here |
Aku
tidak tahu mengapa aku merasa seperti ini, merasa merindukan suara Rhea yang
bercerita tentang lelaki-lelaki yang ia kagumi, yang ia suka, yang ia dekati
atau yang sedang ia jauhi. Aku rindu pada anak-anak rambutnya yang jatuh di
pipinya, atau pada wajah jahilnya, atau pada matanya yang menyipit curiga. Aku
rindu pada senyum cerianya ketika tengah berkisah tentang petualangan hatinya,
meski ada rasa iri yang kadang hinggap padaku. Aissshh sialan! Kenapa omonganku
jadi kedengaran kayak orang habis putus cinta?
Buru-buru
aku menggeleng-gelengkan kepalaku, gara-gara memikirkan Rhea aku tidak
menyadari bahwa dosen yang tadi memberikan materi Genetika sudah keluar dari
ruang kelas. Teman-temanku sibuk membereskan peralatan tulis mereka, dan
beranjak keluar. Diiringi helaan napas yang panjang, aku melakukan hal yang
sama. Sesaat, ada satu hal yang terlintas di kepalaku
Menelepon Rhea.
Bukan
hal yang besar-besar amat, tapi bagiku menelepon Rhea itu adalah sesuatu yang
perlu dipikirkan matang-matang. Aku tidak pernah menelepon Rhea duluan.
Biasanya, dialah yang menelepon bila memerlukan sesuatu, dialah yang
mengirimkanku pesan singkat bila ingin bertemu, dialah yang membutuhkanku. Dan
aku merasa senang karenanya. Dan kini, saat memutuskan untuk menelepon dirinya,
aku merasa... aku merasa aku yang membutuhkannya.
'Ah
tidak, aku meneleponnya hanya ingin tahu kabarnya saja. Iseng. Tidak lebih.'
sugesti pikiranku.
Namun,
kala aku mengangkat kepalaku, menempelkan telepon genggamku ke telinga kanan,
sosok yang hendak aku ajak bicara itu sudah berada di depanku. Hanya berjarak
tiga meter dariku.
Aku
bisa menangkap keterkejutan di mata beningnya, kejut yang sama seperti yang
kurasakan. Rhea bergerak kikuk di tempatnya berdiri, lalu dengan langkah yang
tergesa-gesa mencoba berjalan melewatiku.
"Rhea,"
panggilku, menahan lengannya. Ia tetap diam, genggamannya pada buku yang ia
peluk semakin erat. "Kamu kenapa?"
"Kenapa?"
tanyanya, ada cekat dalam suaranya.
"Kamu
ada masalah?" aku mencari-cari pandangannya.
"Nggak
kok, nggak ada."
"Ada
masalah sama cowok-cowok kamu?" tanyaku lagi, mencoba mencairkan kekakuan.
Sayangnya, atmosfer yang ada di sekitar kami malah terasa semakin dingin.
"Nggak."
"Aku
ada salah sama kamu?"
Ia
tidak merespon secepat yang tadi. Ada jeda panjang yang hadir kala aku menunggu
jawabannya.
"Bukan
di kamu, tapi aku." gumamnya setelah lama menimbang-nimbang.
"Maksud
kamu?" keningku mengernyit, kedua tanganku menggenggam bahunya,
membalikkan posisinya menghadap kepadaku.
"Aku,
aku yang salah."
"Rhea,
ngomong yang jelas deh. Kamu tahu aku nggak suka sesuatu yang
berbelit-belit."
Matanya
seolah menolak untuk melihatku, manik hitamnya tak pernah fokus padaku. Padahal
biasanya, setiap kali ia ingin bercerita, dia selalu mencari-cari aku. Kini
kenapa dia sekarang begitu menghindariku.
"Rhe..."
"Kenapa
kamu masih belum sadar-sadar juga?" gumamnya pelan, bahunya bergerak
menjauhiku. "Mengapa di saat aku mengharapkan hal yang lebih sama kamu,
aku malah terjebak di persahabatan yang tidak aku inginkan?"
"Rhe—jangan
berputar-putar deh, kamu nggak pengen sahabatan sama aku? Aku ada salah sama
kamu? Aku nggak mengerti maksud kamu apa." ucapku depresi.
Aku
bisa melihat ada retak di matanya, menyalang menahan sesuatu untuk keluar dari
sana. "Kamu nggak perlu mengerti ini semua, cukup kamu dengarkan saja.
Sama seperti yang sering kamu lakukan." katanya menghirup napas panjang,
"Kamu nggak ada salah apa-apa sama aku. Aku yang salah karena aku sudah
berharap lebih sama kamu. Dan mulai sekarang, aku nggak akan lagi cerita sama
kamu tentang apa yang aku lakukan."
"Rhe...
kenapa?" gadis ini omongannya makin berputar-putar.
"Karena
aku suka kamu." katanya pelan, meski begitu mampu membuat jantungku seolah
berhenti berdetak. "Aku sayang sama
kamu, dan aku memilih menyerah sekarang. Karena aku tahu, kamu nggak mungkin
mau sama aku. Aku suka segala hal yang ada di kamu, tapi kamu nggak pernah
sadar. Aku selalu cari orang yang lebih baik dari kamu, lebih tinggi, lebih
ganteng, lebih kaya, lebih pintar, tapi tetap saja... aku nggak bisa. Aku nggak
bisa melupakan kamu, karena cuma kamu yang aku mau... Kamu yang
sebenar-benarnya punya semua perasaan aku. Cuma kamu, dan aku nggak bisa nggak
jatuh cinta sama kamu."
"Rhea..."
"Aku
aja yang terlanjur buta sama rasa sayangku ke kamu. Semua perhatian kecil kamu
aku anggap besar, padahal sebenarnya kamu cuma biasa-biasa aja. Aku sadar
sekarang, Dit. Hubungan ini nggak akan mungkin bisa lebih teman."
Usai
berkata seperti itu, Rhea langsung pergi begitu saja dari hadapanku tanpa
memberikanku kesempatan untuk berbicara. Dan aku seolah-olah lumpuh, tidak
mengejarnya tidak pula berteriak untuk menahannya.
Ada
yang salah.
~0o0~
Keriuhan
langsung saja terdengar begitu aku menyelesaikan petikan terakhir pada gitar
listrik yang kupegang. Kulihat wajah sumringah teman-temanku, tak ingin sombong
tapi tampaknya mereka puas dengan penampilan solo akustikku yang membawa lagu The Reason. Sembari turun dari panggung
aku menyapukan pandanganku dan mendapati Rhea ada di sana, di sudut cafe sedang berkumpul bersama
teman-teman kelasnya dan teman sekelasku
yang juga heboh karena penampilanku. Sesaat aku bertemu pandang
dengannya sampai ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dariku.
Aku
tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, namun ketika dia melakukannya hal itu
terasa begitu menyakitkan. Aku mempercepat langkahku, membelah kerumunan padat
di depan panggung dan berjalan menuju sudut tempatnya berada. Ada hal yang
ingin aku selesaikan dengannya. Dia tidak bisa terus menjauhiku seperti ini.
"Radittt!!
Gilaaa penampilan lo keren bangettt!" Nanda, si manis berkawat gigi itu
langsung menyambutku dengan menjerit senang. Teman-temannya yang lain juga
turut menyampaikan pendapat mereka.
"Kalau
tahu kamu jadi ganteng gitu pas lagi main gitar, aku putusin deh si Adri
sekarang juga. Biar gue jadi pacar kamu yaa, Radit yaa? Yaa?"
"Idihhh,
aku laporin Adri baru tahu rasa kamu!" Tia, temanku yang lain menimpali,
"sama aku aja ya, Dit. Aku masih single
kok, dan aku rela ngikutin kamu ke mana-mana asal kamu mau main gitar terus di
dekat aku."
"Idihhh,
ngawur!"
"Tauk
nih cewek-cewek langsung pada sakit jiwa semua kalau lihat cowok bening dikit
aja." ujar Andra, salah seorang temanku.
Aku
hanya terkekeh kecil menanggapi ucapan mereka semua. Lebih dari ini, aku
mengharapkan Rhea yang datang memberikanku ucapan selamat karena telah berhasil
tampil maksimal malam ini. Sesaat aku melayangkan pandangan kepadanya dan dia
tampak sibuk dengan gadget di
tangannya.
Dan
jujur saja, sikapnya yang seperti ini membuatku gusar. Rasanya seperti ada yang
hilang dari diriku saat dia berlaku seperti ini. Sejak kejadian beberapa hari
yang lalu, diamnya Rhea kian menjadi. Tak hanya menghindariku, kini ia bahkan
tidak menatapku sama sekali. Dia begitu... dingin.
"Hai,
Rhe..." sapaku, sembari menggeser dan duduk di kursi yang ada di
hadapannya. Rhea hanya melirikku sekilas dan tersenyum singkat.
Matanya
yang tak lagi ceria menatapku, senyumnya yang tak lagi lebar, dan dirinya yang
seolah tak peduli. Ini semua salah, tidak seharusnya seperti ini.
Aku
yang tengah menyusun kata-kata apa yang bisa kuucapkan kepada Rhea langsung
menaikkan pandanganku ketika mendengar suara kursi yang bergeser. Rhea berdiri
dan bergegas meninggalkan area Cafe.
Tanpa pikir panjang, aku segera mengejarnya. Apa yang terjadi di antara kami
harus aku selesaikan saat ini juga.
"Rhea,
tunggu." kataku begitu berhasil meraih lengannya. Membuatnya berhenti
melangkah. "Kita harus bicara."
Dia
menoleh sedikit, "tidak ada yang perlu kita bicarakan, Dit."
"Ada,
Rhe. Masih ada urusan yang belum selesai di antara kita."
"Kalau
yang mau kamu bicarakan itu masalah yang kemarin-kemarin, rasanya semua sudah
jelas. Aku tahu kamu nggak punya perasaan apa-apa ke aku. Dan sekarang aku sedang
berusaha melupakan kamu. Jadi tolong, jangan berlaku seperti ini sama
aku."
"Kenapa
kamu selalu menarik kesimpulan sendiri?" tanyaku.
"..."
"Tentang
perasaan kamu, apa kamu benar-benar merasa seperti itu ke aku? Beneran
sayang?" setengah mendesak, aku meraih bahunya mencari-cari wajahnya.
Rhea
menatapku dengan pandangan yang nelangsa, ada luka di sana. Meski begitu, entah
mengapa aku merasa senang. Setelah sekian lama akhirnya mata itu mau
memandangku, meski dalam keadaan yang tidak mengenakkan seperti sekarang ini.
"Aku mesti bagaimana lagi untuk
meyakinkan kamu? Mengakui perasaan aku ke kamu adalah hal tersulit dan
memalukan yang pernah aku lakukan."
"Mengakui
perasaan itu tidaklah memalukan, Rhea."
"Pengakuan
yang diiringi penolakan, memalukan. Buatku. Apa lagi yang menolak itu
kamu."
Sekarang
aku sudah tidak bisa lagi menahan diriku, segera kutarik Rhea ke dalam
pelukanku. Meski aku belum mengerti rasa macam apa yang kini sedang bersemayam
di dadaku, perlahan aku mulai sadar. Kalau aku begitu bahagia berada di
dekatnya, dan merasa tak lengkap bila Rhea menjauhiku. Aku bisa merasakan tubuh
Rhea yang kikuk di pelukku, tapi aku tak peduli.
"Aku
sudah bilang sama kamu, jangan mengambil kesimpulan sendiri." ujarku
pelan. Aku berhenti sejenak untuk menarik napas, mempersiapkan diriku.
"Maaf kalau kata-kata aku waktu itu membuat kamu sakit hati. Tapi jujur,
aku saja bingung dengan perasaanku padamu. Waktu kamu tanya apa aku naksir sama
kamu, di situ aku takut, takut mengakuinya, takut kalau aku beneran suka sama
kamu dan takut—aku nggak mau jadi kayak cowok-cowok yang pernah ada di hati
kamu. Aku nggak mau di saat aku menyayangi kamu setengah mati, kamu malah jatuh
cinta sama orang lain. Aku mau jadi satu-satunya, Rhea."
Rhea
melonggarkan pelukanku, matanya yang sewarna malam menatapku penuh harap. "Ja—jadi...?"
Aku
menangkup pipinya dengan kedua tanganku. "Jangan lagi mencintai orang
lain, Rhe. Cukup jatuh cinta sama aku aja."
-the End-
Finallyyyy!!! The story have the
ending.
Endingnya
rada-rada gimana gitu deh… agak kurang sreukkk menrutku. How ‘bout you, guys? Semoga cerita ini bsia memuaskan teman-teman
sekalian yappp :D
See you in the next story :D
muahahahahaha rime' romantiss pisaaan atuhh neengg :P
ReplyDeletelike dahhhh (Y) :D
hoohohoho...
ReplyDeleteThaanks for the compliment!
Just wait ya for another story or another fanfic! Hihihihi