Cinta, Tak semudah yang Terucap

Tuesday, August 9, 2011

Hohooiii... Nih, ada cerpen baru lagi dari Rhyme. Temanya rada-rada 'dark' gitu. Hehehe... coznya gue habis baca cerpen-cerpennya Mbak Skylashtar Maryam. Sumpah! Cerpen-cerpennya tuh keren bangetttsss. Dan salah satu cerpennya berhasil menginsipirasi gue, yaaa... meskipun cerita di bawah ini sangat melenceng dari tema awal. Tapi, gak apa deh...
Happy reading friendsss! ^_^
~0o0~

Cinta, Tak semudah yang Terucap
oleh Rhynnierhyme

Cinta... beragam bentuk menjelma menjadi kata yang sarat akan emosi itu. Segala sesuatu yang akan menjadi lumpuh karenanya, dan kecerdasan manusia yang paling tinggi pun akan tumpul di hadapnnya. Menyembah bersujud pada cinta, memujanya. Kadang ia menjadikanmu tertawa bahagia bagai seorang ratu, namun kadang pula ia menjebakmu terbungkuk-bungkuk seperti budak. Kadang kau menjunjungnya, kadang pula kau injak-injak ia. Cinta... beragam rupa dan bentuk yang setiap orang memiliki tafsiran yang berbeda-beda tentangnya. Manis. Pahit. Tawar.
Cinta adalah sesuatu yang tak memiliki pendirian, ketidak konsistenan pada hati yang merasa, mengakibatkan banyaknya hati yang terbelah-belah menjadi potongan-potongan yang hanya memiliki sedikit cinta.

Aku sudah kenyang dengan segala wujud rayu kalimat-kalimat manis bersalut madu. Sudah terlalu banyak bibir-bibir para lelaki yang memujaku mengucap cinta padaku. Namun aku tahu, semua kalimat-kalimat manis itu hanyalah bualan semata. Mereka hanya menginginkanku sebagai pendamping dan pajangan di kamar-kamar mereka.
Dulu aku begitu mengutuk cinta, dan sekarang pun tetap begitu meski pun dulu aku pernah berputar haluan untuk tetap berpihak pada rasa yang tidak punya pendirian itu. Sebanyak-banyaknya kenikmatan yang ditawarkannya, maka sebanyak itu pula kepedihan yang harus aku tuai. Cinta itu menyesatkan. Karenanya aku buta, karenanya aku tuli, karenanya aku bisu, dan karenanya aku menderita.
Dulu, aku tidak menikmati hidupku yang datar-datar saja. Hanya melakukan aktivitas yang sama, bertemu dengan orang-orang yang sama, dan membicarakan hal yang itu-itu saja. Umurku bahkan waktu itu belum menginjak angka dua puluhan. Puncak di mana mata-mata liar haus akan keindahan arsitektur Tuhan yang diukir pada tubuh setiap wanita.
Sampai saat itu, aku bertemu dengannya...
Dia tidak memiliki tampang yang menawan, cenderung biasa-biasa saja. Namun aura yang terpancar dari wajahnya begitu menarikku sampai-sampai terjebak dalam pesonanya. Selama bertahun-tahun kuteliti setiap gerak-geriknya, kuamati tingkahnya, dan yang paling mengasyikkan adalah... mendengar tawanya dan mendapatkan senyumannya yang begitu memikat. Aku begitu terkatung-katung dalam perasaanku sendiri, lama-kelamaan kekaguman yang kumiliki menjadi cinta. Saat itu aku bahkan tak tahu bagaimana cara menunjukkannnya, padahal gadis-gadis seumuranku sudah bisa dengan mudahnya memikat orang yang mereka sukai.
Perasaan cinta membuatku bingung, dan rasa itu pula lah yang melambungkanku setinggi langit.
Hari demi hari yang kulewati bersamanya, setiap kebetulan-kebetulan yang mempertemukanku dengannya, menjadikanku semakin dekat dengannya. Tak dapat kupungkiri rasa itu semakin hadir dan semakin nyata. Senantiasa menyelimuti hatiku dengan selubung-selubung hangatnya dan selalu membuatku merona merah karenanya.
Senyumannya itu, ah... betapa manisnya untuk dikenang, namun begitu pahit pula apa yang kudapatkan karenanya meskupun sering kali aku malah mensyukurinya.
Masih terang di dalam ingatanku.  Hari itu sudah terlampau terlambat untuk bisa dikatakan sebagai anak yang baru pulang dari sekolah. Koridor-koridor kelas telah sunyi, sementara matahari telah memerah di ujung lautan. Kulangkahkan kakiku yang baru keluar dari ruang kelas, dan kudapati dirinya sedang berdiri bersandar pada dinding. Langkahku terhenti begitu mata yang sewarna lapiz lazuli itu menatap ke arahku. Lagi-lagi ia tersenyum, dan membuat jantungku berdetak semakin cepat kala ia berjalan tenang ke arahku. Ia raih tanganku, dan kurasakan hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Mata yang begitu tegas memaksaku untuk balas menatapnya.
“Aku... ingin mengatakan sesuatu padamu,” ucapnya lembut. Aku hanya menatapnya dalam diam, masih larut dalam pesonanya.
“Aku mencintaimu...”
Aku terhenyak. Desiran-desiran aneh menyusup dalam setiap aliran darahku, dadaku bergemuruh karena lisan pemuda itu. Kurasakan genggamannya mengerat, dan tanpa berpikir panjang aku mengangguk. Entah untuk apa.
Dan kata ‘cinta’ itu telah berpengaruh besar pada diriku. Membuatku serasa melayang, dan melupakan apa yang ada di dunia ini kecuali dirinya. Sejak saat itu, makin seringlah kata-kata itu kudengar dari bibirnya yang berwarna khas, dan makin banyak pula aku terbuai olehnya.
Padahal itu hanyalah kata-kata, namun berhasil membuatku lumpuh. Ucapan itu memang racun bagi manusia rapuh sepertiku, yang dengan mudahnya menghancurkanku detik demi detik. Makin lama aku dibuai oleh kata-kata cinta lelaki itu, makin hancur pula diriku dipeluknya.
Gejolak-gejolak masa mudaku makin besar setiap kali aku berada di sisinya, menemani dirinya yang kesepian tanpa menenal waktu. Menenggelamkan diriku pada cumbu dan bujuk rayunya. Tanpa memikirkan akibat dari perbuatanku.
Masih lekat dalam ingatanku. Waktu itu, di toilet wanita. Ketika teman-temanku sedang sibuk memoles bedak pada pipi halus mereka, aku malah meringkuk di dalam  dinding-dinding WC menunggu dengan gemetaran. Tabung pipih putih ditanganku belum juga kuperhatikan tandanya, setelah memantapkan hati pelan-pelan kusingkapkan jari tanganku yang menutupinya...
Dua garis merah...
Positif.
Aku merasakan kendali akan tubuhku hilang, benda yang menjadi sumber ketakutanku terpelanting jatuh membentur lantai marmer di bawahku. Menimbulkan bunyi yang nyaring namun hampa di telingaku. Keringat membasahi pelipisku meski dingin membelai wajahku, tubuhku semakin gemetaran, gigiku bergemeletuk, dan hatiku diliputi oleh ketakutan yang teramat sangat. Ketakutan itu mencekikku, membuatku sulit bernapas dan berpikir. Jiwaku tak lagi tenang, cinta yang selama ini menemaniku menjadi sirna oleh duri-duri tajam kegelapan. Aku merasakan cahaya di depanku meredup, lalu mati.
“Aborsi saja...” kata itulah yang pertama kali kudengar keluar dari bibirnya yang selalu mengucap cinta padaku.  Padahal bukan kata itu yang ingin kudengar, tapi mengapa dia begitu mudah menucapkan kata itu terucap seolah-olah aku sedang bercanda saat mengatakan keadaanku. Rasa tidak percaya memenuhi jiwaku, lalu lama kelamaan kemarahanlah yang mengantikannya. Kemana cinta yang selama ini kau agung-agungkan? Kemana perginya ia?
Betapa teganya ia waktu itu. Jiwaku yang sudah hancur makin hancur-sehancur hancurnya. Tanganku terkepal menahan tangis, tamun isakan kecil tetap keluar dari bibirku. Lelaki itu menatapku dengan ekspresi wajah yang tak terbaca. Aku tak tahu lagi raut apa yang tergambar di wajahnya yang bergaris maskulin itu. Sekali lagi, dengan mudahnya ia mengucapkan kata-kata cinta untuk mengobati jiwaku. Namun di setiap penghujung kalimat-kalimat panjangnya yang agung dia selalu meminta pengorbanan yang begitu besar padaku.
“Tolonglah, aku mencintaimu... Tapi kita tidak bisa mengorbankan masa depan kita. Ayolah, aborsi tidak semengerikan yang kau bayangkan.”
Cinta! Cinta! Cinta!
Cuih!
Dengan mudahnya ia mengatakan hal itu seolah-olah dia pernah mengalaminya. Dia mendesakku untuk memilih pilihan yang begitu mengerikan. Memintaku berkorban. Memintaku membunuh. Meminta! Meminta! meminta padaku. Apakah ia tidak menyadari bahwa dia jugalah penyebab semua mala petaka ini?
Laki-laki! Semudah itu ia melempar tanggung jawabnya!
“Hime...” panggilnya pelan, namun aku tak menoleh padanya lagi. Kulangkahkan kakiku menjauhi sosok tubuh yang bagiku seperti onggokan bangkai itu. Telingaku menolak untuk mendengarnya berkata-kata lagi, tubuhku menolak untuk diraihnya lagi. Dialah yang kuharapkan mampu menghilangkan segala ketakutan yang ada padaku saat ini, namun malah dia yang makin menghempaskan diriku ke dalam jurang yang gelap.
Sejak saat itu, masa-masa muda yang kuanggap akan bersinar bersamanya sirnalah sudah, tiga hari setelah mengatahui apa yang terjadi padaku, dia pindah ke kota lain. Meninggalkanku bersama benih yang ada di dalam tubuhku.
Aku tak lagi mengenal pagi. Hidupku mendekam dalam kelam, sulur-sulur penuh penyesalan mengikat kaki dan tanganku. Aku tak lagi bsia berlari menuju pagi. Aku tak lagi bisa menggapai langit. Denyut nadiku telah mati tertikam kata-kata lelaki yang katanya mencintaiku itu, lenyap dalam alunan sore berbau amis.
Cinta membuatku menderita. Kata dengan sejuta makna emosi itu telah membunuhku, menguburku dalam kubangan-kubangan dosa. Cinta tak lagi manis kurasa, tak lagi harum semerbak mawar.  Cinta telah membunuhku.

-END-

Gah! depresi banget nih cerpen #pundung
Ceritanya mau gue post di akun FP gue, tapi ada daya lupa password akunnya... huweeee... #amatirdodol
Huikkksss...
Yang baca komen yaphz! minta kritik wal sarannya. ^_^

Image and video hosting by TinyPic

2 comments:

  1. Hime bunuh dirikah? 0.0
    Cerpen ini mengingatkan Anandh pada teenlit Mbak Triani Retno yang Lena Marlena a.k.a Bukan Jilbab Semusim; sama-sama menceritakan ttg pergaulan bebas yg sedang marak diperbincangkan #ehh Mengingatkan betapa bahaya sekaligus menggodanya pergaulan bebas. >.<
    Btw, Kak Rhyme... diksinya kereeen puol bok~~~ *.* Itu menjadi nilai plus yg plus plus plus! :D
    Keep writing! ;)

    ReplyDelete
  2. Hmmm... perkara bunuh diri atau tidak.... thaat's still a mystery.... hakhakahak.. #digetok
    menurut Anandh sendiri gimana yaphz?

    Oh, iya Nandh. Nih NHL ada event baru loh, mau ikutan ndak?

    ReplyDelete

Kalau menurutmu, bagaimana?