R.A.B on NaruHina Fanfiction
Naruto by Masashi Khisimoto-sensei~tukang bikin galau
selaluuuu
Warning: OOC.OOC. OOC. Bertele-telempret.
Enjoy this!
~0o0~
“Sekarang, harus kuapakan perasaan yang tak
terkatakan ini?”
~0o0~
Segalanya berubah.
Sejak pernyataan Yakushi-senpai di kelasku
beberapa hari yang lalu, semua hal mulai terlihat berbeda dihadapanku. Aku yang
tidak pernah mendapatkan telepon bernada perhatian dari pria selain Ayah,
Neji-nii dan Naru-kun, kini aku mulai sering mendapatkan banyak pesan singkat
atau sesekali telepon dari Yakushi-senpai. Meskipun hanya berupa ucapan selamat
pagi, atau menanyakan kabarku.
Begitu pula tingkah laku Naru-kun kepadaku.
Kini ia seolah-olah menjaga jarak dariku. Ia mulai jarang mengusik diriku,
menghindari tatapanku, dan cenderung terburu-buru saat berbicara. Sikapnya
terkadang membuatku bingung, ada saatnya ia seperti ingin mengatakan sesuatu
namun seolah-olah ada yang menahannya. Tak jarang pula, ia bersikap dingin.
Hanya membalas perkataanku sepatah kata.
Aku... tidak begitu menyukai perubahan ini.
Terlebih lagi, aku semakin membenci diriku sendiri.
Terkadang, ada kelegaan yang hadir saat
Yakushi-senpai sedang bersamaku.Kami akan larut dalam diskusi kecil kami di
perpustakaan, atau diamnya kami dan hanya ada suara gesekan halaman buku yang
di bolak-balik setiap sekian menit. Namun, rasa bersalah itu sering mampir saat
aku secara tidak sengaja menghindari tangannya yang hendak menggenggam
tanganku. Terkadang aku masih sering terlupa akan statusku bersama Yakushi-senpai.
Ada sepersekian detik yang terisi oleh orang lain sekalipun aku sedang bersama
Yakushi-senpai.
Yakushi-senpai pacarku. Kutanamkan itu
dalam-dalam di kepalaku. Ini bukan lagi saatnya untuk memikirkan orang lain.
***
"Kau itu ingin jualan makan siang atau
apa sih? Bawa kotak makan segitu banyaknya." tegur Ino ketika melihatku
menaikkan tiga buah kotak makan siang ke atas mejaku.
"Ini untukku, Naru-kun, dan
Yakushi-senpai" aku menjawab sekenanya, bergegas menuju kelas Naru-kun
sehingga aku bisa cepat-cepat menemui Yakushi-senpai di taman dekat lapangan
basket.
"Kau seperti berpacaran dengan dua
orang saja, Hinata." suara Ino mengejutkanku, membuat langkahku terhenti.
"Maksudmu?"
Ino tidak menjawab, malah berjalan ke
arahku dan merangkul bahuku. "Kau... benar-benar menyukai Yakushi-senpai
kan?"
Perkataannya membuatku tersentak, namun aku
buru-buru tersenyum, tidak ingin membahas ini lebih jauh lagi. "T-tentu
saja. A-ano, aku pergi dulu."
Aku cepat-cepat melangkahkan kakiku, bisa
kurasakan tatapan Ino menatap punggungku.
***
Aku menghentikan langkahku tepat di depan
pintu kelas IPS-3, kelas Naru-kun. Aku melongokkan kepalaku ke dalam kelas,
mencari-cari sosok Naru-kun sampai akhirnya aku menemukannya sedang bersenda
gurau dengan teman-temannya di pojokan kelas.
Si gadis berambt pirang itu juga di sana,
duduk di samping Naru-kun sambil sesekali tertawa karena lelucoan yang saling
mereka lontarkan.
Andai aku bisa... ah tidak!Aku harusnya
sudah bisa melepaskan perasaan ini. Aku hanya akan mengingat, bahwa Naru-kun
hanyalah sahabatku, sahabatku sejak kecil, sahabat terbaik yang pernah aku
punya. Tidak lebih.
Ya, seperti itu.
Aku baru saja hendak memanggil Naru-kun
ketika ia secara tiba-tiba berbalik ke arah pintu, membuatku membatu dengan
tatapannya.
Degupan ini seharusnya tidak kurasakan
lagi.
Dan ya, memang tidak kurasakan lagi.
Tanganku cuma berkeringat karena udara yang panas.
Dan aku tersenyum, melambai kaku ke
arahnya. Awalnya aku yang ingin menghampiri Naru-kun di tempat duduknya, tapi
ia sudah terlebih dulu beranjak dan kini ia sedang berjalan ke arahku.
"Ada apa?" tanyanya.
Aku mengangsurkan kotak makan yang berwarna
orange cerah. "Ini, makan siang untuk Naru-kun."
"Untukku?" ia tersenyum lima
jari, senyum yang menyilaukan. "Haaa!! Tidak ada racunnya kan,
nenek?"
"Maksudmu apa?"
Ia terkekeh pelan, lalu meraih tanganku,
menarikku ke luar dari kelasnya. "Ya sudah, kau mau kita makan di mana?
Jangan di kelasku ya, terlalu berisik."
"A—ano, Naru-kun..." panggilanku
membuatnya menghentikan langkah, lantas berbalik.
"Apa?"
"Ano..." jemariku mengerat pada
pegangan tas plastikku. "Ano... mungkin siang ini kita... kita tidak bisa
makan siang bersama. Aku... aku... aku sudah ada janji makan siang dengan
Yakushi-senpai."
Sesaat, ada kilatan yang lain di matanya
yang langsung ia ganti dengan senyuman, senyuman yang membuatku merasa
bersalah. "Ah, iya. Aku lupa, sekarang kan kau sudah punya pacar."
Ia lantas melepaskan genggamannya dan
berbalik masuk ke dalam kelasnya. Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu padanya,
tapi tidak ada satu kata pun yang terucap. Aku bahkan tidak tahu harus berkata
apa padanya.
"Ah, iya," tiba-tiba ia berpaling
ke arahku. Senyumnya bukanlah senyum tersiksa yang kuinginkan "Tenang
saja, aku akan memakannya kok. Biar pun ini beracun."
Aku ingin sekali mengatakan sesuatu.
Ia melambai singkat padaku, gerakannya
menyuruhku cepat-cepat ke tempat Yakushi-senpai.
Aku memutar arah, berlari.
Kenapa semuanya jadi seperti ini?
Kenapa semuanya jadi begitu menyakitkan?
***
"... ta? Hinata? Hinata Hyuuga—"
"A... ada apa, Yakushi-senpai?"
Kudengar ia menghela napas panjang, diikuti
suara kotak makan yang diletakkan di bangku tempat kami duduk. Aku mencoba
melirik ke arahnya, dan dia menatapku begitu tajam. "Apa kau sedang ada
masalah?"
Aku menggeleng pelanq.
"Benarkah?" ia memastikan.
"Iya, tidak ada kok." kataku,
mengulas senyum. Bisa kurasakan jemarinya mengepal di atas jemariku. Ia
tersenyum.
"Kalau kamu ada masalah, kamu cerita
ya. Aku pengen jadi orang yang selalu ada di sampingmu, jadi seseorang yang
bisa kamu andalkan. Ya?"
Aku mengangguk, "arigatou,
Yakushi-senpai."
Ia tersenyum lagi, lalu merongoh saku
celananya dan mengeluarkan dua buah lembar kertas. Rautnya penuh harap ketika
menatapku. "Kudengar, kau suka sekali minions,
mau nonton bersamaku? sabtu ini?"
Aku sedikit tercengang mendengar ajakannya,
mataku berulang kali melirik dua tiket nonton yang ada di tangannya dan juga
wajah Yakushi-senpai. Entah mengapa, aku ragu untuk menerimanya. Namun, sekali
lagi logika menampar keraguanku. Untuk apa? Bukan kah sekarang ini aku adalah
kekasih Yakushi-senpai?
"Ummm, boleh."
"Benarkah? Syukurlah. Ini akan menjadi
kencan pertama kita." gumamnya sembari tersenyum simpul, memandangi mataku
dalam-dalam. Aku menunduk memutuskan pandangannya, mengangguk, berharap ragu
ini menghilang.
Aku tidak boleh meragu. Aku punya kenyataan
yang harus kuhadapi.
***
Sekarang aku bingung menghadapi Naruto yang
sedang berjalan beriringan denganku. Aku meremas pelan tali tas selempangku,
seakan-akan dengan melakukan hal itu rasa resah yang ada pada diriku bisa
sedikit berkurang. Aku berencana mengatakan bahwa acara sabtu-malam yang biasa
aku lewati bersamanya tidak bisa aku lakukan untuk sabtu minggu ini, karena aku
sudah ada janji dengan Yakushi-senpai. Dan sampai sekarang, aku belum juga bisa
mengatakan hal ini padanya.
Tahu-tahu, aku sudah ada di depan gerbang
rumahku.
“Hinata, aku duluan ya…” katanya, sekilas
melambaikan tangannya padaku dan melanjutkan perjalanan ke rumahnya yang hanya
berjarak dua blok dari tempat tinggalku.
“Ano, Naru-kun…”
Ia berhenti, lalu berbalik menatapku yang
berdiri gelisah tak jauh dari tempatnya. Sebelah alisnya terangkat naik,
mengisyaratkan sebuah pertanyaan padaku.
“Itu… untuk malam minggu nanti…” aku
menelan ludah, tenggorokanku tiba-tiba saja terasa kering. “anu, itu… bisakan
kalau kita nggak ngumpul dulu?”
Naruto masih saja diam dan menatapku
dalam-dalam, kegelisahan makin menjadi menggolakkan dadaku. Bagaimana kalau dia
makin marah padaku? Dia yang masih mau pulang bersama-samaku saja sudah bagus,
dan aku malah semakin mengecewakannya. Ia mendengus.
“Kamu ada acara lain ya?” tanyanya, datar.
Ekspresinya tidak terbaca.
Ini bukan Naru-kun.
Aku mengangguk kaku.
Ia mengulas senyum tipis, namun yang
kurasakan hatiku seperti disayat-sayat. “Hmm, terserah kau saja. Kau pasti
punya kehidupan sendiri juga kan.” Ujarnya pelan, melambai lagi. “Semoga sabtu
malammu menyenangkan, selamat bersenang-senang.”
Lalu ia berbalik, tanpa menunggu balasanku.
Aku hanya menatap punggungnya.
~0o0~
"Aku ingin lupa..."