Ulang Tahun Mama: Apa jii Hari Ibu, Maaf yang Tidak Sampai, Serta Harapan Untuk Hari Esok

Sunday, December 27, 2015


Aku tahu, hari ini tidak tepat kelahiranmu.  Angka 27 Desember hanya asal-asalan kau tulis ketika gurumu meminta mu pulang bertanya kepada nenek.  Jalan pulang terlalu jauh, sementara tanggal kelahiran dibutuhkan sekarang.  Baru beberapa meter dari sekolah kau berhenti, lantas memilih dengan asal di antara angka 1 sampai 31 dan kau memilih 27 entah mengapa. 
Namun, meskipun sejarah penanggalan kelahiranmu seperti ini, aku mengikut saja. Karena begitu menyedihkan rasanya tidak bisa merayakan apa-apa.
Bagaimana keadaan di akhirat? 
Jangan menjawab karena aku hanya iseng bertanya. 
Bagaimana Tuhan? 
Marah kah ia pada anak gadis mu ini? yang bahkan ketika kau hendak pergi dia tak ada di sampingmu? 
Hidup memang bajingan. 
Aku paling tua dan paling singkat di sampingmu.
Terlalu bodoh untuk sekedar menebak pertanda.
Tapi, penyesalan memang tidak ada gunanya dan aku harap mama mau berdoa di sana agar anak-anakmu tegar. Agar kami tidak tumbuh menyusahkan orang lain. Cukup Mama saja yang kami buat susah, tidak perlu orang lain.
Ma, Mama pergi di saat aku belum siap. Meskipun aku sudah berada dalam dua puluh lingkaran umur, kedewasaanku sama sekali nol. Rasanya, aku dipaksa dewasa ketika aku masih ingin bermanja-manja denganmu. Kita mengalami kebersamaan yang sangat singkat.
Saat ini, anak-anak gadis yang lain mungkin sedang bermanja-manja dengan ibu mereka. Bercerita tentang lelaki yang mereka sukai, pula tentang lelaki yang mengejar-ngejar mereka. Tapi aku di sini hanya mampu bercerita di depan layar kaca. Berharap kamu membacanya dari atas sana.
Aku gila mungkin. Mana mungkin di alam bazrah tersedia laptop dan jaringan internet.
Tapi, aku tulis saja lah, banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu tentang hidupku setelah Mama pergi. Semoga Tuhan menyampaikan. Tuhan punya banyak cara untuk melihat, pula mengajakmu melihat anak-anakmu.
Ma, bulan desember ini adalah bulan yang berat. Terlebih lagi tanggal dua  satu, yang katanya hari ibu. Ingin kuhilangkan tanggal itu dari bulan desember. Tidak perlu ada dua satu, langsung dua-dua saja dan bulan desember genap bertigapuluh hari. Hari itu semua orang mengganti display picture mereka dengan foto bersama ibu mereka, dengan ucapan selamat hari ibu.
Sementara aku, di sore harinya dibuat menangis oleh adik sendiri. Alan. Alan menelpon, kupikir ada sesuatu yang gawat terjadi di rumah. Ternyata, dia hanya ingin menelpon saja.
“Rin,”
“Apa?”
“Hari ibu ini hari.” Katanya. Aku ingin langsung menjawab, tapi entah mengapa, leherku tercekat. Aku berusaha sebaik mungkin mengatur napas, dan menelan duri di tenggorokan. Namun Alan dengan cepat menanggapi jeda sunyi di percakapan telepon kami. “Yaaaaa kasihan…. Da menangis eeeee….”
Pecah.
Saat itu, aku tidak peduli bahwa aku tidak menutup pintu kamarku, sehingga teman kostku dengan mudahnya melihat aku menangis.  Aku pun tidak peduli menjadi kakak yang lemah di  hadapan adikku sendiri. Aku menangis saja. Sedikit meraung-raung kemudian sesenggukan. Lantas mengutuk kehidupan yang brengsek.
Mengapa tidak ada lagi yang bisa ku sms bila uang di ATM sudah tidak ada?
Mengapa tidak ada lagi yang bisa kudengar gosipnya setiap akhir minggu lewat telepon?
Mengapa tidak ada sosok yang menjadi alasan utama aku menginstal aplikasi ‘Skype’ di laptopku?
Mengapa aku harus menjadi yatim piatu?
Mengapa orang-orang yang bisa kupanggil ‘Pak’ dan ‘Bu’ adalah guru-guruku.
Mengapa begitu sulit bilang Mama, Papa?
Mengapa aku tidak bisa menghadiahimu kue, dengan angka 48 (gila!) di atasnya, dengan gonjrengan gitar Alan yang mengiringi lagu selamat ulang tahun yang Aku nyanyikan bersama Nur? Mungkin aku akan kabur dari perkuliahan demi membawa sekotak kue ulang tahun untukmu, yang kemudian akan kamu marahi namun ujung-ujungnya kamu tidak bisa berlaku apa-apa lagi karena aku yang nekat hasil turunan sifat nekat darimu datang dengan ceria.
Ma, kini aku tumbuh sendiri. Seperti sebatang pohon yang hanya satu-satunya di muka bumi. Berada di hutan belantara tanpa teman satu spesies. Aku terluka dan menyembuhkan diri sendiri. Berkelana seorang diri, terlalu takut menjadi beban hidup orang lain. Tidak ada tempat untuk bersandar karena tempatku bermanja-manja sudah pergi.
Kehidupan ini ingin kukutuk tapi aku terlalu pengecut kepada Tuhan.
Ingin marah tapi tolol rasanya memaki takdir.
Jadi kukatupkan bibir rapat-rapat dengan geligi yang saling bergesek lantas menyumpah dalam hati ‘kenapa?’
Aku tahu, banyak yang lebih sial dari pada diriku. Lebih mengerikan jalan hidupnya disbanding diriku.
Tapi aku tidak ingin melihat ke bawah.
Aku ingin melihat ke atas.
Ma, aku bingung menetukan arah hidupku. Setidaknya, bila engkau ada segalanya bisa lebih mudah. Sekarang, semua harapan dan beban ada di pundakkku. Dan hidupku tidak lagi milikku sendiri. AKu tidak bisa berlaku sesuka diriku dan semuanya menyiksa. Kadang ada keinginan untuk kabur dan menghilang, berharap alien menginvasi bumi, dan aku diculik, dibawa pergi ke galaksi yang jauh.
Setidaknya dengan begitu semua harapan orang-orang dan beban yang mereka layangkan apdaku bisa menghilang.
Egois aku ya?
Betapa menyakitkan bagi diriku yang paling singkat berada di sampingmu ketika kau menderita sakit. Berikut pula kekurang ajaranku selama merawatmu.
Mengapa Tuhan memberikan cobaan yang kejam bukan kepalang?
Bahkan,
Astaga sial.
Maaf pun tak sempat kuucapkan padamu.
Sadis.
Dan aku sungguh malu kepada mata orang-orang yang selalu saja menanyakan, “Apa pesan terakhir mamamu?”
Aku hanya mampu menggeleng, dan berkata, “tidak ada pesan apa-apa. Dia pergi dengan tenang.”
Lalu mereka berkata, “Kasihan.”
Kasihan.
Apa maksud?
Mereka orang-orang yang terlalu terbiasa pada drama-drama anak yatim piatu di televisi, yang termakan pada cerita-cerita kejam atau kisah-kisah inspiratif dari mereka yang tidak berbapak dan beribu.
Kalau bukan yang yatim piatu di timpa musibah bertubi-tubi,
Ya mereka akan mengukir prestasi seluas langit setinggi jagad raya.
Kalau bukan dikasihani, ya dikagumi dengan cara yang menyakitkan.
Kami anak-anakmu seperti piala yang dipandang-pandangi dengan rasa iba yang ganjil.
Mereka menaruh harapan yang harus kami penuhi.
Itu terlalu berat untukku, Ma.
Aku ragu pada diriku sendiri.
Aku tidak suka.
Ma, kedewasaanku, Alan, dan Nur tumbuh tidak pada waktunya. Kedewasaan datang terlalu cepat. Kami mulai membahas hal-hal yang tidak seharusnya kami bahas. Pikiran-pikiran kami mulai tercemar.
Masalah pembagian harta, tanah, uang. Orang-orang mulai meracuni kami dengan hal-hal gono-gini.
Bayangkan.
Maaaaaa….
Kenapa kamu pergi cepat sekali?
Aku masih ingin pelukan, juga nasi goreng lezat bukan kepalang buatanmu.

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?