Setelah Sebulan KKN-PPL Terlewati

Monday, November 7, 2016


Hola! Gue balik lagi. Sudah lewat satu bulan dan gue sudah jarang-jarang banget ngeposting lagi. Belakangan ini gue udah  sibuk sana-sini. Menjadi KKNers, jadi guru, jadi ibu rumah tangga wannabe. Hahahha, iya jadi ibu  rumah tangga wannabe coz selama KKN kan gue sama teman-teman seposko gue tuh masak sendiri, jadinya mau nggak mau gue juga harus belajar masak. Gue yang jarang-jarang ada di dapur dituntut buat settap hari selalu di dapur. Karena pembagian giliran memasak yang dibagi perwaktu makan (sarapan-siang-malam) bukan perhari makanya semua orang di posko tuh punya giliran masak setiap hari.

Setelah satu bulan KKN, sekarang gue sudah bisa bikin sambal. Huajajajajajajaja. Terus… baru segitu aja sih kemampuan gue, soalnya kalau dapat giliran masak yang gue kerjain paling bikin sambal, terus bantu teman potong-potong sayur sama menanak nasi.
Kita juga sudah mulai sibuk seminggu belakangan ini, mulai ngerjain program kerja meskipun masih tersendat-sendat sih. Setiap pulang dari kerja proker pasti langsung pada tepar semua. Lelah pokoknya! Tapi seru-seru sih.
Proker pertama :D
Kita juga sempat bantu-bantu OSIS pas lomba baca puisi untuk peringatan Hari sumpah Pemuda kemarin-kemarin, terus ikut raker OSIS juga yang …. Yah mungkin buat orang-orang yang pernah ikut berorganisasi apa lagi mantan anak OSIS bakalan tersenyum miris dan merasa bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam organisasi ini.
Jadi seksi dokumentasi ka wehhhh
Terus sekarang gue mau cerita tentang kegiatan mengajar gue!  Yeyyy!
Di sini gue ngajar di kelas sebelas, yaitu kelas XI IPA1 dan XI IPA2. Well, bisa dibilang bahwa IPA2 itu merupakan representasi kelas yang bakalan bikin guru mesti teriak-teriak kalau mengajar. Kalau IPA1 rata-rata penghuninya lebih banyak diam. Di dua kelas itu, gue mendapatkan pengalaman mengajar siswa-siswi dengan karakter yang benar-benar berbeda. Mengajar di dua kelas dengan karakter yang bertolak belakang di hari yang sama, pasti membutuhkan persiapan yang harus sangat matang. Karena kita pasti nggak bisa menyamakan metode dan strategi mengajar kedua kelas tersebut.
Kedua kelas ini menawarkan pengalaman serta tantangan yang berbeda setiap kali gue masuk mengajar.
Setelah enam kali masuk mengajar di setiap kelas, gue sudah mulai akrab dengan murid-murid di sana. Ada beberapa orang yang gampang gue ingat nama dan raut wajah,serta tingakh-tingkah aneh mereka. Emang bener deh, guru itu mengenali siswanya dari dua hal; prestasi dan juga tingkah nyeleneh yang suka kita lakuin di kelas. Ada juga yang susah gue ingat namanya, makanya gue kadang suka sungkan menegur, karena gimana yaahhh… gue kurang suka gitu kalau negur siswa cuma dengan kata “eh…eh… anu….” Agak gimana gitu deh. Kita juga pasti bakalan ngerasa aneh kalau kita ditegur dengan cara seperti itu.
Jadi paham gue pentingnya nama.

Tak ada proyektor, laptop pun jadi lahhhh
Ada siswa gue yang super berisik di kelas, ada juga yang super pendiam di kelas. Ada yang sok, ada yang suka cari perhatian, ada yang semangat banget belajar, bertanya ini-itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi, ada juga yang acuh tak acuh di kelas. Gue seneng banget kalau ada siswa yang bertanya, atau aktif menjawab pertanyaan di kelas. Dan gue juga suka bingung gimana cara menghadapi siswa yang ogah-ogahan belajar.
Gue jadi paham rasanya jadi guru atau dosen yang kalau ngajar terus siswanya nggak aktif di kelas. Karena kalau siswa nggak aktif tandanya apa yang kita bawain di kelas tuh kurang menarik atau kita belum berhasil menarik minat siswa. Dan merasakan kegagalan seperti itu membuat hati jadi susah.
Setiap kali mau ngajar, gue kadang berpikir keras kadang juga ngayal bodo-bodo tentang gimana caranya besok gue bawain pelajaran. Gue kadang pusing sendiri, gimana caranya nanti gue menenangkan siswa yang berisik dan membuat bersemanagt siswa yang ogah-ogahan.
Terus kan baru-baru ini gue ngadain Ulangan Harian di dua kelas yang gue ajar. Setiap kali gue mendapatkan lembar jawaban yang nilainya bagus gue selalu senang banget, tapi juga waswas. Ini anaknya dapat nilai bagus dia jujur ngggak ya pas ngerjain ulangannya? Ini dia memang bener-bener karena dia paham sama yang gue ajarkan? Terus kalau gue dapat yang nilainya kurang bagus gue susah hati lagi, ini gue kurang bagus ya pas ngajar? Ini gue ngomong nggak jelas yah pas menyampaikan pelajaran?
Mendapatkan lembar jawaban yang isinya kurang bagus itu membuat gue mempertanyakan kemampuan mengajar gue sendiri.
Dan itu menyakitkan, sob.
Seperti cinta yang tak berbalas…. #apaannihrusak
Terus pas periksa lembar jawaban itu, gue jadi paham kalimat “Nilai ujian itu di ujung pulpennya guru.”
Why?
Kerana eh kerana ada jawaban siswa yang sebenarnya kurang tepat, tapi kita berspekulasi kalau siswa ini paham dilihat dari pola jawabannya. Kita pengen kasih nilai empat, tapi nilai empat itu terlalu tinggi menurut kita, terus kasih nilai tiga, tapi terlalu rendah, jadi pilihan terbaik tiga koma lima, tapi….
Buset dah tapi muluuuuuuuuu!
Ada juga jawaban yang salah satu atau dua huruf (aku grammar nazi, maafkan!), membuat bingung ini harus aku benarkan atau salahkan? Jadinya ambil jalan tengah, beri nilai ½ benar.
Memberikan nilai itu benar-benar berat, dan gue sadar bahwa gue masih cukup sulit memberikan nilai secara objektif. Sikap siswa, dalam hal ini aspek afektif mereka masih mempengaruhi gue dalam memberikan nilai kognitif mereka.
Jawaban mereka tidak tepat, tapi mereka masih berusaha menulis sepatah dua kata meskipun salah. Mau memberikan tanda silang atau memberi angka 0.5 itu apa yah…. Berat. Dikasih salah…. Nggak tegaaaaaaa.
Bodorrrrrrrr dah.
Selama sebulan ini ada banyak hal yang gue dapatkan, ke depannya pasti bakalan lebih banyak lagi pengalaman dan pelajaran yang gue dapatkan. Maka dari itu gue harus terus semangat dan nggak boleh putus asa. Yeah!
Yah ini lah kisah gue selama ngajar sebulan ini.
Doa’in semoga gue tetap dan makin semangat ya ngajarnya!
Fighting!



No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?