Tiga Hal yang Patut Disyukuri

Saturday, April 20, 2019

source

Beberapa minggu yang lalu, di perjalanan pulang dari sekolah sambil jalan kaki sendirian dan menikmati angin sepoi-sepoi kayak di anime-anime, aku yang biasanya mikirin hal-hal buruk yang terjadi dan kemungkinan terjadi di hidupku, tiba-tiba merasa bahwa otak aku ini geser 180 derajat ke posisi benar. Dua orang yang biasa nangkring di dalam kepalaku muncul dengan santainya, satu yang bertato sedang ongkang-ongkang kaki sambil menikmati rokoknya, sedangkan yang satunya lagi menyikat tembok di dalam kepalaku.
Tidak ada kejadian spesial hari itu, seperti biasa hari-hariku datar dan kulewati seadannya.
Yang gemar bikin onar di kepalaku menyahut.
Ada tiga hal yang patut kamu syukuri dalam hidupmu , Rin.
1. Saudara yang tidak banyak menuntut.
2. Teman yang peduli.

3. Rekan kerja dan atasan yang suportif.
Pikirku, kerecehan macam apa lagi ini. Tahu lah biasanya warga negara kepalaku suka aneh-aneh. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, memang benar sih. Meskipun kadang merasa sendiri dan kesepian, tapi setidaknya aku tidak di kelilingi dengan orang-orang yang merepotkan.
Alan dan Nur, tidak banyak minta ini-itu. Mereka bisa menjaga diri sendiri dan aman-aman saja meskipun aku sedikit jauh dan jarang menelepon. Mereka bukan jenis saudara yang merepotkanmu dengan aduan-aduan nyinyir, paling hanya menyampaikan pertanyaan tetangga yang lebih suka ikut campur terkait kapan lulus dan kapan bersuami. Mereka sudah pernah menghadapi masalah yang lebih besar dariku, makanya secara mental mereka lebih dewasa dan lebih mandiri. Mereka lebih lincah menjaga diri sendiri, dan tidak penyendiri. Sebagai anak sulung, adik-adikku menjadi tempat  belajar tentang sabar dan mandiri.
Suatu waktu aku merasa seperti tai, rasanya berat sekali karena keadaan di rumah sedang tidak baik-baik saja. Terlalu banyak hal-hal negatif, terlalu banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab, terlalu banyak yang urusan yang tidak bisa kukerjakan. Aku cuma tengkurap di kamar, rasanya ingin cepat-cepat dicabut nyawa, tapi Nur datang memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. Ini sebenarnya yang sulung siapa? Kemudian Alan nimbrung dengan omong-omongan sok lucu tapi kriuk. Tuh kan, aku punya saudara-saudara yang perhatian.

Selama hampir tujuh tahun tinggal di Makassar, teman-temanku adalah mereka yang paling kuandalkan. Sampai sekarang pun masih kerap kurepotkan dengan tidak tahu diri. Sewaktu KKN, mengurusi skripsi, pas mau wisuda, mencari kerja, menumpang hidup, semua bantuan kudapat dari mereka. Ketika aku sudah tidak bisa mengandalkan diri sendiri untuk berdiri, mereka ada untuk menopang. Kekompakan yang membuatku merasa dirangkul meskipun aku lebih banyak diam mengamati dibanding menjadi pencerita utama. 
Uluran tangan mereka bukan hal yang bisa dengan mudah dibalas begitu saja. Rasanya banyaaaakkkk sekali yang mereka berikan kepadaku sampai rasanya sulit untuk dihitung. Mereka adalah pemberi yang ulung, perangkul yang tulus, dan  kadang bisa menjadi jompo yang cerewet kalau tahu kamu berada di jalan yang salah.
Sekali waktu, sebelum melepas masa kuliah dengan sempurna mereka datang membawa hadiah yang tidak diduga-duga. Mereka mewanti-wanti jangan menangis.
Pulang-pulang, sembunyi dalam selimut dan mewek. Mengadu lagi, aku ngapain sih kok dikasih hal yang ngga bisa aku balas ke mereka.
Sekali lagi, teman-teman terbaik yang kupunya dan paling bisa diandalkan.

Setelah lulus, fase baru menunggu. Sudah tidak bisa ongkang-ongkang kaki bermalas-malasan. Dua tahun yang hilang karena mengerjakan (dan berhibernasi) skripsi, harus segera lari lagi untuk cari kerjaan. Untungnya saat itu setelah hampir sebulan menganggur, langsung ada panggilan wawancara. Syukurlah diterima, meskipun masih freelance mengajar, dan sekarang masih lanjut karena menggantikan seorang guru yang resign. Fase baru yang kuhadapi sekarang ini tentunya sangat sulit. Sudah  dua tahun tidak belajar (karena hanya fokus pada skripsi saja), materi pelajaran sudah banyak terlupa. Dan hampir dua tahun tidak pernah ketemu orang baru dan banyak, membuatku kesulitan bergaul (dan jangan lupakan anxiety and depress feeling ini)
Kawan-kawanku yang sudah bekerja kerap bercerita kalau lingkungan kerjanya kurang assik. Nggak enak karena rekan kerja kerap kompetitif dan terlalu mengusik kehidupan pribadi. Untuknya sekolah tidak begitu. Rekan kerja yang ramah dan siap membantu, tidak cuek dan kerap berbagi bukan hanya cerita-cerita yang baik saja tapi juga cerita-cerita tentang siswa yang kadang membuat kewalahan. Hal-hal yang membuatku menerima diri sendiri, bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing dan bukan cuma diriku saja yang menghadapi masalah di dalam kelas. Wajar saja kalau di tahun pertama ini aku masih merasa seperti kampret, karena aku sedang dalam tahap belajar. Tempatku mengajar pun punya kepala sekolah yang tidak seram, namun suportif dan peduli. He empower and and give best advice, also easily to communicate with, because sometimes I found people with high position often intimidate. Meskipun kadang jokes bapak-bapak WA-nya itu garing.

Melihat ke belakang, dan menelusuri jalan sampai sekarang ini. Kusadari ada banyak hal yang luput dari mataku karena terlalu terfokus pada masalah pikiran yang kerap membuatku merasa paling buruk sedunia. Ada banyak hal-hal yang patut kusyukuri, dan mungkin tiga inilah yang menjadi penanda awal bahwa aku berniat sembuh dari hal yang sudah kurasakan bertahun-tahun ini. Semoga ke depannya, aku lebih banyak menulis tentang hal-hal yang baik, tidak melulu gelap, dan lebih jujur pada diri sendiri.
Lihatlah dua orang di dalam kepalaku ini, mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai tersedak, membuatku curiga.
Hey! Jangan mengerjaiku lagi. Kalian membuatku menangis di warkop!

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?