source |
Beberapa minggu yang lalu, di
perjalanan pulang dari sekolah sambil jalan kaki sendirian dan menikmati angin
sepoi-sepoi kayak di anime-anime, aku yang biasanya mikirin hal-hal buruk yang
terjadi dan kemungkinan terjadi di hidupku, tiba-tiba merasa bahwa otak aku ini
geser 180 derajat ke posisi benar. Dua orang yang biasa nangkring di dalam
kepalaku muncul dengan santainya, satu yang bertato sedang ongkang-ongkang kaki
sambil menikmati rokoknya, sedangkan yang satunya lagi menyikat tembok di dalam
kepalaku.
Tidak ada
kejadian spesial hari itu, seperti biasa hari-hariku datar dan kulewati
seadannya.
Yang
gemar bikin onar di kepalaku menyahut.
Ada tiga
hal yang patut kamu syukuri dalam hidupmu , Rin.
1.
Saudara yang tidak banyak menuntut.
2. Teman
yang peduli.
3. Rekan
kerja dan atasan yang suportif.
Pikirku,
kerecehan macam apa lagi ini. Tahu lah biasanya warga negara kepalaku suka
aneh-aneh. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memang benar sih. Meskipun kadang
merasa sendiri dan kesepian, tapi setidaknya aku tidak di kelilingi dengan
orang-orang yang merepotkan.
Alan dan
Nur, tidak banyak minta ini-itu. Mereka bisa menjaga diri sendiri dan aman-aman
saja meskipun aku sedikit jauh dan jarang menelepon. Mereka bukan jenis saudara
yang merepotkanmu dengan aduan-aduan nyinyir, paling hanya menyampaikan
pertanyaan tetangga yang lebih suka ikut campur terkait kapan lulus dan kapan
bersuami. Mereka sudah pernah menghadapi masalah yang lebih besar dariku,
makanya secara mental mereka lebih dewasa dan lebih mandiri. Mereka lebih
lincah menjaga diri sendiri, dan tidak penyendiri. Sebagai anak sulung,
adik-adikku menjadi tempat belajar tentang sabar dan mandiri.
Suatu waktu aku merasa seperti tai, rasanya berat sekali karena keadaan di rumah sedang tidak baik-baik saja. Terlalu banyak hal-hal negatif, terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab, terlalu banyak yang urusan yang tidak bisa kukerjakan. Aku cuma tengkurap di kamar, rasanya ingin cepat-cepat dicabut nyawa, tapi Nur datang memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Ini sebenarnya yang sulung siapa? Kemudian Alan nimbrung dengan omong-omongan sok lucu tapi kriuk. Tuh kan, aku punya saudara-saudara yang perhatian.
Selama
hampir tujuh tahun tinggal di Makassar, teman-temanku adalah mereka yang paling
kuandalkan. Sampai sekarang pun masih kerap kurepotkan dengan tidak tahu diri. Sewaktu KKN, mengurusi
skripsi, pas mau wisuda, mencari kerja, menumpang hidup, semua bantuan
kudapat dari mereka. Ketika aku sudah tidak bisa mengandalkan diri sendiri
untuk berdiri, mereka ada untuk menopang. Kekompakan yang membuatku merasa
dirangkul meskipun aku lebih banyak diam mengamati dibanding menjadi pencerita
utama.
Uluran tangan mereka bukan hal yang bisa dengan mudah dibalas begitu
saja. Rasanya banyaaaakkkk sekali yang mereka berikan kepadaku sampai rasanya
sulit untuk dihitung. Mereka adalah pemberi yang ulung, perangkul yang tulus,
dan kadang bisa menjadi jompo yang cerewet kalau tahu kamu berada di
jalan yang salah.
Sekali
waktu, sebelum melepas masa kuliah dengan sempurna mereka datang membawa hadiah
yang tidak diduga-duga. Mereka mewanti-wanti jangan menangis.
Pulang-pulang,
sembunyi dalam selimut dan mewek. Mengadu lagi, aku ngapain sih kok dikasih hal
yang ngga bisa aku balas ke mereka.
Sekali
lagi, teman-teman terbaik yang kupunya dan paling bisa diandalkan.
Setelah
lulus, fase baru menunggu. Sudah tidak bisa ongkang-ongkang kaki
bermalas-malasan. Dua tahun yang hilang karena mengerjakan (dan berhibernasi)
skripsi, harus segera lari lagi untuk cari kerjaan. Untungnya saat itu setelah
hampir sebulan menganggur, langsung ada panggilan wawancara. Syukurlah
diterima, meskipun masih freelance mengajar, dan sekarang
masih lanjut karena menggantikan seorang guru yang resign. Fase
baru yang kuhadapi sekarang ini tentunya sangat sulit. Sudah dua tahun
tidak belajar (karena hanya fokus pada skripsi saja), materi pelajaran sudah
banyak terlupa. Dan hampir dua tahun tidak pernah ketemu orang baru dan banyak,
membuatku kesulitan bergaul (dan jangan lupakan anxiety and depress
feeling ini).
Kawan-kawanku
yang sudah bekerja kerap bercerita kalau lingkungan kerjanya kurang assik.
Nggak enak karena rekan kerja kerap kompetitif dan terlalu mengusik kehidupan
pribadi. Untuknya sekolah tidak begitu. Rekan kerja yang ramah dan siap
membantu, tidak cuek dan kerap berbagi bukan hanya cerita-cerita yang baik saja
tapi juga cerita-cerita tentang siswa yang kadang membuat kewalahan. Hal-hal
yang membuatku menerima diri sendiri, bahwa setiap orang punya waktunya
masing-masing dan bukan cuma diriku saja yang menghadapi masalah di dalam
kelas. Wajar saja kalau di tahun pertama ini aku masih merasa seperti kampret,
karena aku sedang dalam tahap belajar. Tempatku mengajar pun punya kepala
sekolah yang tidak seram, namun suportif dan peduli. He empower and and
give best advice, also easily to communicate with, because sometimes I found
people with high position often intimidate. Meskipun kadang jokes bapak-bapak
WA-nya itu garing.
Melihat
ke belakang, dan menelusuri jalan sampai sekarang ini. Kusadari ada banyak hal
yang luput dari mataku karena terlalu terfokus pada masalah pikiran yang kerap
membuatku merasa paling buruk sedunia. Ada banyak hal-hal yang patut kusyukuri,
dan mungkin tiga inilah yang menjadi penanda awal bahwa aku berniat sembuh dari
hal yang sudah kurasakan bertahun-tahun ini. Semoga ke depannya, aku lebih
banyak menulis tentang hal-hal yang baik, tidak melulu gelap, dan lebih jujur
pada diri sendiri.
Lihatlah dua orang di dalam kepalaku
ini, mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai tersedak, membuatku curiga.
Hey! Jangan mengerjaiku lagi. Kalian
membuatku menangis di warkop!
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?