NaruHina Fanfiction
By. R.
-
By. R.
here |
Kenapa kita harus terlibat dalam hubungan
yang seperti ini Hinata?
Kata-kata Naruto
kembali terngiang dalam telinga Hinata, dan rasanya seperti ada pisau tak kasat
mata yang mengiris hatinya. Meninggalkan perih pada luka yang belum sembuh
benar. Salahkah ia bila ingin bahagia juga? Salahkah ia bila ingin meraih
cintanya?
Dan mengapa Naruto
tak mau juga berpaling?
Ah, dia juga seperti
itu kan?
Kenapa Hinata tak
mau juga berpaling dari Naruto?
"Kalau kau
melamun terus, bisa-bisa rumah ini kebanjiran loh Hinata."
suara bass dari belakangnya membuatnya tersentak, lekas ia mematikan air keran yang sudah meluap-luap di bak penampungan dan menyadari bahwa Lee, salah satu teman Naruto sekarang sudah berdiri di sampingnya.
suara bass dari belakangnya membuatnya tersentak, lekas ia mematikan air keran yang sudah meluap-luap di bak penampungan dan menyadari bahwa Lee, salah satu teman Naruto sekarang sudah berdiri di sampingnya.
"Ma—maaf,"
Hinata membalas kikuk, berusaha sibuk dengan mangkuk kotor yang ada di
tangannya.
"Apa Naruto
membuat masalah lagi?"
"Ah? Tid-tidak
kok."
"Naruto itu...
terkadang terlalu bodoh untuk menyadari apa yang sebernanya ada di
hadapannya." kata Lee santai, sembari mengambil sekaleng coke dari kulkas.
"Maksud Lee
apa?"
Lee menahan
jawabannya, sampai ia berbalik. "Si bodoh itu, kau jangan pernah menyerah
untuknya ya, Hinata!" Lee memberikan senyuman menyemangati.
Hinata tertegun
mendengar ucapan teman satu kos Naruto itu, mau tak mau ia tersennyum. Tentu
saja, ia tidak akan mau menyerah pada cintanya, pada Naruto!
-
Hinata mengelap
tangannya di celemek yang ia pakai setelah mencuci mangkok bubur Naruto. Ia
kemudian melangkah ke arah tangga, menuju kamar Naruto untuk mengambil tasnya
dan pulang. Tadi, Neji sudah menelponnya, sebenarnya berniat untuk menjemput
juga. Namun ia menolak karena ia telah berbohong pada Neji bahwa ia sedang berada di rumah temannya alih-alih di
rumah Naruto.
"Naruto, aku
masuk ya." katanya di depan pintu, sebelum memutar kenop pintu dan
melangkah masuk ke dalam kamar pemuda berambut pirang itu. Dilihatnya Naruto
tengah tertidur pulas, dengan posisi selimut yang acak-acakan, sangat jauh
berbeda dari waktu ia meninggalkan kamar ini tadi.
Pelan-pelan, ia
melangkah mendekati meja belajar Naruto, lalu mengambil tas selempang yang ia
taruh di atas meja belajar Naruto kemudian menyampirkannya ke bahu kanannya.
Dengan langkah yang lebih hati-hati dari sebelumnya, ia mendekati tempat tidur
Naruto dan menarik selimut Naruto sampai menutupi bahu pemuda yang tengah
tertidur itu.
"Cepat sembuh,
Naruto." kemudian Hinata berbalik, namun, belum selangkah ia beranjak,
gadis itu merasakan ada tangan hangat yang menahan pergelangan tangannya. Ia
tersentak, namun enggan untuk menoleh. Ia bisa mendengar suara selimut yang
saling bergesekan, dan tangan yang sedang menggenggamnya itu bergerak. Naruto
kini duduk di tempat tidurnya.
"Jangan pulang
dulu," kata pemuda itu singkat, lalu melepaskan tangannya dan berjalan
melewati Hinata yang berdiri mematung.
Naruto masuk ke
dalam kamar mandi, terdengar bunyi keran air yang dibuka lalu hening sesaat
sebelum akhirnya ia keluar dengan mengelap wajahnya dengan handuk. Ia kemudian
melempar handuk itu sembarang arah, membiarkannya jatuh ke tempat tidurnya
sementara ia sendiri membuka lemarinya dan mengambil dua jaket tebal. Naruto
lalu mendekati Hinata, menyampirkan salah satu jaket tebal itu pada gadis yang
kini matanya sedang memancarkan
kebingungan atas tingkahnya.
"Ayo
turun." singkat, kemudian ia menarik pergelangan tangan Hinata lagi,
mengakibatkan gadis itu sedikit tersentak pada langkah pertama.
"A-ada apa,
N-Naruto?" Hinata sedikit tergagap, mereka berhenti di depan gerbang.
Tanpa menjawab pertanyaan Hinata, Naruto berjalan ke halaman samping kosnya,
beberapa saat setelahnya ia muncul dengan membawa motor matic Lee.
"Naiklah!"
perintahnya. Hinata hanya mampu terpaku di depan gerbang, alisnya bertaut,
percampuran ekspresi bingung dan juga tak mengira. "Apa lagi yang kau tunggu?
Kau tidak mau pulang?"
"K-kau sedang
sakit Naruto, tak perlu mengantarku."
"Ini sudah
malam, Hinata." Naruto mengacuhkan Hinata,"Cepatlah. Kau tentu tidak
mau membiarkanku begini terus sepanjang malam kan?"
"T—tapi—"
"Kau tidak
mau?"
Hinata mengerti
bahwa tidak ada gunanya menolak permintaan Naruto. Ia sebenarnya enggan,
mengingat kondisi Naruto yang masih sedikit demam, terlebih lagi heran melihat
kelakuan pemuda itu. Namun, berdebat hanya akan memperpanjang masalah mereka
dan akan menunda kepulangannya. Meskipun, sebenarnya ia ingin sekali menemani
Naruto di sini.
"Um."
akhirnya, Hinata beranjak dan mendudukkan dirinya di belakang Naruto, menarik
sedikit bagian samping jaket Naruto untuk berpegangan.
"Pegangan yang
erat." ujar Naruto pelan, sebelum dengan tiba-tiba ia menarik gas dan
matic itu menderu kencang. Membuat Hinata tersentak kaget dan tanpa sadar
memeluk erat pinggangnya.
-
Di sepanjang
perjalanan keduanya sama-sama bungkam, hanya sesekali terdengar suara pekikan
Hinata ketika Naruto menambah laju motornya.
Setelah perjalanan
yang membuat Hinata terpekik dan menahan napas berkali-kali. Akhirnya matic
berwarna hijau neon itu berhenti di depan sebuah rumah dengan gerbang tinggi
berwarna coklat tua.
Hinata hendak turun
dari boncengannya, namun, gerakannya tertahan karena Naruto yang menahan
tangannya yang berada di pinggang Naruto. Paham karena merasa Naruto ingin
menyampaikan sesuatu, Hinata bertahan di tempatnya.
Naruto menghela
napas panjang, yang kedengarannya begitu berat dan lelah. Hinata di belakangnya
bernapas hati-hati. Merasa apa yang akan terjadi selanjutnya akan benar-benar
menguras perasaan mereka.
"Hinata,"
panggil Naruto pelan, kepalanya menunduk, menagrahkan pandangannya pada
jemarinya yang membungkus kepalan tangan Hinata di pinggangnya. "Apa kau
tidak lelah dengan hubungan kita yang seperti ini?"
Hinata diam saja,
enggan berkata-kata. Pertanyaan Naruto benar-benar menyakitinya, menyakitinya
dengan kebenaran. Karena sebenarnya, jauh di dalam hatinya, Hinata lelah
menjadi bayang-bayang orang lain. Hinata lelah menjadi nomor dua sekali pun
status mereka menempatkan Hinata pada posisi yang pertama. Hinata lelah
mencari-cari tempat di dalam diri Naruto.
Namun, apakah cinta
hanya berbicara tentang lelah? Ia menyayangi Naruto. Ia ingin berada di samping
pemuda itu. Menjadi sosok yang selalu berjuang sampai akhirnya Naruto mau
melihat ke arahnya. Cinta bukan cuma lelah. Cinta juga berusaha.
"Apa sebaiknya
kita—"
"Tidak."
ucapan Naruto disela oleh Hinata yang sudah tahu akan ke arah mana pembicaraan
ini. Genggaman Hinata pada bagian depan jaket Naruto mengerat, dan Naruto bisa
merasakan bahwa gadis yang sedang bersandar di belakangnya ini tak akan menarik
kata-katanya. "Aku tidak mau."
"Aku lelah,
Hinata. Aku hanya menyakitimu."
"Tidak
mau." pelukan itu mengerat, dan kini kepala Hinata ikut bersandar pada
punggung Naruto yang hangat. Gelenyar itu ada, bergerak-gerak seperti pusaran
badai di laut. Gelombangnya besar sekali, dan Hinata menelannya bulat-bulat.
“Sebaiknya, kita
putus saja.”
Genggaman itu
semakin erat.
-
Entah mengapa, saya lupa caranya menulis.
Ini hanya cuplikan dari salah satu project fanfic yang sudah berjuta-juta tahun terbengkalai. Semoga masih enak dibaca. So, this is it. FanficNaruto Hinata, terbaruku!
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?