Entahlah [Ini Intinya Apa]

Thursday, September 11, 2014

here
Pikiran Radit mulai meliar. Baginya perempuan yang sedang patah hati itu bisa berbahaya, tidak terkecuali Rhea. Terutama Rhea. Setelah berhari-hari gadis itu mengurung diri di dalam apartemennya, kini gadis itu sama sekali tak nampak batang hidungnya di sudut mana pun Radit mencarinya. Sama seperti hari-hari kemarin sejak Rhea patah hati setelah putus dari pacarnya yang tukang selingkuh itu, Radit rutin mengunjungi rumahnya hanya untuk tahu bagaimana keadaan gadis itu. Well, meskipun kekecewaan yang selalu ia dapati karena Rhea tak kunjung mau membukakan pintu untuknya, tidak mau membagi luka dengannya. Dia sudah lelah dengan beratus-ratus nada sambung yang terputus dari teleponnya dan juga sudah putus asa mengirimi sms-sms tak berbalas ke Rhea. Dan sekarang ia merasa seperti menghadapi bencana.
Tadi pagi, Rhea tidak ada di apartemennya. Parahnya lagi, apartemen itu tidak terkunci. Radit langsung saja menerobos masuk. Takut kalau terjadi apa-apa dengan Rhea. Bagaimana kalau seandainya ada perampok yang masuk ke sana? Bagaimana kalau Rhea diculik? Bagaimana kalau Rhea... bunuh diri?
Pikiran ngawur!
Radit menepuk jidatnya sendiri, pikirannya ngawur tapi dia juga takut sendiri. Lekas ia ke dapur, memastikan bahwa pisau, garpu dan benda-benda tajam lainnya tetap berada pada tempatnya. Dari dapur, ia beralih ke kamar memastikan tak ada bau obat nyamuk cair dan tali tambang bergelantungan di kamar Rhea. Tapi tetap nihil, bagaimana pula mau ada tali tambang di langit-langit kamar yang tinggi itu. Ia mulai merasa bahwa apa yang dia lakukan ini konyol dan dia sudah ingin berhenti seperti itu sampai satu pikiran muncul lagi di dalam kepalanya. Balkon.
Lekas ia berlari, tak mempedulikan meja kopi yang tadi ia sambar, kakinya berdenyut-denyut nyeri tapi kemungkinan Rhea yang bunuh diri lewat terjun dari balkon apartemennya telah menguasai pikirannnya. Begitu sampai, ia melihat ke bawah, mendapati lalu lintas yang ramai dari dua jalur. Tidak ada tanda-tanda orang yang habis bunuh diri di sana. Tak ada keramaian, apa lagi mayat.
Radit menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon dan menggeram frustasi. Kamu di mana, Rhe... Di mana?
Dengan harapan yang tinggal secuil, Radit meraih telepon genggamnya dan menekan angka satu lama. Satu nada sambung. Dua nada sambung. Tig--
"Halo?"
Radit menghela napas panjang lega, ia tidak pernah sesenang ini mendengar kata halo dari Rhea.
"Rhe," panggilnya, antara lelah dan senang.
"Iya?
"Kamu di mana?"
"Di... atas atap."
Tubuh Radit menegang seketika. Atap???
"Atap mana Rhe?!" nada suaranya langsung berubah keras, lantas ia berdiri dan berjalan cepat keluar dari apartemen Rhea.
"Apartemen, Dit." Sahut Rhea dari seberang sana.
"Rhe, kamu tunggu aku di sana ya. Jangan ngapa-ngapain ya. Kamu harus tenang. Oke? Oke? Aku ke sana sekarang." Begitu selesai mengatakan kalimat penuh perintah itu, Radit memacu langkahnya menuju bagian teratas dari apartemen Rhea. Ia sudah tidak bisa berpikir apa-apa lagi, yang ada di pikirannya hanya satu, cepat-cepat ke tempat di mana Rhea berada sekarang ini. Saking cepat dan khawatirnya, ia tidak lagi berpikir untuk menggunakan lift alih-alih tangga darurat.
Begitu sampai, ia langsung saja mendobrak pintu yang membatasi tangga darurat dan ruang atap. Angin kencang menampar-nampar wajahnya, namun matanya tetap berusaha fokus mencari sekeliling bagian atap yang luas itu. Tubuhnya langsung saja melorot begitu mendapati sosok gadis itu tengah duduk di salah satu bangku kayu di dekat pagar pembatas atap dengan sekotak donat dan juga kopi dalam gelas kertas.
Mendengar ada suara ribut di belakangnya, gadis itu berbalik. Matanya yang coklat gelap menatap ke arah Radit yang terengah-engah berjongkok di depan pintu darurat. Keningnya mengerut heran, namun sedetik kemudian dia melepaskan cengiran untuk menertawai Radit yang tampak begitu konyol baginya.
DitBelum sempat Rhea menyelesaikan panggilannya, Radit segera berdiri dan berjalan cepat ke arah tempat duduknya.
"Sialan!" katanya sembari memeluk Rhea erat, menyandar kepala gadis itu di dadanya. Dadanya berdebar keras dan ia bernapas cepat sekali, campuran antara rasa khawatir, kelelahan setelah berlari dan juga lega karena mendapati Rhea yang baik-baik saja.
"Sudah tiga hari kamu nggak ketemu aku, dan pas kita ketemu kamu bilang sialan? gerutu Rhea tak terima juga ingin melepaskan diri, namun pelukan Radit begitu erat di bahunya.
Aku kira kamu bego lagi, Rhe.Ucap Radit akhirnya, setelah beberapa saat hening dan hanya angin sepoi-sepoi yang mengisi kekosongan di antara mereka.
Tubuh Rhea sedikit menegang, sebenarnya ia tadi sempat berpikiran bodoh. Tapi ternyata aku baik-baik aja kan?
Yeah, dan aku senang kamu duduk manis di sini. Nggak di pinggiran pagar.
Konyol. Mana mungkin aku berpikiran kayak gitu. Lepasin ih! sekali sentakan Rhea melepaskan pelukan Radit. Entah mengapa ada perasaan yang aneh ketika lelaki itu memeluknya. Mau tak mau, Radit terdorong ke belakang dan untungnya mampu mengimbangi beban tubuh yang tadi sempat goyah keseimbangannya.
Are you okay, Rhe? tanya Radit kemudian, berjongkok di depan Rhea.
Selama beberapa saat, Rhea terdiam. Kepalanya menggeleng pelan. No, Im not.
Then, what should I do to make you feel better?
Do nothing.Sahut Rhea singkat, menunduk menatap jemarinya yang digenggam Radit dengan lembut. Kamu nggak perlu berbuat apa-apa, Dit. Cukup diam aja, karena aku juga mau diam.
Mau sampai kapan kamu kayak gini? Jadi orang yang merana untuk cowok yang sudah menyia-nyiakan kamu? Radit acapkali mengingatkan Rhea mengenai hal ini, tentang laki-laki yang tidak sepantasnya ia pikirkan, dia tangisi, dia beri hati.
Aku sayang sama dia, Dit.Katanya putus asa.
Dan apakah dia saying sama kamu? Nggak kan. Dia malah mengkhianati kamu.
Perasaanku ini nggak perlu berbalas. Aku Aku Aku ngerasa cukupkok.
Kamu merasa cukup dengan disakiti?
Rhea menjawab tanya Radit dengan diam, kepalanya menunduk dalam sementara genggaman tangannya mengerat, seolah sedang menahan sesuatu. Dia benar-benar mencintai sosok cinta pertamanya, namun kata-kata Radit menghantamkan kebenaran ke wajahnya.  Hatinya memang tersakiti oleh pengkhianatan. Namun, membayangkan dirinya melepaskan perasaan yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun membuatnya merasa lebih sakit lagi. Susah payah ia menyimpan dan merawat perasaannya, dan apakah semudah itu ia akan melepaskannya?
Aku nggak bisa benci sama dia, Dit.Suara Rhea terdengar pilu.
Melepaskan dia nggak berarti kamu harus benci sama dia. Karena cinta yang diganti dengan benci tak akan pernah berhasil, malah yang ada kamu akan semakin terpuruk dengan perasaan itu. Ganti cinta itu dengan perasaan rela dan ikhlas. Dengan melepaskan semuanya, maka kamu akan merasa lebih lega dan siap untuk cinta yang lebih baik, yang lebih pantas kamu terima.

Jangan ngomong lagi, Dit. Tolong.

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?