Source |
Hola,
sobat depresyqu~
So di postingan kali ini aku
mau cerita tentang temanku yang sekarang ini mengajar di salah satu SMA di
Makassar. Dia ini kayak semacam mengabdi gitu kan ya. Fresh from college, berjiwa muda, bisa diandalkan tapi kere dalam
pengalaman. Jadinya, ketika ada ajakan untuk mengajar di sekolah, Hmmm why not? Untuk menambah pengalaman kan
ya, dari pada tidur-tiduran ongkang-ongkang kaki di rumah yang semakin
menunjukkan kalau diri ini adalah pengangguran yang berpotensi bikin publik resah.
Nah,
temanku ini mengajar di kelas Sebelas. Ada sekitar tujuh atau delapan kelas
yang dia ajar. Nah, dari semua kelas ini ada satu kelas yang grrrrhhhhh
naudzubillahimindzalik bebalnya.
Why?
karena
ada sekelompok anak muda yang baru saja dipukulin sama pubertas yang tambeng
banget. Nggak mau mendengar. Kerjaan mereka tuh main game aja di smartphone mereka setiap kali teman gue
ini masuk mengajar di kelas mereka. Sudah ditegur berkali-kali, berhenti
sebentar, terus kemudian ya gitu deh. Log
in lagi. Main lagi. Mukulin musuh yang ada di layar ponsel mereka.
Puncaknya tuh tadi sore, teman aku bilang kalau dia tadi habis marah-marah lagi
di kelas ini. Karena katanya kayak makin parah. Nggak cuma main game online saja, tapi juga game offline a.k.a kartu remi.
Woah
meledak deh tadi.
Eh tapi
siswanya, habis dimarahin, cuma semenit doang, malah main game lagi. Terus pake cara ngambek
segala lagi ke gurunya.
Hahhhh???
I mean, hell-owwwww~
Lu yang
salah kok elu yang ngambek~
Itu aja
tadi aku dengar temanku cerita, aku yang gengges.
'Kamu
nggak nangis kan tadi di kelas?"
'Ya nggak
lah!"
Well, kalau
aku sih udah nangis. Udah capek malamnya menyusun materi belajar, cari-cari
tambahan materi, siapkan media pembelajaran, siapkan penilaian, bikin soal
ujian, periksa tugas-tugas, portofolio, hasil ujian, laporan praktikum,
merancang sesuatu yang asyique supaya siswa tertarik belajar. Belum lagi dengan
tugas-tugas sampingan yang segambreng, eh pas masuk di kelas malah diabaikan
kayak cinta tak berbalas (heh!).
This make me think, why these students act like that?
Ini apa
karena gurunya baru, masih muda, sehingga mereka memandang mudah saja
menghadapi sang guru?
Apakah
mereka tidak suka belajar? Tidak suka belajar biologi?
Apakah
mereka stress pergi ke sekolah pagi-pulang-petang?
Apakah
mereka capek terlalu banyak pelajaran?
Apakah
karena game lebih menarique?
(Yaiyalahmbakeeee!)
This make me think how we can get rid of this, because me and
every young teachers could face this too.
Anak-anak yang enggan belajar dan lebih memilih bermain. Yah, kalau ini anak SD
atau SMP, masih bisa dimaklumi lah. Emosi mereka belum stabil. Tapi kalau sudah
SMA? Yang sebentar lagi akan masuk universitas dan menghadapi kenyataan hidup
yang kejam? Masa' mau dibiarkan main melulu (Then, what’s the point you go to school everyday?). Terus nanti
ujung-ujungnya juga guru lagi yang rempong. Siswa tak mau belajar, guru jungkir
balik mikir gimana nilai nih anak bisa melampaui KKM. Terus nanti pas nilai
ujian keluar, nilai siswa tidak bagus (yang bahkan setela didongkrak pun tyda
masuc kategory loulous) guru lagi ujuk-ujuk disalahin.
Kan
syebelllll.
Huft.
Seharusnya
tuh ya, buat calon guru harus ada tambahan satu mata kuliah khusus di
universitas.
Strategi
Menghadapi Berbagai Macam Kepribadian Siswa.
Karena
yah begitu lah, guru mesti punya kecakapan untuk memahami siswa dan bagaimana
cara menangani siswa yang bertingkah semaunya sendiri di dalam kelas.
Eh tambah
juga ding. Pelatihan Kepribadian dan Manajemen Emosi.
Oke,
tulisan ini mulai tidak berarah.
Konsen
lagi ke siswa-siswa yang suka banget main game
ini.
Jadi beberapa
minggu yang lalu aku menyarankan ke temanku, bagaimana kalau kamu membuat
peraturan di kelas? Siswa nggak boleh pakai smartphone-nya
di luar keperluan belajar. Kalau ketahuan main game, ponselnya diambil. Well, peraturan itu hanya bertahan satu
pertemuan, karena di pertemuan berikutnya, siswa balik lagi kayak semula.
Sebenarnya sudah ada peraturan sekolah yang mengatur tentang penggunaan ponsel
di dalam kelas. But, students take this
rule easy because not all teacher applying this rule in the classroom.
Seharusnya
sih semua guru niat untuk menegakkan peraturan ini. Biar siswa menganggak
serius juga hal ini. Aku sempat bawa curhatan temanku ini di salah satu grup
guru di facebook, Dan rata-rata guru di grup itu punya anggapan yang sama.
"Di
sekolah seharusnya ada peraturan yang mengatur tentang penggunaan ponsel di
kelas. Setiap elemen sekolah bertanggung jawab untuk menegakkan peraturan
tersebut. Bila seorang guru mendapati siswa yang menggunakan ponsel bukan untuk
keperluan pembelajaran, guru bisa membawa masalah ini ke Komite Sekolah (maksudnya
ini Guru BK). Dan biarkan Guru BK yang berurusan dengan siswa tersebut (ponsel
disita, orang tua dipanggil ke sekolah). Bila tidak ada peraturan sekolah, guru
bisa membuat peraturannya sendiri di dalam kelas. Set your rules, that four walls is your authority."
Dan
begitu lah, menegakkan peraturan howooo~
Solusi
kedua.
"Atau
kamu usir saja siswanya dari kelas. Sudah ribut mainnya, mengganggu yang mau
belajar. Huh!"
Tapi...
apakah itu etis?
Membiarkan
siswa berkeliaran di luar ruang kelas seperti domba-domba yang tersesat membuat
kita seolah-olah melepaskan tanggung jawab terhadap siswa. Membuat kita
terlihat tidak peduli pada siswa yang bermasalah ini. Kalau siswanya
kenapa-napa saat berada di luar kelas, guru lagi yang kena.
(Tapi
kan, siswanya saja tak peduli kan ya ya ya~)
Kemudian...
Emangnya,
gurunya sudah merancang proses pembelajaran yang menarik di dalam kenlas? Yang
tidak membosankan? Yang memantik pemikiran kritis siswa dan membuat mereka
menjadi haus akan ilmu pengetahuan?
Hmmm,
sudah sih. Tapi fasilitas kelas tidak memadai. Proyektor tak ada untuk
menyajikan media-media pembelajaran. Sementara mencetak sendiri sumber belajar
terlalu banyak biaya.
(Ih,
gurunya berkorban dong. Hoy~ Hoy~~~uang transpor aja nggak ada, zhay~~~)
Mau
menghukum siswa dan mara-mara di dalam kelas juga kesannya too old school. Yang ada nanti malah emosi jiwa terus gebrak
sana-gebrak sini (masuk penjara deh! atau nggak yah, digampar ama siswa
sendiri)
When I write this, I don't know who to blame. The teacher? The
students? The school? The system? Who? This sick-100-years-old-curriculum?
Well, markisatem. Mari kita
salahkan sistem.
Huahahahaha~
Oke.
Stop blame everything.
Aku juga
nggak mau terus-menerus apa-apa menyalahkan pemerintah. Karena yah... well, nyalahin
pemerintah juga cuma bakalan bikin capek diri dan nggak menghasilkan apa-apa.
Kecuali kalau kita bisa bikin gerakan dan merancang solusi sendiri untuk
mengubah sistem pendidikan.
(Lah
terus gunanya pemerintah yang bidang pendidikan apaan dong kalau bukan mikirin
solusi untuk masa depan per-sekolah-an negara ini? Eeeeeee apa yhaaaa~~~)(Ngek,
ini aku kayak orang bener aja ngomongnya).
Then?
We should ppgrade ourself.
But, how?
Apakah kami harus menjadi Yakuza dulu?
Apakah kami harus menjadi Yakuza dulu?
The teachers were trapped and pinched by every walls. We face
emotional struggle too, I think. It's hard to be a teacher. We deal with
various students' personality in classroom. Then we have thousand jobs, not
only in teaching but additional things too.Then we have problems in personal
life too.
Well,
nggak boleh lemah mental sih kalau mau jadi guru.
Yasss, kita harus kuat hati, kuat otak, kuat fisik. Biar bisa seperti Yamaguchi Kumiko, Great Teacher Onizuka, Guru Ann dan Guru Song, Guru Ma Yeo Jin si Penyihir Jahat, dan Guru Jung In Jae.
Bisa tegas.
Yasss, kita harus kuat hati, kuat otak, kuat fisik. Biar bisa seperti Yamaguchi Kumiko, Great Teacher Onizuka, Guru Ann dan Guru Song, Guru Ma Yeo Jin si Penyihir Jahat, dan Guru Jung In Jae.
Bisa tegas.
Bisa
santai.
Terampil
menertawakan hidup.
Halaaahhhh kehidupan tak seindah drama Asia, bosque!
Halaaahhhh kehidupan tak seindah drama Asia, bosque!
Oke
tulisan ini mulai aneh.
Jadi
kuakhiri saja.
Eh, aku dan temanku masih cari-cari solusi atas permasalahan ini. Bila kamu yang membaca ini punya usul, boleh lah bagi-bagi ke kita di kolom komentar. Sipppp~~~
Assalamu'alaikum kak...
ReplyDeletepertama-pertama, aku mau bilang kalau aku selalu suka tulisan kakak.
kedua, cerita ini lumayan panjang.
ketiga, aku rasa, aku mengerti apa yang dirasakan kakak sewaktu menulis ini. Karena bapak ibuku juga seorang guru. Bapak guru olahraga SD, ibu guru bahasa inggris SMP. Ibuku juga pernah dibuat menangis karena anak muridnya yang bandel. Bukan hanya bandel usut punya usut sering minum alkohol dan ngerokok tuh anak. Jadi anak itu bahsanya kasar dan mudah emosi. Gurunya aja kalah, bapak ibunya yang ngurusin di rumah apalagi, udah pasrah.
kalau masalah bagaimana caranya agar pembelajaran menarik atau siswa mau mengikuti? Bapakku pernah menjawab kalau harus dengan media pembelajaran yang menarik, lebih banyak gambar atau video. Tapi memang fasilitas tidak memenuhi.
Tapi memang tergantung siswanya sendiri juga, kalau memang mereka malas belajar, ya begitulah.
kalau masalah ponsel atau hp, sewaktu aku kelas sepuluh sekolahku melarang muridnya membawa hp, kalau ketahuan ya diambil, kalau mau dikembalikan harus ke ruang BK. Juga selalu mengadakan sidak hp seminggu sekali, harinya tidak pernah ditentukan, dadakan gitu biar anak muridnya terkejut gitu ceritanya.
Waktu aku kelas sepuluh juga, guru biologi yang mengajar di kelasku itu perempuan, masih muda dibanding guru mata pelajaran lain, dia jarang masuk, tapi sekali masuk media pembelajarannya menggunakan ebook digital begitu.. sekalipun kami disuruh membeli buku pegangan, tapi guru itu membuat gamabar-gambar yang dibuku kami itu ditampilkan di LCD dengan gambar berjalan dan videonya. aku suka sekali waktu itu, saat melihat bagaimana bentuk-bentuk jamur dan bagaimana spora itu berkembang.
temen kakak perempuan atau laki-laki? soalnya aku pikir, guru laki-laki biasanya itu lebih ditakuti daripada guru perempuan. biasanya ya.
Oke segitu dulu ya kak, maaf kalau banyak omong. see you.
Waalaikumsalam, Rizka
DeleteHehehe, makasih banget sudah menyempatkan diri mampir ke blog ini.
Berbagi pengalaman, saya juga dulu hampir dibuat menangis oleh siswa sewaktu praktik mengajar dulu. yah siswa dnegan segaal maccam kepribadian mereka.
Thanks a lot untuk sarannnya, Rizka. Semoga bisa segera dicoba :D
Temanku perempuan, dan memang akrakternya dia itu selalu ingin dekat dengan murid jadi akan sulit untuk bsia terlihattegas. Tapi bsia lah dicoba sarannya.