan tak percaya padaku.
"Maaf tuan, kau memang selalu duduk di sini, namun tak pernah ada perempuan yang menemani anda."
"Maksudmu?"
"Anda mungkin berhalusinasi. Aku bisa melihat anda dari bar, anda selalu sendirian menunggu kereta."
"Tidak mungkin, tiga hari ini dia selalu datang ke kedaimu. Kau sendiri yang melayaninya. Kemarin bahkan kau tersenyum kepada kami." aku ngotot, orang di depanku ini menatapku seolah aku ini orang sakit jiwa.
"Anda selalu sendirian tuan," katanya remeh, lalu terkekeh.
Aku mengernyit marah padanya. Mengabaikan.
Ia terus mengasapi diri, kereta terakhir hampir datang.
Aku gelisah menunggu. Gadis itu mungkin tidak datang. Bisa jadi dia marah. Murka padaku yang kurang ajar padanya. Namun harapan ini tak mau pupus.
Moncong kereta sudah terlihat, laki-laki di sampingku berdiri.
Pintu membuka, aku tak beranjak, laki-laki itu melangkah masuk, berputar menghadapku dari dalam kereta. Tepat sebelum pintu kereta menutup di hadapannya, ia mengatakan sesuatu.
"Anda selalu sendirian, tuan. Selama ini anda sendirian. Tidak kemarin, tiga hari yang lalu, maupun hari-hari lalu yang anda gunakan untuk menunggu."
Pintu menutup di depannya. Kereta terakhir telah berangkat.
Aku mengeratkan mantelku, hawa dingin tiba-tiba saja muncul. Aku mencari-cari ke belakang. Hanya mendapati ke kosongan. Stasiun telah sepi, peron-peron sunyi, langkah-langkah yang sibuk tak terdengar lagi.
Aku tetap duduk di bangkuku, mengharapkan dia datang. Mengharapkan dinginnya menghampiriku.
Langkah kaki terdengar.
Dari dalam terowongan, gadis berambut ikal itu muncul.
***

2 comments:

  1. Nice twist... cerpen yang keren. Saya juga dulu suka menulis cerpen, cuma belakangan udah jarang sejak kerja. Kapan-kapan boleh dong sharing soal kepenulisan nih, hehehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, makasih....
      Iya boleh lah kapan-kapan saling sharing.

      Terima kasih sudah berkunjung :D

      Delete

Kalau menurutmu, bagaimana?