here |
~0o0~
Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang
ke kampung halamanku, menempuh perjalanan sendiri dengan kereta api yang
berangkat malam. Gerbong kelas 2 sudah mulai penuh dengan penumpang, sebagian
bercengkrama dengan penumpang sebangkunya, sebagian memakan makan malamnya,
sebagian lagi memilih menutup mata dengan tubuh yang dibungkus sarung
rapat-rapat. Ramai suara ibu-ibu dan anak remaja menjajakan dagangan mereka,
beberapa kali aku ditawari nasi bungkus
dan majalah namun aku menggeleng saja. Sekarang aku hanya ingin
mengistirahatkan kakiku. Aku berjalan pelan di lorong gerbong, sedikit
kerepotan dengan backpack besar yang kubawa dibahuku.
Kursi 13A.
Akhirnya. Segera kuhempaskan backpack-ku,
menggerak-gerakkan sedikit bahuku, lalu mengangkat lagi tas besar itu dan
memasukkannya ke dalam kabin. Lekas aku dudukkan diriku, menatap ke luar
jendela. Bintang-bintang berjejer membentuk timbangan, rasi bintang libra
sedang berdampingan dengan bulan sabit malam ini. Aku tersenyum tipis,
menghembuskan napas perlahan. Jejak-jejak itu masih kentara di dalam kepalaku,
terlebih pada hati yang tiba-tiba menghangat. Bulan, pada malam ini telah
mengingatkanku pada dirinya.
Sosok yang lengkungan senyumnya seperti
bulan sabit.
"Kamu Fara, kan?"
Sebuah suara mengagetkanku. Bukan karena
ditanyai tiba-tiba, tetapi karena suara itu terasa akrab ditelingaku. Nyaring
dan penuh rasa pencaya diri.
Aku menolehkan kepala, meski hati sudah
mengatisipasi namun kejut tetap saja mengaliri seluruh tubuhku. Sosok bulan
sabit yang baru saja kupikirkan kini berdiri dihadapanku. Telunjuknya terangkat
ke arahku, mata coklatnya menatapku dengan binar cerah. Bibirnya, melengkungkan
bulan sabit.
Aku masih terpana menatapnya. Ini
benar-benar dia?
Ia melempar tas ranselnya ke bawah bangku,
tahu-tahu saja ia duduk di depanku. "Masih ingat aku? Farid?" ia
menunjuk dirinya sendiri. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang agak gondrong,
mungkin berusaha kembali menciptakan image anak SMA badung yang selama tiga
tahun menemani masa-masa SMA-ku.
Aku masih memandanginya. Bukan karena lupa,
namun karena masih tak percaya pada sosok laki-laki ini. Laki-laki yang kurus
dan tinggi menjulang ini.
Aku tidak akan lupa sosoknya.
Hari pertama MOS waktu SMA dulu, dia sudah
berani cari gara-gara dengan senior. Hanya karena perkara tidak mau berjalan di
parit depan sekolah. Sebagai gantinya, dia disuruh menyanyikan sebuah lagu.
Beberapa siswa baru ditarik secara acak oleh panitia MOS untuk menjadi penari
latarnya. Kami yang siswa baru langsung gelisah sendiri, antara takut dipanggil
dan penasaran sekaligus lucu membayangkan apa yang akan terjadi di depan kami.
Lima anak laki-laki berkepala plontos
berjejer di belakangnya, beberapa panitia MOS mengatur-atur mereka,
mewanti-wanti agar mereka benar-benar menjadi 'penari'. Berikut berpesan pada
si pembuat perkara agar menyanyikan lagu dengan benar. Aku pikir, mereka akan
langsung beraksi. Namun, tiba-tiba saja lenganku ditarik oleh seorang panitia
bertampang judes. Ia mengiringku ke depan lapangan, tanpa tahu apa kesalahanku. Ratusan pasang mata
menatapku. Beberapa dari pemilik mata
itu cekikikan.
"Nah, lo, Korek Api."Ia menyebut
nama julukan si pembuat perkara itu, lalu menunjuk-nunjuk diriku. "Lo
nyanyi buat dia ya, si itik. Dan lo, itik, lo harus menghayati juga ya apa yang
dia nyanyiin."
Sontak saja wajahku memerah karena malu,
kakiku sudah gemetaran dan keringat dingin mulai keluar membasahi pelipisku.
"Ngerti kan, dek?"
"Siap! Ngerti kak!" enam anak
laki-laki di sampingku berdiri tegap.
"Eh, ini kenapa yang cewek malah diam?
Mau disuruh duet aja ya?" seseorang berteriak di telingaku. Aku menggeleng
cepat-cepat. Kalau disuruh menyanyi aku bisa-bisa pingsan.
Riuh panitia menyorak-nyoraki, namun kakak
panitia yang bertanggung jawab untuk kelompokku berusaha menyudahi dan meminta
agar kami segera menyelesaikan hukuman.
"Aksi ya! Satu... dua... tiga!"
"Ehem..." si korek api berdehem,
lima di belakangnya mengangkat jempol.
Anggur
merah yang selalu memabukkan diriku
Kuanggap
belum seberapaaa...
Dahsyatnya!
Bila
dibandingkan dengan senyumanmu
Yang
membuatku jatuh bangun...
Aku tak lagi berfokus untuk mendengar lagu
itu, terlebih lagi untuk ikut-ikutan 'menghayati'. Aku sibuk menenangkan diriku
yang semakin gemetaran. Siswa-siswa baru yang ada dibarisan tertawa
sembunyi-sembunyi melihat Si Korek Api dan penari latarnya berrgoyang dangdut,
beberapa diantara mereka bahkan ada yang terpingkal-pingkal (seolah tak takut),
kakak panitia ada yang bergabung joget dan mengulurkan tangan ke arahku.
Aku?
Aku hanya berdiri kaku. Wajahku panas
sekali dan air mata berdesakan ingin keluar. Aku tidak salah namun ikut-ikutan
terpanggil. Aku menunduk dalam-dalam, malu memperlihatkan wajahku.
"Dahsyatnya!" lirik terakhir,
lalu. "SIAP! SUDAH KAK!"
"Bagus! Eh, tapi ini yang cewek kok
diem-diem aja sih. Pasti iri nih, mau
nyanyi juga kan?" Kakak Panitia bermuka judes tadi meneriakiku, aku tetap
saja diam. Tak mampu lagi bersuara. "Kalau ditanya itu harus dijawab, dek.
Mau disuruh nyanyi juga?"
"S—ssiap... tidak kak...."
"Ih, nggak mau?"
"Kak, udah dong kak. Kasihan,
kak..." satu suara khas remaja baru puber, suara yang tadi menyanyikan
lagu Anggur Merah itu terdengar. Teralih sudah perhatian orang-orang dariku.
"Kamu belain dia? Ihhhh... so sweet
bangettt." suara kakak judes mengejek.
Lalu satu suara lagi menimpali, suara yang
lebih berkharisma dari si kakak judes. "Sudah-sudah, ini sudah mau
penyampaian materi. Ntar guru-guru marah kalau kita telat masuk. Nih yang lima,
balik ke barisan masing-masing. Dan buat lo, Korek Api, anterin Si Itik balik
ke barisannya. Cepetan!"
"Siap! Iya Kak!"
Tahu-tahu saja, sebuah lengan mendorong
bahuku pelan. Aku ikut saja berjalan. Banyak tatapan yang mendarat padaku,
cepat-cepat aku melangkah masuk barisan.
"Sori ya, buat yang tadi." Si
Korek Api berkata pelan.
Aku mendonggakkan kepalaku, dan aku
mendapati dia menatap sembari tersenyum padaku. Senyum yang melengkung indah
seperti bulan sabit, dengan dekik di pipi kirinya.
Saat itu, gelombang rasa yang aneh melandaku.
Entah aku harus merasa menyesal atau beruntung telah membalas tatapannya.
Satu insiden memalukan itu mengawali
keterikatanku dengannya. Esok harinya,
aku tidak lagi dipanggil Si Itik atau Fara, melainkan Anggur Merah. Kadang ada
yang bermaksud main-main, namun ada pula yang kedengarannya mengejekku. Kalau
sudah begitu, aku akan segera mempercepat apa pun yang kulakukan, agar bisa
menghindari panggilan itu. Waktu belajar menjadi tamengku dan perpustakaan
menjadi bunker perlindunganku. Aku yang memang dari sananya pendiam menjadi
sosok yang tertutup dan kurang pergaulan selama SMA, temanku tidak sampai jari
setangan untuk dihitung, itu pun tidak akrab-akrab amat. Aku terasing dalam
kehidupan di mana aku seharusnya mengalami masa-masa yang paling indah.
Namun, masa-masa yang suram itu sedikit
tercerahkan dengan kehadirannya, Si Korek Api yang belakangan kutahu namanya
adalah Farid. Entah mengapa perasaanku senang sekali bila dia melintas di depan
kelasku, atau dia yang berpapasan denganku ketika dari kantin. Saat itulah, dia
menyempatkan melepaskan satu lengkungan bulan sabitnya kepadaku. untuk apa, aku
tidak tahu. Aku hanya membalas senyumannya dengan kikuk.
Dua tahun berlalu, masa bermain-main
berganti dengan masa ujian dan ujian. Di kelas tiga, kelas ujian, kelas paling
sulit, semesta kembali mempertemukanku dengan Si Korek Api. Tidak
tanggung-tanggung, dia duduk tepat di sampingku. Aku yang selama ini duduk
sendiri kini memiliki teman sebangku. Hari-hariku tercerahkan dengan
kehadirannya. Dia yang begitu aktif berbicara, auranya yang menyenangkan,
terlebih lagi senyumnya... senyum bulan sabit dengan dekik di pipi kirinya.
Senyum yang entah mengapa selalu berhasil
membuatku salah tingkah.
"Fara, bisa bantu ngerjain PR Bahasa
Inggris?" tanyanya suatu waktu, aku mengangguk dan dia duduk di sampingku.
Buku LKS Bahasa Inggris beserta satu John Echols menjadi tali penghubung
interaksiku dengannnya. Ia selalu memintaku untuk membantunya mengerjakan PR,
bukan menyontek pekerjaanku sekalipun aku memberikannya dengan suka rela.
"Pasti asyik deh, kalau bisa jadi
pacarnya Fara." celetuknya santai.
Tanganku yang sibuk membolak-balik kamus
terhenti seketika karena perkataannya, Debaran di dadaku semakin jadi.
"Maksud kamu apa?"
Ia mengangkat bahu, "Fara kan orangnya
pintar, baik, pasti banyak deh yang mau sama Fara."
"Memangnya ada yang mau sama
aku?" aku memberanikan diri untuk bertanya, pertanyaan paling bodoh yang
pernah keluar dari bibirku. Karena jawaban yang kuterima tidak pernah
kubayangkan sebelumnya.
"Kalau aku bilang, aku mau sama Fara.
Kira-kira, Fara mau nggak sama aku?"
Aku menatapnya, dia nyengir.
Jemariku bergetar di atas lembar kamus,
entah adrenalin atau serotonin mengalir deras di aliran darahku. Kini ia
bergerak gelisah, cengirannya lama-lama memudar melihatku yang hanya diam
menatapnya, lalu dia tertawa pelan.
"Yee, nggak usah bodoh gitu dong
mukanya. Just kidding aja gue.
Hahaha..." tangannya mengibas poniku, gelenyar asing namun menyenangkan
singgah di keningku. Aku menunduk di atas kamus, mencari kata-kata. What should I do now?
Sisa jam istirahat kuhabiskan bersamanya
untuk membantunya mengerjakan tugas, begitu pula hari-hari berikutnya. Tak ada
lagi yang membahas tentang perasaan sejak percakapan kikuk itu. Kami jadi
semakin akrab dan sering bersama-sama. Sering makan siang di kantin, kadang
kala kami sama-sama belajar, memecahkan soal-soal latihan, sesekali bercanda
dan melempar pertanyaan-pertanyaan konyol.
Namun, aku menyimpan beberapa pertanyaan untuk
diriku sendiri.
Misalnya, mengapa aku selalu ingin berada di
dekatnya? Mengapa aku selalu begitu bahagia setiap ada yang memanggilku 'anggur
merah' dan ada dia yang memelototi orang yang memanggilku? Mengapa jemariku
selalu saja bergetar setiap kali dia merangkul bahuku? Mengapa wajahku selalu
saja memanas setiap kali dia memberikanku lengkungan bulan sabitnya?
Mengapa-mengapa itu tak pernah terjawab,
sampai hari kelulusan tiba dan kami berpisah. Aku mengejar cita-cita untuk
menjadi guru TK, sementara dia entah pergi ke mana. Pertanyaan-pertanyaan itu
masih mengusik sudut-sudut kepalaku sekali pun tujuh tahun telah berlalu.
Mengapa yang selama bertahun-tahun telah tumbuh dan berakar menghujam diriku.
Mengapa aku semakin sering memikirkannya?
Mengapa aku sesak napas tiap kali
mengingatnya?
Mengapa aku selalu memejamkan mata dan
berharap dia ada di sampingku ketika aku membuka mata?
Mengapa bayangan bulan sabutnya selalu
muncul di kaca jendela setiap kali aku melamun?
Dia tidak lebih dari seorang teman, sosok
jahil yang menyanyikan lagu dangdut ketika MOS SMA, sosok yang menjadi teman
sebangku, sosok yang membuat masa SMA-ku memiliki pelangi di ujungnya.
Tapi aku... selama tujuh tahun aku tanpa
kehadirannya, dialah yang kupikirkan sebelum aku tidur. Dialah, selain
keluargaku yang menjadi alasanku untuk pulang kampung, untuk menghadiri reuni
sekolah.
Tapi aku tak pernah menemukannya.
Sampai saat ini, dia duduk di depanku,
Menatapku dengan mata cemerlangnya dan lengkung bulan sabit di wajahnya
Dan aku bergeming di tempatku.
"Halo, Fara?" raut excitednya berubah khawatir, lalu
tangannnya bergerak gelisah menggaruki tengkuknya. "Atau aku jangan-jangan
salah orangnya? Tapi aku yakin kamu Fara. Kamu nggak mau diganggu ya? Atau ada
orang lain yang mau duduk di sini? Aduh sorry
banget, aku nggak tahu. Mending aku pindah aja ya, aduh sorry ya, sorry—"
"Nggak ada yang mau duduk di situ, dan
kamu nggak perlu pindah. Aku nggak terganggu kok." ujarku akhirnya,
setelah lima menit terdiam. Jantungku masih jumpalitan.
Dia yang tadinya grasa-grusu mengangkut
bawaannya langsung berhenti. Bulan sabitnya terlihat lagi, dekik manis pipinya
semakin dalam. "Kamu yang melamun bikin aku grogi, tahu nggak. Ini beneran
Fara kan?"
"Iya, ini aku."
"Ah, untung deh. Aku kira tadi aku
halusinasi liat orang yang mirip kamu." dia nyengir kuda, "saking
seringnya mikirin kamu."
"Hah?"
"Apa?"
"Tadi kamu bilang apa?"
"Ah nggak kok, aku senang aja bisa
ketemu kamu lagi. Udah berapa lama sih kita lulus SMA?"
"Tujuh tahun."
"Ah, iya tujuh tahun."
Sesaat hanya suara roda kereta yang mengisi
diam di antara kami berdua. Aku meremas jemariku yang berkeringat. Aku terus
memandangi langit lewat jendela, sekalipun apa yang ada di hadapanku ini lebih
menarik untuk kupandang.
Entah mengapa, aku tak berani. Wajahku
selalu saja membara setiap kali kulirikkan ekor mataku dan mendapatinya
menatapku dengan tajam.
"Fara makin cantik deh."
Dan kamu juga makin mempesona.
"Udah ada yang punya?"
"Hah?" aku cepat menoleh, lesung
pipinya muncul ketika nyengir.
"Maksudku apa kamu udah punya pacar,
atau suami mungkin?"
Aku tertawa geli mendengarnya, rautnya
penuh harap. Dan pipiku semakin memanas, lidahku kelu, jadi aku menggeleng
saja.
"Baguslah."
Dia berdehem.
Aku menahan senyum.
Kali ini, akan kupastikan 'Pertanyaan Mengapaku'
terjawab.
~O0O~
Bagus!
ReplyDeleteHehehhe... Terima kasih kakaa :d
Delete:h sdh lm gak lihat tulisan rhyme, tahu2 dapat yang so sweet kayak gini...
ReplyDeleteHahhahahhhaha.... tapi akhir-akhir ini semakin hilang imajinasiku sodara....
Deletesoalnya semakin jarang lagi sa liat cowok ganteng... T.T