Saya dan Perasaan Saya [Fanfic]

Sunday, November 13, 2011


A NaruHina fanfic by Rhyme A. Black

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei

Warning : Super Out Of Character, Alternative Universe, bahasa bertele-tele. Tidak mengerti harap tekan tombol close saja. Sebuah tulisan sebagai alat transformasi, translasi, atau apalah dari gaya menulis yang makin kacau...

~Saya dan Perasaan Saya~
pict from here


 Dulu saya hanya bisa memperhatikan kamu dari jauh. Saya hanya tahu nama kamu. Saya hanya bisa melihat kamu setiap kali kamu melewati kelas saya.

Kita tidak pernah berkenalan, tapi saya tahu nama kamu. Kamu kelas berapa, kamu tinggal di mana, kamu hobinya apa. Semua informasi itu saya korek diam-diam dari teman saya yang kebetulan mengenal kamu. Dan mungkin, dia tidak menyadari, bahwa dari dia lah saya tahu kamu.

Perjumpaan pertama kita jauh dari kesan romantis. Namun dari pertemuan itulah senyuman kamu membuat saya jatuh hati. Waktu itu di kantin sedang padat-padatnya orang-orang mengantri membeli makanan, saya dan teman saya berdiri berdesak-desakan menunggu pelayanan ibu kantin. Saat itu kamu datang, saya pikir kamu tersenyum kepada saya. Saya terlalu percaya diri menganggap bahwa senyuman yang akhirnya selalu menjadi candu itu kamu tujukan kepada saya, namun ternyata senyuman itu untuk teman saya. Saya menunduk malu, malu karena berharap lebih pada orang yang tidak saya kenal.

Kamu menyapa teman saya, bercakap-cakap, membicarakan tentang proposal kegiatan OSIS yang akan kalian ajukan. Kalian begitu asyik berdua. Kalian tidak menyadari ada saya yang juga berdiri di sini. Namun saya tetap tenang. Entah apa yang menggerakkan mata saya saat itu untuk melirik ke papan nama yang terpasang di dada kanan seragam sekolahmu.


Tanpa sadar, saya senyum-senyum sendiri, sekilas dan tipis begitu saya tahu siapa namamu. Di luar saya begitu terlihat tenang menunggu antrian, padahal sebenarnya hati saya terus berlonjak-lonjak kegirangan ketika kamu masih ada di samping teman saya, di samping saya.

Saya yang tadinya berharap agar antrian ini segera berakhir agar saya bisa memperoleh pengganjal perut, pada akhirnya malah memilih untuk terus-menerus berdiri di tempat itu. Saya tidak tahu mengapa perjumpaan pertama kita telah mengubah saya menjadi sosok yang lain.

Saya bodoh telah membiarkan hati saya berkuasa atas kepala saya waktu itu. Seharusnya saya tidak memandangi wajah kamu terlalu lama sampai membuat kamu menoleh dan saya harus berpura-pura tenang dan melihat antrian yang terus merayap.

Kamu pamit pada teman saya, menyusul teman kamu yang menunggu kamu di luar kantin. Terbersit rasa menyesal yang sangat dalam, seharusnya saya tidak memandangi kamu, kamu pasti jengah karena saya tatap. Namun mau bagaimana lagi, wajah kamu terlalu enak dipandang.


Perjumpaan pertama kita, dan hati saya bukan lagi milik saya sepenuhnya.

***

“Siapa tadi itu, sist?” saya bertanya pada teman saya, berpura-pura santai dan seolah-olah tidak peduli.

“Oh, itu tadi si Naruto. Temen gue di Debate Club.” jawab teman saya tanpa curiga.

Saya kembali tersenyum tipis, informasi saya tentang kamu bertambah satu.

“Kok gue gak pernah liat ya?”

“Ya itu gara-gara elu sih, bertapa di kelas mulu. Dia tuh anak IPS loh, kelasnya di samping kelas kita.”

Saya hanya mengangguk-angguk menanggapi, tenang. Padahal di dalam hati ini sudah berlari keliling lapangan sepak bola begitu mengetahui posisi kelasnya yang begitu strategis.

Sejak saat itu, setiap berada di dalam kelas, setiap kali melihat ada orang lewat, kepala saya langsung refleks menoleh ke arah pintu, berharap kamu yang lewat, berharap bisa melihat senyum kamu lagi.

Saya sering menelan kekecewaan setiap kali saya menoleh ke arah pintu kelas, bukan kamu yang muncul. Namun tidak jarang pula jantung saya berdesir-desir tiap kali kamu muncul. Dan pipi saya selalu terasa panas, tiap kali pandangan kita bertemu di antara jarak yang tak bisa dibilang dekat. Kita tidak sengaja berpandangan, dan hal itulah yang membuat saya selalu berpura-pura mengalihkan pandangan. Saya terlalu malu menunjukkan perasaan saya. Lagi pula, perasaan ini pun belum jelas. Saya tidak tahu namanya, saya tidak tahu darimana asalnya, dan bagaimana rasa ini selalu muncul tiap kali saya melihat wajah kamu.

Waktu itu, saya masih ingat. Saya dan teman-teman saya yang K-Pop Lovers berkumpul di tempat duduk salah satu teman saya. Kita bersama-sama menonton MV Boy dan Girl Band Korea. Kita heboh sekali waktu itu, kita berteriak-teriak, tidak peduli kalau ada yang merasa terganggu dengan tingkah kami yang histeris melihat idola kami beraksi di depan kamera. Kami senang. Karena hari itu pelajaran hampir kosong semua.

Hari itu, adalah hari jum’at yang paling saya sukai. Bukan karena tidak ada guru, bukan karena cepat pulang, tapi karena hari itu, untuk pertama kalinya kamu masuk ke kelas saya, menyambangi kami yang sedang gila-gilaan di depan laptop. Saya pura-pura tidak sadar akan kehadiran kamu. Kamu datang, kamu hanya berjarak tiga jengkal dari saya, tapi sayang kamu tidak melihat saya. Kamu melongok ke laptop, rambut pirang jabrikmu menghalangi pandangan saya. Tapi saya tidak marah, saya senang. Dan kamu pun menertawai kami.

Kamu bilang, “Dasar perempuan.... kerjaannya teriak-teriakin yang beginian...”

Lalu kamu menegur salah satu teman saya, kamu kelihatannya sedang asyik degan topik yang kalian buat.

Detik itu juga, saya merasa ada yang mengaum di dalam perut saya ketika mata saya menangkap tanganmu memegang tangan teman saya.

Saya rasa... saya iri sama teman saya.

Tapi saya ingat, kamu tidak mengenal saya. Perkenalan kita hanyalah perkenalan satu arah. Dan mungkin tidak ada untungnya juga kamu mengenal saya. Jadi saya hanya diam, lalu ikut-ikutan tersenyum ketika kamu melucu lagi. Tiga goresan di masing-masing pipi kamu makin kentara ketika kamu tertawa.

Saya melirik kamu sekilas, cuma sekilas melihat wajah kamu. Saya takut ketahuan. Saya tidak mau kamu tahu perasaan saya, karena saya bingung dengan perasaan saya sendiri.

Pulangnya, ketika saya menemani teman saya untuk piket, saya kembali menyalakan laptop saya, teman saya ingin mengcopy beberapa MV. Saya meletakkan laptop di atas meja yang letaknya merapat di dinding di depan kelas, dekat pintu masuk, tepat di atas colokan listrik. Saya dan teman saya tertawa-tawa sambil menonton standup comedynya Raditya Dika. Tapi entah mengapa, saya tiba-tiba terdiam. Saya merasakan ada suatu hal yang akan datang. Lalu, saya menoleh ke arah pintu dan saat itu kamu lewat. Dan kamu tahu apa yang paling menyenangkan saat itu?

Kamu menatap saya.

Saya menatap kamu.

Kita saling bertatapan.

Walaupun hanya sepersekian detik, tapi itulah momen yang paling saya sukai. Saya jadi tahu bahwa mata kamu itu biru muda, bukan biru tua seperti yang saya bayangkan selama ini.

Lalu kamu pergi. Dan saya kembali tertawa, dengan hati yang tertawa lebih lebar lagi, dan jantung yang memompa lebih cepat.

***

Saya menyukai kehadiran kamu di dekat saya. Tapi saya juga takut. Takut kamu akan menjauhi saya kalau tahu saya suka kamu. Jadi saya diam. Saya hanya diam tiap kali kamu masuk ke kelas saya, berbincang-bincang sejenak dengan teman saya, lalu keluar lagi. Kamu tidak pernah memandang saya. Tapi saya rasa itu cukup.

Ingatan saya kembali menggali bayangan kamu. Saat itu, siswa kelas tiga sedang ramai-ramainya mengurus usulan bebas tes. Dan ternyata kita ingin masuk universitas yang sama. Hanya beda jurusan, kamu ambil Manajemen, saya ambil Teknik Komputer. Saat itu kamu dan teman kamu sedang ada di depan gerbang, meminta izin kepada guru piket. Saya dan teman saya pun begitu, kami mendekat ingin minta izin. Tapi guru piket melarang. Katanya kalau terlalu banyak yang pergi Kepala Sekolah bisa marah.

Kami kehabisan kata-kata, tapi tidak kehabisan akal.

Saat itu saya marah sama guru piket. Saya kesal setengah mati, hari itu adalah hari terakhir pengumpulan berkas dan berkas saya masih belum lengkap, masih ada yang harus difotokopi dan guru ini melarang kami keluar.

Tapi saya kemudian sadar.

Saya tidak seharusnya kesal sama guru itu.

Saya seharusnya senang dan berterima kasih sama guru itu.

Karena dengan ketidakizinannya, saya bisa dekat sama kamu.

Saya bisa berdiri di dekat kamu. Saya bisa melirik kamu yang ada di di samping saya. Saya bisa dengar dengan jelas suara kamu. Saya bisa cium bau parfum kamu.

Saya, kamu, teman saya, dan teman kamu berunding.

“Bagaimana ini?” tanya teman kamu. Padahal kita tidak akrab, tapi guru piket itulah yang membuat kita berdiri dihadapan masing-masing. Saya tahu kamu, teman saya dan teman kamu kesal. Tapi saya senang. Saya senang bisa berdiri di sini, sama kamu.

“Kalian aja yang pergi, kita nitip.” kataku waktu itu. Tapi suaraku terlampau pelan, kamu tidak dengar. Saat itu saya merasa bodoh, seharusnya saya lebih mampu menyembunyikan kegugupan saya dan berkata dengan lebih lancar. Tapi saya tidak bisa.

Aura kamu mengintimidasi saya.

Saya tidak ingin bertindak.

Saya hanya ingin ada di dekat kamu.

Teman saya, yang sama lembutnya tapi beda keberanian berkata kepada kamu, “Gimana? Kita nitip aja ya, kalian yang keluar. Nih saya kasih uang foto kopiannya.”

“Boleh deh,” kamu mengangguk lalu mengambil transkip nilai saya dan teman saya.

Saya senang, saya bahagia. Mungkin dengan begitu kamu bisa tahu saya, setidaknya nama saya melalui transkrip nilai yang kamu bawa.

Sama seperti saya yang akhirnya tahu nama belakang kamu saat melihat surat keterangan yang siswa urus untuk bebas tes di ruang tata usaha.

Naruto Uzumaki.

Saya baca nama lengkap kamu, tanggal lahir kamu, alamat kamu.

Ah, seharusnya dicantumkan juga nomor telepon.

Tapi kalaupun dicantumkan, apakah saya punya keberanian untuk mencatat dan menelpon kamu malamnya?

Saya tidak tahu.

***

Saya sendirian saat itu. Semua teman-teman saya pulang, hanya saya yang sendirian tinggal di dalam kelas. Maklum, rumah saya jauh sementara sorenya saya harus les di sekolah. Jadi saya memilih tinggal di sekolah dari pada pulang ke rumah dan hanya sempat mandi dan berganti baju saja. Membuang-buang waktu, membuang buang-uang, pikir saya. Jadi, saya menunggu sampai jam empat. Sendirian, hanya ditemani laptop dan alunan lagu dari Secondhand Serenade. Saya menunggu teman saya dari kelas lain, kami sama-sama menunggu les, saat itu dia sedang pergi memperbaiki sesuatu tentah apa itu.

“Gue cepet balik, kok. Lo tunggu aja di kelas lo... ntar gue ke sana.”

Jadi saya duduk sendirian, online memanfaatkan wi-fi sekolah yang jaringannya sedang tiarap.

Saya asyik mendengarkan suara khas milik John Vesely mengetuk-ngetuk gendang telinga saya, sampai-sampai saya tidak menyadari langkah kaki kamu. Tapi aura kamu menyadarkan saya.

Saya menoleh, kamu berdiri di depan pintu.

Saya diam.

Kamu diam.

Saya bingung.

Tapi kamu tersenyum pada saya. Senyum lebar, bikin mata kamu jadi tambah sipit.

Saat itu saya memutuskan, saya menyukai senyum kamu.

“Sendirian?” tanyamu. Saya mengangguk, takut bersuara. Nanti saya gugup, dan kamu jadi tahu kalau saya suka kamu.

“Nungguin les? Jam berapa?”

Saya mengangguk dan mengacungkan  empat jari tangan kiri saya.

“Oh, ya udah duluan ya... hati-hati di dalam kelas sendirian.”

Kamu pergi. Tapi euphoria kehadiran kamu masih tetap ada menyelimuti diri saya. Kamu memperhatikan saya. Kamu berbicara kepada saya. Kamu tersenyum kepada saya.

Itu adalah percakapan pertama kita.

Dan saya berharap, bukan menjadi percakapan terakhir kita.



The End

Kendari, 9 November 2011



1 comment:

Kalau menurutmu, bagaimana?