Lines and Walls, Trust and Be Honest to Yourself

Tuesday, December 31, 2019

source

That's when someone come, I tends to draw a line, build walls, but deep inside I'm rooting for someone that will stay with me, someone that never give up and understand, someone that keep me as cuma saya jii yang ada. Because this trust issue and insecurity feels like hell for me.
Bitter and loneliness that eat me from inside. There is a hole that filled with never ending worry and uneasy and fear. It makes me pity myself, why am I like this?
 Horrible mess.



Saya juga enggan menjadi  orang yang melelahkan, tapi ada bagian dari dalam diriku yang gemar berkata bahwa diriku tidak cukup, penuh rasa curiga. Mungkin karena sejak dulu, jarang menjadi favorit orang-orang. Ada masa, saya menjadi orang terakhir yang dipilih ketika bermain, kikuk ketika foto bersama, kadang-kadang merasa tidak cocok dan tidak dibutuhkan dalam kelompok, kadang juga merasa seperti pengganggu, selalu ragu-ragu dalam melakukan sesuatu dan kerap meminta konfirmasi yang berlebihan. Mungkin itu yang membuat orang lain lelah. Sehingga, banyak hal yang sudah terbiasa kulakukan sendiri. Kalau minta bantuan, takutnya merepotkan orang lain (yang juga sudah repot dengan hidupnya sendiri). Sangat-sangat lama untuk menyadari sesuatu karena apa-apa semuanya dianalisis dulu, dicari sebab akibatnya, dilihat dulu cabang-cabangnya, yang mana yang paling memungkinkan. 

Makanya susah dekat, susah komunikasi dengan orang lain. Karena selalu ada ketakutan dihakimi, ditinggalkan, dan tidak cukup.

Beberapa tahun terakhir ini, tidak terlalu merasa sendiri-sendiri banget (masih banyak kesepiannya sih, kalau dihitung perhari, tapi sudah tidak sebanyak yang dulu-dulu). Sudah punya teman dekat yang bisa ditemani berbagi rahasia, cerita-cerita nabi, jadi goblok bareng. Yang dekat dengan hati juga ada. Tapi untuk yang terakhir ini, seperti hal baru yang lama sekali diamati dan dipelajari, dan saya sulit paham. Bukan karena susah, tapi karena masalah-masalah mental block di atas yang membuatku sulit percaya bahwa ada juga orang yang senang sama saya. I feel insecure because in the past it didn't work and blunt end with a big question mark. People come and go and I feel anxious because its hurt sometimes and happen for a long time. And I'm done letting my self suffer because, when I finally sit down in silence--that day I just focused on my work and there are sudden sensation that kicking my head--uncertainty. It makes me start to questioning everything and recall the past
It's like, I'm tired with this.
Belum lagi dengan masalah-masalah hidup yang lainnya. 
Jadi mundur. Karena rasanya sulit percaya. Tidak adil kan terus-menerus mencurigai dan mempertanyakan perasaan orang lain. Sudah berapa tahun juga ini. Karena saya tahu itu membikin capek dan bisa merusak. Saya tidak mau lama-lama jadi bitter. Ujung-ujungnya melukai orang lain, lebih dari itu juga menyakiti diri sendiri dengan harapan yang datang, yang tengah malam kemudian dipikirkan lama-lama dan kudorong sendiri untuk jatuh ke jurang. And, at the top of that, I just know.

Kata Mamatari, saya kebanyakan berpikir. Dulu, sepupuku juga pernah bilang seperti itu. Kebanyakan pertimbangan, terus ujung-ujungnya lebih mengedepankan hal lain dibanding diri sendiri. Kadang juga salah bicara, salah ambil langkah, yang bikin orang-orang bingung aku ini maunya apa. Membikin waktu dan keadaan menjadi tidak tepat.

Tahun depan bisa lah yah, lebih jujur dengan perasaan sendiri.
Cukup yang ini dijadikan bahan belajar. Bahwa ada yang akhirnya saya sadari ada dalam diriku, bahwa banyak hal yang bisa mengubah dan diubah, ada yang tidak sesuai dengan kemauan, tidak bisa dipaksa dan lebih baik diterima. Waktu dan keadaan bisa tidak tepat, dan tidak ada yang salah dengan itu. Lebih berhati-hati jika ingin terlibat orang lain dan lebih mengutamakan kesehatan mental sendiri. Apa yang ada saat ini, nanti juga sembuh sendiri.

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?