The Feeling [First Pieces]

Monday, May 13, 2013



"When I see you, I fell in love with you. And you smile because you know it."

-Arrigo Boito-

Aku tidak bisa mengerti Rhea.
Rhea, si gadis yang begitu mudah jatuh cinta pada setiap laki-laki yang ia anggap baik, tampan, kaya, cerdas, sekalipun orang laki-laki itu baru sepersekian detik ia temui. Dalam satu perkenalan dia bisa mengidentifikasi laki-laki mana saja yang bisa ia taksir mana yang tidak. Dia seperti punya radar tersendiri untuk laki-laki yang ia angggap memenuhi kriterianya. Tinggi. Atletis. Beralis tebal. Baik hati. Penyayang. Sempurna. Kriteria tipikal yang akan disebutkan setiap wanita bila diminta untuk mendeskripsikan laki-laki idaman mereka. Tapi bagi Rhea berrbeda, ia tidak terlalu memperhitungkan fisik yang mumpuni meskipun terkadang pesona raga lelaki menahan matanya sesaat. Ia tidak akan kenyang dengan melihat bungkusnya saja, ia perlu tahu isinya juga. Dalam hal ini. Otaknya. Kepalanya. Kecerdasan. Tidak perlu sekelas Einstein, cukup untuk bisa menandingin lontaran kalimat dari Rhea yang kadang-kadang perlu imajinasi tinggi serta daya analitis yang kuat, dijamin Rhea rela menghabiskan berjam-jam bersama lelaki 'nyaris Einstein' itu.
Tapi kembali lagi. Rhea begitu mudah jatuh cinta pada fisik sekalipun fisik bukan incaran pertamanya. Bingungkan? Saya saja yang sudah bertahun-tahun jadi sahabatnya bingung dengan konsep hati Rhea yang aneh.
Kakak seniornya di sekolah menengah. Tampan, anggota Paskibraka, ahli pelajaran eksak. Ada sekian minggu Rhea berusaha untuk menambah tinggi badannya agar bisa masuk dalam pasukan pengibar bendera pada acara17-an di sekolahnya. Dengan melibatkan tiang gantungan, obat cina, melakukan gerakan-gerakan menarik-narik kaki dan tangan, pada akhirnya ia bisa sukses masuk ke lingkarna paskibra. Endingnya? dia bisa dekat dengan senior incarannya itu. Ujungnya? baru tiga hari perkenalan dia sudah ogah bertemu cowok tinggi itu. Alasannya?
"Tuh cowok nggak bisa diajak ngomongin Dan Brown, larinya malah ngomongin girl band. Kampret."
Atau yang sedang terjadi sekarang ini. Rhea seorang gitaris band indie jebolan kampus tetangga. Alasan ketertarikan; bisa main gitar, alisnya tebal, tampang oriental ala boyband korea. Dia bela-belain beli gitar ratusan ribu, belajar main gitar sampai jari-jarinya melepuh, beli buku chord-chord gitar, dan si gitaris mulai memperhatikannya saat dia manggung di sebuah festival musik kampus dengan skill pas-pasannya. Endingnya? Dia makin dekat sama cowok gitaris itu, malah sempat diajari main gitar dengan cara picisan film-film Hollywood. Biasalah, si cowok di belakang, sambil memposisikan tangannya pada tangan si gadis, sesekali dengan gerakan yang tidak disengaja tapi sebenarnya disengaja si cowok menyentuh jemari si cewek yang sedang berusaha membentuk kunci C G A Minor dengan tangan yang gemetaran. Lalu mereka saling berpandangan, tersenyum, lalu seisi dunia menghilang dan menyisakan mereka berdua sebagai pemilik bumi ini.
Cuih. Aku tahu detail ceritanya karena aku ada di sana, di tempat nista itu, menyaksikan drama opera sabun murahan dengan sahabatku dan cowok kelewat 'cantik' saling bertatap-tatapan dan tersenyum-senyum sinting.
Terperangkap di balik layar laptop, memperhatikan dua sosok yang saling terpukau satu sama lain. Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dari pada hal itu selain kau hanya duduk diam memperhatikan mereka.
Tidak ada hal yang paling menjengkelkan, melihatnya duduk di samping orang lain.
Tersenyum malu-malu pada orang lain.
Digenggam tangannya oleh orang lain.
Orang lain.
Dan bukannya aku.
 ~0O0~
Aku sudah tenggelam dalam tumpukan Campbell dan diktat saat Rhea datang menyerobot masuk ke dalam perpustakaan dengan ribut. Beberapa orang yang tadi sedang serius membaca dan menyalin mendonggakkkan kepalanya, sementara penjaga perpustakaan memandanginya dengan pandangan terganggu.
"Rhea, sini!" segera aku memanggilnya dengan teriakan yang tertahan, sebelum gadis berambut panjang itu memanggil-manggilku dan membuat kegaduhan yang lain.
Rhea menyunggingkan senyum manisnya, lalu berjalan dan menarik sebuah kursi tepat di sampingku.  Matanya berbinar cerah, sementara rona merah senantiasa hadir di pipinya.
"Apa?" tanyaku, mengira-ngira kisah mana lagi yang ingin dia ceritakan.
 Bibir tipisnya terus menggariskan lengkungan, sesaat bisa kulihat matanya berkedip senang padaku. Dan tiba-tiba saja dia malah menangkupkan kedua tangannnya di pipinya yang merona dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hari ini aku bahagia, Ra!" serunya, tersenyum tertahan.
"Bahagia kenapa?"
"Aku dapet cowok ganteng lagi.."
Gubrak!
Aku menatapnya dengan tatapan terkejut. Cowok baru lagi?
"Lantas yang gitaris itu mau kamu kemanakan?" aku mencoba tenang, berusaha berkonsentrasi pada laporan praktikum yang sedang kukerjakan. Mencoba untuk tidak tepengaruh pada cowok-ganteng-entah-siapa-itu yang ternyata telah menambah deret panjang cowok-cowok yang mempesonanya.
"Hmmm, kalau yang itu... aku juga sukaaaa."
Aku memutar bola mataku, Rhea tidak pernah cukup dengan satu orang saja. Rhea bisa menyatakan bahwa dia menyukai seberapa orang sekaligus dalam satu waktu. Entah itu kagum, naksir, suka, sayang atau apalah yang katanya satu tingkat di atas kagum dan satu tingkat di bawah cinta. Rhea tidak pernah puas dengan satu hati. Dalam satu waktu, gadis itu bisa menyatakan bahwa dia sedang ada perasaan pada Sembilan pria yang berbeda. Ia tidak mengenal konsep hati cuma untuk satu orang, baginya hati bukanlah tempat di mana satu orang bisa tinggal. Hati bisa dibagi-bagi.
Ada banyak orang yang pernah Rhea incar, dekati, dan ada yang berakhir dengan hanya menjadi TTMan ada pula yang berujung pada ikatan bernama pacaran. Namun hubungan itu tidak pernah lebih dari tiga bulan, mati di umur yang masih muda. Rhea jarang merasa sedih karena putus cinta dari orang yang ia sukai— karena tahu lah, dia punya banyak cadangan. Lewat dari masa berkabung selama tiga hari, dia pasti sudah mendapatkan gebetan baru.
"Ra," panggilnya, mulai menarik-narik lenganku.
"Hm?"
"Ra, dengerin cerita aku dong."
"Iyaa, ini aku dengerin kok." kataku masih belum mengalihkan perhatianku dari apa yang sedang kukerjakan.
30 detik berlalu dan Rhea belum juga memulai ceritanya. Dia ngambek, pasti. Aku segera menutup laptopku dan memutar posisi dudukku. Setiap kali ia bercerita, ia selalu meminta atensi penuh, meminta agar setiap detail ceritanya terserap dengan baik dan tidak melupakan hal sekecil apa pun dari kisah-kisahnya.
Lagi ia melengkungkan senyum, kedua tangannya menyangga dagunya yang runcing, matanya yang berbulu mata lentik berkedip dramatis. "Jadi tadi itu..."
Singkat saja dari apa yang ia ceritakan, cowok ganteng yang dia maksudkan kali ini adalah teman seangkatannya dulu waktu SMA. Mereka pernah sama-sama sewaktu bimbingan Olimpiade dulu, pernah TTM-an, lalu terpisah karena si cowok ganteng mesti kuliah di kota lain dan kemudian setelah dua tahun, mereka bertemu lagi di acara ulang tahun sepupu Rhea.
Kenangan masa lalu. Keterpesonaan Rhea pada fisik seseorang. Dan mungkin ada sedikit perasaan suka yang tertinggal. Singkat cerita, mantan teman kelas itu kembali menempati posisinya, dalam kepingan-kepingan hati Rhea.
Namun aku tidak peduli dengan kisah-kisahnya dengan orang lain. Entah ini cowok keberapa yang berhasil memecah hatinya menjadi satu kepingan yang lain, bukan seperti dalam konsep patah hati yang biasa diibaratkan dengan hati yang pecah berkeping-keping. Bagi Rhea, itu sebaliknya. Di mana ia bisa membagi rasa sukanya pada banyak orang. Membuat orang lain merasa spesial pada perlakuannya meskipun dia tidak pernah bermaksud lebih. Teman bukan, pacar bukan. Mengawang-awang. Dan itulah yang menakutkan dari Rhea.
Membuat orang lain merasa telah sepenuhnya memiliki hatinya. Padahal bisa saja, seseorang itu hanyalah kepingan kesekian.
Dan aku berusaha keras untuk tidak masuk ke dalam kepingan-kepingan hati Rhea. Cukup seperti ini. Mendengarkannya berkisah. Melihat matanya berbinar ceria, wajahnya yang merona merah, bagaimana tangannya bergerak ekspresif menggambarkan perasaannya, bagaimana ketidaksadaraannya membuatnya terlihat begitu menarik.
Bukan perkara mudah memperhatikannya lama-lama dan hanya duduk diam saja mendengarkan, sekuat apa pun aku menahannya. Selalu ada rasa yang asing senantiasa hadir setiap kali dia berada di dekatku. Rasa asing yang selalu mendorongku untuk menyingkirkan anak-anak rambutnya yang jatuh karena begitu asyik bercerita.
"...Ra! Ra! Raraaa!!!" panggilannya yang berisik, membuat kesadaranku menyeruak hadir kembali. Tanganku yang tadi sempat terangkat seketika langsung kuturunkan untuk menutup buku yanga da di hadapanku. Lewat ekor mataku, bisa kulihat tangannya terkepal di atas meja, kesal. "Kau tidak memperhatikan omonganku!" rajuknya.
"Rhea, aku dengerin kok cerita kamu. Dan please, nama gue Radit bukan Rara." ucapku, tak ingin memperpanjang masalah tidak penting ini. Namun matanya memandangiku tajam, matanya yang agak sipit kini memicing curiga terhadapku. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, tapi itu pasti bukanlah sesuatu yang baik. Menurutku.
"Ra," panggilnya.
"Apa?"
"Ra!"
"Iya, Rhea. Apa?" aku balas menatapnya.
Senyumnya aneh, matanya berkilat jenaka. "Ra, kamu naksir sama aku?"
Ucapannya membuatku lumpuh sepersekian detik, laptop yang sementara ku masukkan ke dalam tas hampir saja tergelincir dari tanganku.
"Ngawur kamu!" refleks aku bereaksi. Cepat-cepat aku membereskan barang-barangku.
"Benar kan ya? kamu suka sama aku?"
Sialan pede-nya nih cewek. Dari mana pula dia mendapat pikiran seperti itu?
"Iya kan?"
Aku hanya melayangkan pandangan tidak suka padanya, dan sialnya dia malah membalas dengan senyum penuh keyakinan. Aisssh senyumnya!
"Sebagai teman, iya." kataku, melangkah keluar perpustakaan.
"Nggak, kamu suka aku lebih dari teman kan?" matanya makin cerah, tangannya mulai menarik-narik bagian depan ranselku.
"Dapat ide gila dari mana lagi kamu? Nggak mungkin aku suka sama kamu." kataku tegas. Menegaskan padanya dan juga menegaskan pada diriku sendiri, kalau aku tidak merasakan apa-apa dengannya.
"Tadi. Cara kamu natap aku, tadi itu beda Ra."
Ada yang berbeda dari nada suara Rhea, aku menoleh ke arahnya dan mendapati raut wajah yang belum pernah ia perlihatkan padaku. Cepat-cepat aku mengalihkan kembali pandanganku, sembari memperbaiki letak ransel di bahuku dan segera melangkahkan kakiku.
"Terima aja kenyataan kalau aku nggak ada perasaan lebih sama kamu. Nggak usah terlalu melebih-lebihkan segala perlakuan aku ke kamu."
Ia tidak lagi merajuk padaku. Tidak pula menahan langkahku.
 ~0o0~
.To be Continued.
Masih baru mulai menulis lagi.
Ini sampe melongo bego-garuk-garuk kepala-pasang tampang ongol-sinting-gila gara-gara mikirin nih cerita... Niatnya satu Chapter aja... eh malah jadi dua chapter. Tolong kripik dan sarannya yoooo... :D

1 comment:

Kalau menurutmu, bagaimana?