Dari Hati yang Selalu Diam

Wednesday, June 5, 2013


here
~0o0~
'Tidak capek, suka sama dia?
Hari itu, sisi rasional diriku bertanya, seusai diriku mendapati dirimu bersenda gurau dengan orang lain. Rasa ini seperti sebuah kesalahan, menyakiti diriku sendiri dan membuat diriku memaki diri sendiri. Lelah menyimpan rasa ini, tapi enggan untuk mengutarakan semuanya. Takut bila nantinya kamu akan menjauh, terlebih lagi malu. Aku bukanlah seseorang yang mudah untuk mengatakan apa yang kurasa.
Aku lelah dengan perasaan ini. Lelah menyukaimu dari jauh, namun perasaan ini tak mau pergi. Setiap kali kau ada, duduk di sampingku, tersenyum padaku, bercanda denganku, rasa berdesir-desir itu kembali hadir meskipun aku telah berusaha untuk membuang rasa yang dulu kusimpan dalam-dalam. Aku hampir berhasil melupakanmu, tapi hatiku seolah menjadi Judas untuk diriku. Berkhianat. Hal-hal yang membuatku menyukaimu datang kembali seperti putaran film yang melambat, setiap kenangan-kenangan itu seperti adegan slow motion yang dibuat seolah-olah
untuk menyiksaku.
Ada kalanya, aku ingin meneriaki dirimu. Berteriak sekuat tenaga, melampiaskan semua kesalku  kepada dirimu yang tak kunjung menyadari perasaanku.
'Hah! Bagaimana mungkin dia sadar? Suka ini cuma kamu dan Tuhan yang tahu'
Sisi rasional itu kembali berbicara, sisi melankolis diriku bungkam. Di sudutkan oleh satu diriku. Sisi rasional yang terus menyalahkan, kenapa sisi melankolisku terus-terusan menenggelamkan diri dalam gelegak rasa yang sudah terlanjur membesar ini. Padahal aku telah benar-benar sadar, kamu tidak mungkin memiliki rasa yang lebih kepadaku. Karena aku tahu, sudah ada orang lain di hatimu.
Meski kau tidak pernah berkata-kata, aku tahu rasamu pada seseorang itu. Dari caramu memandanginya, caramu tersenyum padanya, caramu berbicara padanya. Aku tahu karena aku selalu memperhatikanmu. Aku tahu, karena aku juga begitu kepadamu.
Kerap kamu memandangi sosok itu diam-diam. Begitu juga aku, memandangimu diam-diam, melirik kamu yang selalu begitu serius lewat ekor mataku.
Kau tersenyum tulus ketika berbicara dengannya, mendengarkan setiap katanya baik-baik. Begitu juga aku. Senyum ini akan otomatis terukir bila kau berada di dekatku, terlebih saat kau sedang berbicara padaku. Aku akan mendengarkan setiap katamu, merekamnya dalam memori dan menjadikannya kaset yang bisa aku putar setiap waktu.
Selalu ada kamu. Selalu kamu. Cuma kamu.
Kamu yang akan selalu kuingat.
Kamu yang selalu kutatap penuh kagum.
Kamu yang selalu menerima seulas ketulusan ini.
Cuma kamu yang mampu mencipta degupan aneh ini.
Cuma kamu yang bisa membuat darah ini berdesir halus di dalam nadiku.
Kamu.
Kamu yang tidak pernah tahu, ada aku di sini. Menyembunyikan kagum yang berubah menjadi suatu rasa yang lain. Rasa sayang.
'Berhenti saja menyayanginya!'
Lagi, lagi suara itu. Meriakkan kesalnya padaku. Lagi sumpah serapahnya keluar. Tak setuju. Dia marah padaku, sisi rasionalku mengamuk, berteriak memaki lalu menggeram. Dia tak marah padamu, tapi padaku yang tuli karena enggan mendengarkan. Padaku yang tak lelah menyakiti diri sendiri.
'Dia bukan untukmu.'
Kali ini dia berkata lebih tenang, meski gejolak marah itu masih ada padanya. Kulihat ia melembut, kasihan padaku.
'Kali ini tolong dengarkan saya baik-baik'
Bagimana sekarang? Haruskah kulepaskan semua rasa ini?
Aku hanya mampu menunduk. Kakiku kram karena berdiri terus di sini. Seperti orang bodoh. Semua perasaan yang aku simpan berputar menjadi pusaran. Tak bisa kusebut satu per satu karena apa yang terucap tak cukup dan tak mampu mengungkapkan semua rasaku.
Aku mengerjap. Menatap jauh ke depan.
Di sana, di bibir pantai. Ada kamu dan dia. Saling tersenyum dengan jemari yang saling bertautan.
Aku berbalik.
~0o0~

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?