here |
Pikiran Radit
mulai meliar. Baginya perempuan yang sedang patah hati itu bisa berbahaya,
tidak terkecuali Rhea. Terutama Rhea. Setelah berhari-hari gadis itu mengurung
diri di dalam apartemennya, kini gadis itu sama sekali tak nampak batang
hidungnya di sudut mana pun Radit mencarinya. Sama seperti hari-hari kemarin
sejak Rhea patah hati setelah putus dari pacarnya yang tukang selingkuh itu,
Radit rutin mengunjungi rumahnya hanya untuk tahu bagaimana keadaan gadis itu.
Well, meskipun kekecewaan yang selalu ia dapati karena Rhea tak kunjung mau
membukakan pintu untuknya, tidak mau membagi luka dengannya. Dia sudah lelah
dengan beratus-ratus nada sambung yang terputus dari teleponnya dan juga sudah
putus asa mengirimi sms-sms tak berbalas ke Rhea. Dan sekarang ia merasa
seperti menghadapi bencana.
Tadi pagi,
Rhea tidak ada di apartemennya. Parahnya lagi, apartemen itu tidak terkunci.
Radit langsung saja menerobos masuk. Takut kalau terjadi apa-apa dengan Rhea.
Bagaimana kalau seandainya ada perampok yang masuk ke sana? Bagaimana kalau Rhea
diculik? Bagaimana kalau Rhea... bunuh diri?
Pikiran
ngawur!
Radit menepuk
jidatnya sendiri, pikirannya ngawur tapi dia juga takut sendiri. Lekas ia ke
dapur, memastikan bahwa pisau, garpu dan benda-benda tajam lainnya tetap berada
pada tempatnya. Dari dapur, ia beralih ke kamar memastikan tak ada bau obat
nyamuk cair dan tali tambang bergelantungan di kamar Rhea. Tapi tetap nihil,
bagaimana pula mau ada tali tambang di langit-langit kamar yang tinggi itu. Ia
mulai merasa bahwa apa yang dia lakukan ini konyol dan dia sudah ingin berhenti
seperti itu sampai satu pikiran muncul lagi di dalam kepalanya. Balkon.
Lekas ia
berlari, tak mempedulikan meja kopi yang tadi ia sambar, kakinya
berdenyut-denyut nyeri tapi kemungkinan Rhea yang bunuh diri lewat terjun dari
balkon apartemennya telah menguasai pikirannnya. Begitu sampai, ia melihat ke
bawah, mendapati lalu lintas yang ramai dari dua jalur. Tidak ada tanda-tanda
orang yang habis bunuh diri di sana. Tak ada keramaian, apa lagi mayat.
Radit
menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon dan
menggeram frustasi. Kamu di mana, Rhe... Di mana?
Dengan
harapan yang tinggal secuil, Radit meraih telepon genggamnya dan menekan angka
satu lama. Satu nada sambung. Dua nada sambung. Tig--
"Halo?"
Radit
menghela napas panjang lega, ia tidak pernah sesenang ini mendengar kata halo
dari Rhea.
"Rhe,"
panggilnya, antara lelah dan senang.
"Iya?
"Kamu di
mana?"
"Di...
atas atap."
Tubuh Radit
menegang seketika. Atap???
"Atap
mana Rhe?!" nada suaranya langsung berubah keras, lantas ia berdiri dan
berjalan cepat keluar dari apartemen Rhea.
"Apartemen,
Dit." Sahut Rhea dari seberang sana.
"Rhe,
kamu tunggu aku di sana ya. Jangan ngapa-ngapain ya. Kamu harus tenang. Oke?
Oke? Aku ke sana sekarang." Begitu selesai mengatakan kalimat penuh
perintah itu, Radit memacu langkahnya menuju bagian teratas dari apartemen
Rhea. Ia sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi, yang ada di pikirannya hanya
satu, cepat-cepat ke tempat di mana Rhea berada sekarang ini. Saking cepat dan
khawatirnya, ia tidak lagi berpikir untuk menggunakan lift alih-alih tangga
darurat.
Begitu
sampai, ia langsung saja mendobrak pintu yang membatasi tangga darurat dan
ruang atap. Angin kencang menampar-nampar wajahnya, namun matanya tetap
berusaha fokus mencari sekeliling bagian atap yang luas itu. Tubuhnya langsung
saja melorot begitu mendapati sosok gadis itu tengah duduk di salah satu bangku
kayu di dekat pagar pembatas atap dengan sekotak donat dan juga kopi dalam
gelas kertas.
Mendengar ada
suara ribut di belakangnya, gadis itu berbalik. Matanya yang coklat gelap
menatap ke arah Radit yang terengah-engah berjongkok di depan pintu darurat.
Keningnya mengerut heran, namun sedetik kemudian dia melepaskan cengiran untuk
menertawai Radit yang tampak begitu konyol baginya.
“Dit—“ Belum sempat Rhea menyelesaikan panggilannya, Radit segera berdiri
dan berjalan cepat ke arah tempat duduknya.
"Sialan!"
katanya sembari memeluk Rhea erat, menyandar kepala gadis itu di dadanya.
Dadanya berdebar keras dan ia bernapas cepat sekali, campuran antara rasa
khawatir, kelelahan setelah berlari dan juga lega karena mendapati Rhea yang
baik-baik saja.
"Sudah
tiga hari kamu nggak ketemu aku, dan pas kita ketemu kamu bilang sialan?” gerutu
Rhea tak terima juga ingin melepaskan diri, namun pelukan Radit begitu erat di
bahunya.
“Aku kira kamu bego lagi, Rhe.” Ucap Radit akhirnya, setelah beberapa saat hening dan hanya
angin sepoi-sepoi yang mengisi kekosongan di antara mereka.
Tubuh Rhea
sedikit menegang, sebenarnya ia tadi sempat berpikiran bodoh. “Tapi ternyata aku baik-baik aja kan?”
“Yeah, dan aku senang kamu duduk manis di
sini. Nggak di pinggiran pagar.”
“Konyol. Mana mungkin aku berpikiran kayak
gitu. Lepasin ih!” sekali sentakan Rhea melepaskan pelukan
Radit. Entah mengapa ada perasaan yang aneh ketika lelaki itu memeluknya. Mau
tak mau, Radit terdorong ke belakang dan untungnya mampu mengimbangi beban
tubuh yang tadi sempat goyah keseimbangannya.
“Are you okay, Rhe?” tanya Radit kemudian, berjongkok di depan Rhea.
Selama
beberapa saat, Rhea terdiam. Kepalanya menggeleng pelan. “No, I’m not.”
“Then, what should I do to make you feel better?”
“Do nothing.” Sahut
Rhea singkat, menunduk menatap jemarinya yang digenggam Radit dengan lembut. “Kamu nggak perlu berbuat apa-apa, Dit. Cukup diam aja, karena
aku juga mau diam.”
“Mau sampai kapan kamu kayak gini? Jadi
orang yang merana untuk cowok yang sudah menyia-nyiakan kamu?”
Radit acapkali mengingatkan Rhea mengenai hal ini, tentang laki-laki yang tidak
sepantasnya ia pikirkan, dia tangisi, dia beri hati.
“Aku sayang sama dia, Dit.” Katanya
putus asa.
“Dan apakah dia saying sama kamu? Nggak kan.
Dia malah mengkhianati kamu.”
“Perasaanku ini nggak perlu berbalas. Aku… Aku… Aku ngerasa…
cukup…kok.”
“Kamu merasa cukup dengan disakiti?”
Rhea menjawab
tanya Radit dengan diam, kepalanya menunduk dalam sementara genggaman tangannya
mengerat, seolah sedang menahan sesuatu. Dia benar-benar mencintai sosok cinta
pertamanya, namun kata-kata Radit menghantamkan kebenaran ke wajahnya. Hatinya memang tersakiti oleh pengkhianatan.
Namun, membayangkan dirinya melepaskan perasaan yang sudah ia pendam selama
bertahun-tahun membuatnya merasa lebih sakit lagi. Susah payah ia menyimpan dan
merawat perasaannya, dan apakah semudah itu ia akan melepaskannya?
“Aku nggak bisa benci sama dia, Dit.” Suara Rhea terdengar pilu.
“Melepaskan dia nggak berarti kamu harus
benci sama dia. Karena cinta yang diganti dengan benci tak akan pernah
berhasil, malah yang ada kamu akan semakin terpuruk dengan perasaan itu. Ganti
cinta itu dengan perasaan rela dan ikhlas. Dengan melepaskan semuanya, maka
kamu akan merasa lebih lega dan siap untuk cinta yang lebih baik, yang lebih
pantas kamu terima.”
“Jangan ngomong lagi, Dit. Tolong.”
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?