Yow, enjoy reading!
~0o0~
Dulu Masjid Itu Kecil
oleh Rhyme
Dulu Masjid Itu Kecil
Dulu masjid itu kecil. Dengan kubah peraknya yang berkilau tertimpa sinar terik matahari, atap sengnya yang mulai berkarat di sana-sini, lantai marmer dan dindingnya yang mulai pudar warna catnya. Bila musim kemarau, sangat menyenangkan bisa berbaring di lantainya yang dingin. Sejuk di dalam masjid itu bukan karena kipas angin, melainkan angin sepoi-sepoi yang yang datang membelai sukma. Bila musim penghujan, shaf-shaf sholat akan benar-benar rapat. Bukan karena masjid itu kecil, melainkan karena genangan air yang senantiasa ada di sana karena atap masjid yang bocor.
Itu dulu.
Dulu di dalam masjid kecil itu di setiap sorenya ramai terdengar suara anak-anak yang belajar mengaji, setiap minggu selalu diadakan kajian ilmu di dalam sana. Ada nafas-nafas pembangun bangsa di sana. Ada jiwa-jiwa pejuang jihad yang bersujud di sana. Ada detak-detak jantung para penerus khalifah yang bertafakur di sana. Masjid itu kecil, tapi ia hidup.
Itu dulu.
Dulu sebelum aku meninggalkan kota dengan masjidnya yang kecil itu. Masjid yang telah melahirkan banyak pemimpin-pemimpin umat yang bersahaja dan para penghapal-penghapal Al-Qur’an. Itu enam tahun yang lalu, sebelum aku meninggalkan kota dengan masjid kecilnya untuk menuntut ilmu. Agar kelak aku bisa menjadi sederetan nama yang bisa mengibarkan asma Allah di bawah naungannya.
Itu dulu.
Namun, sekembalinya aku dari tanah para nabi dengan membawa gelar yang kuyakin membuat bangga abi dan ummiku telah kulihat perubahan besar dari masjid yang dulunya kecil. Ia tak lagi berdiri rapuh di atas sepetak tanah. Masjid itu kini berdiri kokoh dan megah, ia luas tak terkira. Dinding-dindingnya seputih pualam, dengan jendela yang berkisi-kisi emas. Tak lagi ada karat di atapnya, berganti dengan kubah besar berpuncak lafaz Allah yang menantang langit. Lantai-lantainya berkilauan dengan langit-langit yang tinggi, ditopang tiang-tiang yang kokoh dan berhiaskan ukiran-ukiran yang indah.
Aku berdecak kagum, menyebut Asma Allah atas rumahnya yang begitu menakjubkan. Bersinar kemerahan ditimpa cahaya matahari yang tenggelam di ujung lautan sana. Aku berjanji dalam hati, maghrib sebentar aku akan mendirikan sholat di sana.
Langkah kakiku belum sampai di halaman rumah kecil yang dipenuhi dengan tanaman bunga yang harum semerbak itu, namun Ummi langsung datang menghampiri dan memelukku. Ada haru yang menyeruak di antara kami, rindu karena telah bertahun-tahun tak berjumpa.
“Abi! Abi! Farid pulang! Farid pulang, Abi!” teriak Ummi sambil menggandeng tanganku, “kamu pasti capek, Nak. Ayo masuk. Ya ampun Nak! Makin tampan saja kamu!”
Aku hanya mampu tersenyum menanggapi ucapan wanita yang aku sayangi itu, haru masih mencegat di tenggorokanku. Dari dalam rumah, muncul seorang laki-laki paruh baya yang mengenakan kaus oblong, peci serta sarung. Senyum menghiasi wajah tuanya,guratan-guratan kebanggaan terukir di wajahnya. Segera kuhampiri dan kusalami ia, kucium dalam-dalam tangannya melepaskan kerinduan setelah lama meninggalkan mereka di sini. Tanpa sadar, air mataku mengalir karena rasa haru yang membuncah di dadaku.
“Sudah, sudah... masuk, Nak... masuk. Abi dan Ummi sudah menantikan kepulanganmu, Nak.” Kata Abi sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku diajak masuk ke dalam rumah yang dulunya adalah tempatku merasakan kasih sayang dari mereka. Rumah itu tidak banyak berubah. Kursi jati yang sama, meja kaca yang sama, dan beberapa foto yang bertambah. Dibingkai dan digantung di dinding yang bercat biru muda. Hanya gordennya saja yang berganti.
Setelah berbincang-bincang sejenak dengan Abi dan Ummi tentang kehidupan serta kuliahku di Mesir, Ummi menyuruhku untuk beristirahat sejenak dan aku hanya mengangguk pasrah. Aku memang sangat lelah. Perjalanan naik pesawat selama sepuluh jam, belum lagi ditambah lelahnya berdesakan di dalam bis sungguh menguras tenaga dan pikiranku. Kurebahkan tubuhku di kasur yang sudah tidak empuk lagi. Mataku tertancap pada langit-langit kamar, kamar ini pun tidak berubah. Tak berapa lama aku terbuai di dalam mimpi.
Kudengar pintu kamarku diketuk, mataku mengerjap-ngerjap. Kulihat jam weker yang terletak di atas meja belajarku, jarum pendeknya menunjuk ke angka lima. Tidak terasa, sudah dua jam lebih aku tertidur.
“Mandi dulu, Rid. Baru setelah itu temani Abimu berbincang-bincang.” kudapati Ummi begitu aku membuka pintu kamar.
“Baik, Umm.” jawabku lalu mempersiapkan diri untuk mandi.
Begitu selesai mandi, kuhampiri Abi yang sedang duduk-duduk di dipan teras rumah sambil memberi makan ayam-ayam peliharaannya.
“Gimana, Rid? Sudah hilang capekmu?” tanya Abi masih fokus dengan ayam-ayamnya.
“Alhamdulillah, sudah Bi.” Jawabku ikut memperhatikan ayam-ayam peliharaan Abi.
“Kamu nanti mau kerja di mana? Sarjanamu sudah selesai, kini saatnya kamu memikirkan pekerjaan. Jangan jadi kayak Abimu ini cuma jadi penjual ikan saja di pasar.”
“Saya dapat tawaran magang di salah satu cabang bank syariah, Bi. Semoga saja Farid bisa bekerja dengan baik di sana nanti.”
“Baguslah kalau begitu. Kalau jodoh? Apa kamu mau Abi carikan? Anak gadis Pak Ahmad, yang dulu satu sekolah dengan kamu itu sekarang sudah jadi guru SD loh....” ujar Abi lagi, sedikit banyak membuatku menyembunyikan senyum. Susah menyembunyikan kenyataan pada Abi. Radar kebapakannya selalu bisa mendeteksi apa yang tersembunyi di balik dada ini. termaksud rasa cinta pada wanita yang Abi sebut-sebut tadi.
“Belum Abi,” jawabku. “Farid mau bekerja dengan baik dulu. Nanti setelah mapan, baru perkara jodoh bisa saya pikirkan. Saya ingin Abi dan Ummi naik haji dulu.”
Abi hanya geleng-geleng kepala, senyum masih juga merekah di wajahnya.
“Abi... maghrib sebentar kita sama-sama ya berjamaah di masjid. Saya kangen sama suaranya Pak Haji.” aku mengutarakan keinginanku. Pikiranku kembali lagi mereka-reka, pastilah mesjid yang dulunya kecil itu akan lebih ramai dibandingkan sebelum aku pergi. Bangunan megah itu mungkin akan berisi ratusan jamaah yang bersama-sama menghadap Sang Pencipta.
Namun respon Abi sungguh di luar dugaanku. Mangkok plastik yang berisi mananan ayam ia banting, membuat isinya berhamburan di tanah. Abi mendelik padaku dan menunjuk-nunjuk wajahku.
“Tidak usah kamu sebut-sebut nama masjid itu di hadapan Abi!” dan setelah mengatakan hal itu, Abi segera bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah.
Aku terhenyak di tempat dudukku. Keningku mengernyit, berusaha mencerna perkataan Abi tadi. Namun aku tetap tak memperoleh jawaban atas tingkah aneh Abi. Aku memutuskan untuk mencari sendiri jawabannya. Begitu suara Adzan berkumandang, kulangkahkan kakiku menuju masjid.
Hanya aku, dan beberapa orang yang baru datang mengisi masjid itu. Salah satu dari mereka kukenali sebagai Pak Haji, Imam masjid yang tinggal berdampingan dengan masjid yang megah ini. Umurnya sekitar 60 tahunan, dan merupakan pensiunan kepala sekolah. Aku hanya berbalas senyum padanya sebelum mendirikan shalat Tahiyatul Masjid.
Aku mengedarkan pandanganku begitu selesai shalat sunnah. Hanya ada tambahan satu-dua orang, dan hampir semuanya laki-laki. Jamaah akhwat hanya satu orang, itu pun nenek-nenek yang seingatku dulu tinggal di belakang masjid.
Iqamah sudah dilantunkan muadzin. Kami bersiap untuk shalat. Dan sejauh mata memandang, jamaah masjid saat maghrib hanya bisa dihitung dengan jari.
Hatiku tertegun, dalam shalat aku mencoba menghilangkan pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa’ yang tiba-tiba saja memenuhi kepalaku.
~0o0~
Dulu, di sela waktu antara maghrib dan isya di masjid yang dulu kecil ini selalu ramai oleh anak-anak yang bertadarusan. Membaca ayat-ayat suci dan mengobati kerinduan mereka dengan sang Illahi. Namun itu dulu. Sekarang masjid itu sepi. Padahal masjid itu megah. Padahal ia tak lagi kecil dan kini berdiri kokoh dengan segala kesempurnaannya.
Aku termenung, kusandarkan punggungku pada tiang penopang masjid. Tempat ini berubah. Ia tak lagi sama. Masjid itu sunyi oleh keramaian.
Di tengah lamunanku, kurasakan pundakku ditepuk. Aku menoleh dan kudapati wajah Pak Haji tersenyum padaku. Aku balas tersenyum dan ia duduk di sampingku.
“Selamat datang kembali, Nak Farid.” Sapanya.
“Iya Pak.” Balasku enggan. Pikiranku masih sama, masih memikirkan apa yang terjadi dengan masjid ini, “Pak Haji, apa saya boleh bertanya?”
“Bertanya apa anakku?” balas Pak Haji. Wajahnya menyiratkan keteduhan, dan aku pun dibuatnya merasa tenang sejenak.
“Kenapa... kenapa masjid ini terlihat sepi? Padahal ia megah begini...”
Pak Haji menghela napas panjang. Ia perbaiki surban yang tersampir di lehernya. Mata yang teduh itu menatapku dalam-dalam.
“Bapak tidak tahu mengapa Nak. Samar-samar yang bapak tahu, ini bermula dari politik. Waktu masa-masa pemilu dulu, ada beberapa partai yang datang menyumbang dana untuk pembangunan masjid ini. tidak tanggung-tanggung jumlahnya, Nak. Begitu pembangunan selesai, mereka mendatangi rumah-rumah, mengadakan pengajian berbuntut tuntutan balas jasa atas pembangunan mesjid. Minta untuk memilih partai dan caleg mereka.
“Sejak saat itu, warga sudah jarang beribadah di sini. Mereka lebih banyak yang beribadah di rumah-rumah mereka. Kegiatan masjid pun sudah lama terhenti. Katanya, mereka sudah tidak sudi beribadah di tempat yang diklaim-klaim sebagai milik partai....”
Politik.
Lagi-lagi politik. Sesuatu yang kini telah membunuh nafas-nafas pejuang agama. Kini masjid tak lagi murni sebagai sarana ibadah, ia tak lagi menjadi rumah Allah. Masjid yang dulu kecil ini tak lagi menjadi tempat manusia mendapatkan damai dan ketenangan. Mesjid yang dulu kecil ini telah dimanfaatkan untuk kepentingan yang bukan untuk Agama. Maknanya telah dirusak oleh orang-orang yang lapar akan kekuasaan dan pertopengkan iman.
Masjid ini sudah tidak tenang, sudah tidak ada lagi kebebasan di dalamnya. Masjid yang dulu kecil ini telah dipagari dengan tonggak-tonggak partai dan kekuasaan.
Kini masjid yang dulu kecil itu telah menjelma menjadi masjid yang megah, bersinar di bawah cahaya mentari. Ia megah. Namun ia rapuh. Nilainya mati. Maknanya rusak.
-End-
Kak, masukin OCK di grup Cendol aja!
ReplyDeleteGimana caranya sist?
ReplyDelete