[Rabu Menulis] Perkara Burung Cerewet

Wednesday, February 18, 2015

Di dalam kepalanya, tinggal seekor burung.
Dia mengaku.
“Dan jangan mengernyitkan dahi,” dia memperingatkan.
Jadi, aku kembali memasang wajah datar, meskipun pikiranku sudah tertawa terbahak-bahak dan juga geli, bagaimana mungkin ada seekor burung dalam kepalanya?
“Burung apa?” Tanyaku.
Dia menenguk air putih, langsung dari botolnya, menyeka bibir, lalu jeda sejenak. “Burung yang cerewet.” Katanya.
“Cerewet? Kakatua maksudmu? Nuri? Perkutut? Or a kind of bird that I don’t know?”
“A kind of bird that you don’t know. Burung ini tidak bisa kamu temukan di mana pun. Dia Cuma hidup di kepalaku.”
“Dia jenis burung yang langka?”
“Langka dan satu-satunya di dunia karena dia Cuma ada di kepalaku. Kenapa sih, dari tadi kamu Tanya terus? Kamu mau ngambil burungku ya?”
Matanya melotot dan dengan sigap ia meraih botol air yang masih terisi setengah botol, setengahnya tadi sudah berpindah ke dalam perutnya, bahasa tubuhnya mulai menunjukkan ketidaksukaan padaku dan dia sudah pasang kuda-kuda. Gila nih orang.
Aku mengangkat tangan meminta perdamaian, aku tidak mau kepalaku benjol gara-gara botol air. Dia mulai tenang, dan aku memintanya duduk. Aku menghela napas sejenak, menghadapi orang kolot seperti dia butuh usaha yang ekstra keras.
“Jadi burung bapak cerewet?”
“Iya, cerewet sangat. Dia. Dia menunjuk kepalanya, dia bisa ngoceh berjam-jam tentang harga sembako, BBM. Dan yang paling aneh, dia jadi makin cerewet kalau aku ngomongin perempuan.  Suaranya itu, bikin telinga sakit, berdarah kuping aku. Tapi itu belum seberapa. Saking cerewetnya dia, saking ributnya dia. Istriku tahu kalau aku punya simpanan. Istriku ngamuk. Kamu sudah beristri?”
Aku menggeleng.
“Sebaiknya cari istri yang cerewet daripada cari istri yang pendiam. Istri yang pendiam berbahaya, saking berbahayanya, dia sering tanya-tanya burungku, diancam-ancam pakai pisau. Burungku takut diancam. Ngaku dia.”
“Lantas?” pancingku
“Lantas….” Ada jeda yang panjang setelahnya, dia menerawang. Lantas dia melotot lagi. Tak hanya itu, dia mulai beteriak-teriak dan meronta. Kini aku paham maksudnya dengan suara yang mampu membuat kuping berdarah. Urat-urat di dahi  dan di lehernya seperti ingin meloncat dari bawah kulit.
~0o0~

Diikutkan untuk #rabumenulis @gagasmedia


No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?