Rhyme A. Black
PresenT
A NaruHina Fanfiction
Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sama yang ganteng, baik hati dan tidak sombong! #Entah mengapa pengen banget nambahin yang kayak gini #ganjen
Warning : OOC. OOC. OOC. AU. Mendayu-dayu.
Hope you enjoy this story!!!
Pict from here |
Bagaimana caranya... membuka kotak rahasia yang ada di dalam hatimu itu?
~0O0~
Sejak mengetahui bahwa hatimu telah memiliki seseorang untuk kau sayangi, kepedihan itu terus-menerus hadir. Dan aku pun bingung harus bagaimana, melihatmu tertawa, tersenyum dengan gadis selain diriku membuatku sesak karena harus menebak-nebak siapa gadis yang kamu maksud.
Dan lama-kelamaan, tanpa sadar aku mulai menarik diriku darimu. Kesempatan kita untuk berdua tak lagi sebanyak dulu. Aku menyibukan diriku dengan bimbingan Olimpiade Biologiku, sementara kau yang memang mulai sibuk dengan kegiatan sekolah dan latihan volly-mu semakin mengurangi pertemuan kita. Meskipun kau masih sering menelponku dan mengirimkan sms-sms konyol, semuanya tak akan pernah sama lagi.
Derit pintu yang terbuka mengalihkan lamunanku tentangmu, sekuat tenaga aku berusaha memfokuskan pada apa yang sedang dijelaskan Iruka-sensei mengenai rekayasa Genetika sampai akhirnya konsentrasiku kembali kacau karena ada seseorang yang menempati bangku di sebelahku.
"Oh, maaf." katanya karena tak sengaja menyenggol tanganku.
"I—Iya, tidak apa-apa, Yakushi-senpai." jawabku pelan sembari tersenyum pada kakak berkacamata itu.
Dia membalas senyumanku, lalu mengangsurkan sebuah buku berjilid biru ke hadapanku. "Ini soal-soal Olimpiade tahun-tahun sebelumnya, aku membuatkannya khusus untukmu. Kuharap, kau mau menerimanya."
Aku agak tercengang mendengarnya. Mataku berulang kali menatap buku itu dan wajah Yakushi-senpai yang sedang tersenyum kikuk. Tangannya menggeser buku itu semakin dekat denganku.
"Terimalah..."
"Ta—tapi senpai..."
"Ini akan lebih berguna bila kamu yang menggunakannya, kan kamu yang akan mewakili sekolah bulan depan di OSN."
"Te—terima kasih, senpai."
"Sama-sama." balasnya singkat, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada slide di depan kelas bimbingan ini.
Sejujurnya, aku masih agak canggung dengan Yakushi-senpai. Sejak dia mengirimiku surat waktu itu, perlakuannya mulai berbeda terhadapku. Sapaan-sapaan kikuknya, perhatian-perhatian kecilnya membuatku merasa bingung bagaimana aku harus menanggapinya.
Selama satu jam kami menghabiskan waktu untuk mengerjakan soal-soal yang ada di slide Iruka-sensei. Sesekali Yakushi-senpai membantuku dalam mengerjakan soal-soal itu, diselingi gurauan-gurauannya yang membuatku tertawa. Mengajariku cara-cara cepat untuk mengerjakan soal-soal yang ada di hadapanku.
"Jadi, sekarang kamu udah bisa kan membedakan susunan DNA saat terjadi mutasi?" tanyanya padaku.
"I—iya, senpai—" perkataanku terpotong. Keriuhan di luar kelas bimbinganku sedikit mengalihkan perhatianku, membuatku dan beberapa teman yang juga mengikuti bimbingan olimpiade ini menoleh ke luar jendela, ke arah lapangan volly. Ada beberapa gerombolan yang berdiri menonton pertandingan volly itu.
"Oh, lagi tanding kayaknya." ujar salah seorang di belakangku.
"Sama SMA dua ya?"
"Kayaknya..."
Tapi bukan pertandingan itu yang menjadi fokus perhatianku. Melainkan pada dua remaja yang berada di pinggir lapangan, sibuk sendiri. Kamu yang mengajari gadis berambut pirang itu memukul bola. Betapa dekatnya kalian berdiri, betapa akrabnya kalian tertawa, dan tanganmu yang memegang lengannya...
Rasanya sesak, Naru-kun...
"Hinata, ada apa?" tanya Yakushi- senpai, mengelus pundakku.
Aku menggeleng lemah, rasanya begitu sulit berbicara ketika ada gumpalan yang dipaksa masuk ke dalam kerongkonganku.
"Aa... apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"
"Tid—tidak kok, se... senpai." balasku cepat-cepat menunduk, berharap agar cekat dalam suaraku tidak terlalu kentara.
Selanjutnya, aku hanya membungkam mulutku selama Yakushi-senpai menjelaskan jawaban-jawaban soal olimpiade itu.
~0O0~
Aku baru saja keluar dari ruang guru, Iruka-sensei tadi memanggilku untuk membahas jam-jam tambahan yang akan diberikan kepada kami untuk persiapan olimpiade yang tinggal menghitung hari lagi. Karena belum sempat makan siang, aku menyempatkan diri untuk membeli sesuatu di kantin. Teras-teras kelas yang kuleati pun sudah terlihat sepi, maklum bel masuk sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu.
Dan saat aku yang semakin dekat ke arah kantin, tanpa sengaja mataku mendapati bayanganmu. Membuatku membeku di tempat. Kamu yang duduk di sana, begitu akrab. Wajah yang begitu dekat. Saling berbisik dan tertawa. Dan ada detik-detik yang berjalan lambat, ketika ia yang kamu bisiki itu menggenggam tanganmu erat. Aku bahkan tidak pernah terlihat seakrab itu denganmu.
Lagi, dan lagi. kenapa aku harus terus menerus melihatmu bersama orang lain?
Untuk yang kesekian kalinya, pedih ini datang. Membuatku ngilu, hatiku mencelos kecewa. Mengapa mencintaimu begitu menyakitkan?
Aku menjauh secepat mungkin, sebelum kau sempat melihatku, mengabaikan panas di mataku. Aku tak bisa menjamin bila kamu mendapatiku seperti ini, aku tak akan membocorkan perasaanku yang sesungguhnya padamu.
Aku menjauh, terus menjauh tanpa memperhatikan lagi apa yang kulewati. Menunduk, berjalan cepat agar tak ada satu orang pun yang melihatku begini. Agar tak ada satu orang pun yang tahu perih yang mulai menyiksaku.
Cepat-cepat kupacu langkahku dan berbelok menuju ruang kelasku. Dan entah bagaimana, aku tak memperhatikan jalan di depanku. Seketika, tanpa sempat mengelak lagi aku menabrak seseorang yang berpapasan denganku.
"Aduh!"
"Hi—Hinata-san, maaf... maaf, aku tidak sengaja menabrakmu tadi." Aku menggumam pelan sebelum mengangkat kepalaku, kulihat Yakushi-senpai memberikan tangannya untuk membantuku berdiri.
Tapi pertolongan itu hanya menggantung di udara, potongan-potongan perih yang kulihat beberapa menit yang lalu mengalahkan nyeri di sikuku. Mengapa ini selalu menjadikanku pihak yang kalah dan memaksaku menelan getir?
"Hinata-san?" wajah khawatir pemuda berkacamata di depanku mengabur, air mataku menjadi pelarian atas rasa sakit karena luka tak kasat mata ini. "Kau terluka? Aapa aku menyakitimu?
Aku menggeleng. Tidak ada yang tahu.
Hangat kurasakan ketika sebuah lengan merengkuh bahuku. membiarkanku sesenggukan dalam diam.
"Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini, tapi jika bisa menenangkanmu, maka menangislah."
Untuk pertama kalinya, ada orang yang memintaku membagi luka.
~0O0~
Selama beberapa saat, kita hanya saling memandangi. Aku hanya berdiri mematung, tidak jauh dari gerbang tempatmu bersandar. Entah apa yang ada di dalam kepala pirangmu itu, kau tak tersenyum, hanya memandangiku dingin. Ramainya keadaan di depan gerbang tak membuatmu terusik, santai, kau berjalan ke arahku. Meraih tanganku. Lalu dalam sunyi kita berjalan beriringan.
Luka itu masih ada, menganga lebar di dalam rongga dadaku dan kau seolah tak menyadarinya. Apakah kau tak benar-benar tahu? Segampang itu kah kamu datang, menggenggam tanganku, sesantai ini berjalan di sampingku. Diam.
Dan bodohnya aku yang yang cuma bisa diam, menyeret-nyeret langkah di belakangmu. Tertarik oleh tautan jemarimu yang begitu erat. Tanpa ada rasa ingin melepaskan.
Masokis. Senang menyiksa diri sendiri. Itu aku.
"Hime," panggilmu. Aku bungkam menunggu kata-katamu keluar. Tapi kamu pun tak melanjutkan apa yang kutunggu, merasa enggan dengan apa yang ingin kamu katakan kepadaku.
Kita melewati beberapa meter, hanya dengung suara serangga musim panas, bising kendaraan di jalan besar yang jauh di belakang kita yang mengisi udara. Sesekali gengamanmu mengerat, sedikit menyeretku ke tepi ketika ada sepeda yang menyalip trotoar tempat kita berjalan.
"Sumpah! Aku sudah nggak tahan lagi!" serumu tiba-tiba berhenti, dan berbalik kepadaku.
"Ke... Kenapa?" tanyaku, bingung.
"Kamu kenapa sih?"
"Apanya?"
"Dari tadi diam terus!"
"Biasanya aku juga diam kan?"
"Tapi bukan kayak gini!" gerutumu frustasi, sebelah tanganmu masih menahan jemariku sementara yang satunya semakin mengacak-acak rambut jabrik pirangmu. "Dan please, jangan kasih tatapan begitu ke aku."
"Ta... tatapan yang kayak bagaimana?" tanyaku heran.
Kamu sedikit membungkuk, kedua tanganmu berpindah ke bahuku, "Aku salah apa sama kamu?" tanyamu, tidak nyambung dan tidak menjawab pertanyaanku yang sebelumnya. Tanya yang membuatku bungkam dan ingin menghilang dari hadapanmu. Dari matamu.
Banyak, kataku dalam hati. "Naru-kun nggak salah apa-apa kok, memangnya ada apa?" dan itu yang berhasil keluar dari bibirku.
Kamu mendengus, menunduk memandangi sepatu kita yang saling berhadapan. "Akhir-akhir ini, kayaknya Hime menghindariku."
"Aku nggak menghindari Naru-kun, tapi karena memang aku sibuk sama olimpiade, sama kayak Naru-kun yang sibuk sama latihan volly." Dan Shion, tambahku dalam hati.
"Tapi nggak kayak yang kemarin-kemarin juga kali. Kamu nggak nunggu aku lagi kalau pulang, pas lagi bimbingan juga begitu. SMS aku jarang dibalas, ke kantin kita udah jarang barengan. Dicari di perpus juga nggak ada. Kenapa?"
"Ngg.... nggak ada apa-apa."
"Aku ada salah?"
"Nggak ada."
"Beneran?"
"Bener."
"Suer?"
"Suer."
Tatapanmu semakin tajam. Sialnya, kau seakan tahu aku berbohong. "Hime nggak bohong kan?" kali ini, aku mendapati pengharapan dalam suaramu.
Aku mengangguk, kamu menghela napas lega. Lalu memelukku. Erat dan sesak.Sesak, karena aku tahu ini hanya pelukan antarsahabat. Kamu merengek. "Aku kira Hime-jelek marah sama aku."
"Tapi ternyata nggak kan?" kataku, menetralisir rasa bahagia karena hangat pelukmu. Cepat-cepat kutampik, dan menyadarkan diri apda realita bahwa pelukan ini tidak punya rasa yang lebih, rasa yang lain.
Kamu mengangguk di bahuku, melepaskan pelukanmu—yang membuatku melengos lega sekaligus kecewa. Kudapati senyum ceria hadir kembali menggantikan dingin yang tadi sempat ada. Kamu menjawil pipiku, "untung kamu nggak marah."
"Iyaa! Tapi ber... berhenti menarik pipiku, Naru-kun!"
"Nggak mau! Weeek!" katamu menjulurkan lidah, kemudian tersenyum jahil. Dan tanganmu beralih mengacak-acak rambutku.
"Naru-kun! Rambutku jadi rusak!" tukas sembari menampik tanganmu. Lalu merapikan rambutku. "Nyebelin ih!"
"Uuuuu... si Nenek jelek marah..."
"Pengganggu." gerutuku.
"Tapi kamu suka kan?" godamu. Lenganmu kau kalungkan di pundakku, kembali berjalan. Lega rasanya memiliki menit-menit akrab ini denganmu setelah apa yang terjadi di antara kita selama beberapa hari ini.
"Hime..."
"Hm?"
Ada sedikit jeda sebelum kau menyahut. Kamu berkata-kata seperti anak yang sedang mengeja. "Mmmm... menurutmu... cewek itu... biasanya... suka sesuatu... yang kayak gimana sih?"
Ada denyut asing di hatiku. "Biasanya sih, kejutan-kejutan kecil, hal-hal yang manis, kayak bunga, coklat, dan perhatian-perhatian kecil. Ya... seperti itulah.
"Gitu ya?" sebelah alismu terangkat, dengan raut wajahmu yang bingung.
"Memangnya kenapa? Mau ngasih sesuatu ya ke seseorang?"
Aku menangkap merah di wajahmu. Tanganmu naik menyeka hidungmu yang kembang-kempis, berpindah menyeka tengkuk, sementara matamu menghindari wajahku. Sontak postur tubuhmu menjadi kaku, gemetar, kikuk, gugup. Tanpa perlu mendengar ucapanmu, aku sudah tahu tebakanku benar. Gerak tubuhmu mengatakan semuanya. Kamu benar-benar sedang jatuh cinta.
"Jadi... kayak gitu ya?" tanyamu retoris, sambil nyengir kesenangan.
Aku melempar senyum kepadamu. Menyembunyikan mendung yang sempat hadir di wajahku.
"Thanks, Hime. You're the best of the best of my girl!" Katamu bangga dengan wajah yang kesulitan menyembunyikan senyum bahagia, memeluk pundakku.
Kamu ada di sampingku. Beriringan bersamaku. Tapi jauh. Jarak yang tak kasat mata membatasi hati kita, meski raga kita berdampingan.
Aku pun menjadi akrab dengan rasa yang tadi asing.
Patah hati. Lagi, dan lagi.
~0O0~
Sekarang, aku jadi tahu. kalau kamu suka sama aku. Kelihatan kok, dari cemburu di matamu...
wew... Nice! :D
ReplyDeleteWaaahhh... Ceritamu kayak sinet indo deh Darl.
ReplyDeleteBikin greget ih...
Itu kalimat yg terakhir itu kalimatnya Naruto kan???
@Kakanda Dani : Weeewww... makasihhh XDDD
ReplyDelete@Teteh Na : Wakakakak, tinggal tunggu saja ada produser yang mau men-sinetron-kan cerita ini. Xixixixi...
Hmmm, siapa ya pemilik kalimat terakhir itu kira-kira? siapa yaaa?