Melepas Cinta

Friday, April 5, 2013

Hola haiiiii!!
I come back again with my new short love story.
Hihihi, ini tuh tugas dari salah satu forum menulis yang aku ikuti, yaitu Forum Lingkar Pena (FLP) ranting UNM. Nah pada saat mengikuti 'karantina', kami para kader ini di suruh buat bikin cerpen, essay, opini dan puisi. Nah, this is my short story.
Hope you enjoy this!
***
here

Melepas Cinta
"Bila di dalam hubungan ini hanya aku yang merasa cinta, aku rela melepasmu. Aku tak akan menahan hati seseorang yang sudah tidak mencintaiku lagi."
***
Sayup-sayup lagu klasik bernada sendu mengalun di dalam kedai kopi itu. Aroma pekat kopi menguasai udara, suara-suara seduhan kopi, gemerisik-redam suara penggiling kopi meningkahi suasana kedai yang sepi. Hanya ada seorang wanita yang sedang sibuk dengan gadget-nya, dua lelaki awal duapuluhan yang tampaknya baru saja pulang kantor, sepasang remaja yang sedang asyik saling menatap satu sama lain di sudut kafe, dengan tangan yang saling menggenggam. Ah romansa masa muda, makanya masih dikelilingi aura merah muda. Belum ada birunya curiga yang memercaki, belum ada hitamnya patah hati yang menodai.
Tidak seperti dia, wanita berbaju merah yang duduk di sudut yang bersebrangan dengan sepasang muda-mudi tadi. Kepalanya bolak-balik mengecek jam tangan dan mendonggak menatap kaca jendela, berharap agar seseorang yang ia tunggu akan datang. Dihelanya napas panjang, untuk kali kesekian dia telah menunggu seseorang sebegitu gelisahnya.
Memorinya kembali memutar kejadian seminggu yang lalu.
***
Waktu itu dia sedang melihat foto-foto liburan mereka berdua di handphone kekasihnya. Ia tengah mengagumi keindahan panorama pantai yang saat itu menjadi latar belakang foto mereka berdua kala sebuah pesan singkat masuk ke dalam handphone kekasihnya. Tanpa nama. Dia yang biasanya begitu menghargai privasi orang lain, entah mengapa begitu tertarik untuk melihat isi pesan singkat itu. Padahal biasanya, ia cuek saja kalau ada pesan yang masuk ke dalam handphone kekasihnya itu.
'Say, Aku kangen banget sama kamu. Janji nonton berdua malam ini jadikan? Love you :*'
Keningnya berkerut membaca pesan singkat bernada mesra itu, seketika perasaan was-was muncul di hatinya. Pikirannya mulai membuat spekulasi-spekulasi, mengira-ngira apa saja yang di lakukan oleh kekasihnya itu di belakangnya.
Apa dia selingkuh?
Memang akhir-akhir ini hubungan dengan kekasihnya seolah-olah berjarak, kesibukan di antara keduanya menelan wakttu kebersamaan mereka. Dulu mereka lebih seirng bertemu dan melewatkan waktu bersama-sama, terkadang ada pesan singkat dan telepon yang menggantikan bila mereka benar-benar tidak bisa bertemu. Namun sekarang, jangankan bertemu, telepon pun jarang.  Dulu, ia sempat berpikir bahwa kekasihnya telah memiliki sosok pengganti dirinya. Tapi ia berpikir bahwa itu hanyalah sugesti tak berdasar.
Dan kini pesan itu ada. Pesan bernada mesra itu datang membenarkan perkiraannya.
Benarkah ada orang lain?
"Kamu kenapa?" pertanyaan itu mengagetkannya. Kekasihnya kini sedang menatapnya dengan pandangan bingung.
"Kamu selingkuh?" tahu-tahu pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya, Sarat akan curiga.
"Maksud kamu apa?” lelaki itu mengeryitkan keningnya, lalu matanya beralih pada handphone yang sedang digenggam oleh wanita itu. "Kamu baca-baca inbox aku?!"
Perempuan itu menggeleng, "kamu jawab saja pertanyaan aku, apa ada perempuan lain??"
"Kenapa kamu malah menuduh aku seperti itu?!" Lelaki merampas hanphone yang ada di tangan kekasihnya,. Melihat apa yang membuat wanita itu menuduhnya selingkuh.
"Dian, kamu percaya dengan sms-sms seperti ini?" lelaki itu mendengus, tangannya gemetaran menunjukkan layar ponselnya ke wajah wanita yang bernama Dian itu. Cepat ia menghapus pesan singkat itu.
Dian hanya diam. Matanya berkaca-kaca menatap lelaki yang ada di hadapannya itu.
"Dian, please. Ini tuh cuma sms salah nomor., tidak perlu kamu anggap serius!" serunya, menegaskan.
"Aku tidak tanya itu sms dari mana, aku tanya kamu selingkuh atau tidak."
""Dian, Satu-satunya wanita yang aku sayang itu cumu kamu. Hanya kamu."
"Benar, tidak ada yang lain?"
"Iya!"
"Lalu sms itu?"
"Astaga, Dian! Kenapa kamu malah mempermasalahkan sms itu?" lelaki itu mulai kesal dengan sikap Dian. "Kenapa kamu selalu mempermasalahkan masalah yang sepele?"
"Tapi--"
"Tapi apa lagi?" rasa tertuduh dan tersudut mulai membuatnya marah. "Dian, aku capek seharian berurusan dengan orang-orang di kantor. Kamu tidak perlu menambah masalah aku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seprerti itu. Jujur aja, cara kamu meragukan perasaanku membuatku tersinggung."
"Rian, aku nggak bermaksud seperti itu."
"Lantas apa? Cuma gara-gara hal yang seperti ini kamu sampai tanya-tanya aku seperti itu."
"Rian, ku minta maaf..."
"Sudah! Aku capek, dan aku lagi nggak mood buat berdebat sama kamu!"
"Ri--"
Perkataan Dian terputus, matanya meredup sedih ketika kekasihnya itu malah berbalik meninggalkannya sendirian di ruangan itu.
***
Getaran tiba-tiba di handphonnya membuatnya tersadar.
'Sudah di parkiran. Sorry, aku membuat kamu menunggu.'
Sebuah pesan singkat. Cuma sebaris namun bisa membuat perasaannya membaik. cepat-cepat ia menegakkan duduknya, menyisiri rambutnya dengan tangan, dan memperhatikan kembali wajahnya dari pantulan kaca jendela. Senyum khawatir itu sirna, berganti dengan senyuman ceria kala manik matanya mendapati seseorang yang ia tunggu sedang berjalan ke arahnya.
"Maaf banget, aku telat. Tadi jalanan macet parah." kata Rian sembari menarik kursi yang ada di depannya.
"Tidak apa-apa kok, aku juga baru tiba lima belas menit yang lalu."
Bohong. Cangkir porselen yang menyisakan ampas kopi di depannya berbicara lebih jujur mengenai lamanya wanita berambut panjang itu duduk di sini. Namun saat ini, berbohong lebuh baik daripada memulai berdebat tentang waktu.
"Bagaimana kerjaan kamu? Baik-baik saja kan?" tanya Dian.
Sebuah pertanyaan yang kaku untuk ditanyakan pada lelaki yang selama dua tahun ini telah menjadi kekasihnya. Namun untuk saat ini, hal itu lebih baik dari pada harus memulai dengan pertanyaan bernada curiga dan khawatir. Tidak setelah pertengkaran hebat mereka minggu lalu. Saat ini, ia sedang berusaha untuk berbaikan dengan egonya. Membuat janji bertemu lebih dulu, sebagai bentuk awal permintaan maaf karena dulu pernah begitu curiga dan cemburu pada pesan singkat bernada mesra dan merayu dari seseorang yang tanpa nama di handphone kekasihnya.
Lelaki di depannya mengangkat bahu, "lumayan. Nggak baik dan nggak begitu buruk juga. Tapi aku tidak akan cerita masalah pekerjaan sama kamu. Kamu tidak mungkin mau mendengar bursa saham, fluktuasi, keluar dari mulut aku." katanya santai.
"Tidak apa-apa kok, sekali-sekali aku juga ingin tahu bagaimana pekerjaan kamu."
Rian tersenyum, tangannya meraih jemari lentik wanita itu dan menautkannya di antara jemarinya.
"Dian, aku tahu kamu merasa bersalah karena pertengkaran kita waktu itu, namun kamu tidak perlu sekaku ini. Santai saja, aku juga tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Just let it go, right?"
Wanita yang di panggil Dian itu mengangguk, meski rasa bersalah itu tetap ada dalam hatinya. Terlebih lagi rasa curiga itu masih ada.
Tiba-tiba, handphone Rian berbunyi. Menandakan ada sms masuk. Dian tiba-tiba saja menegang, matanya menatap takut-takut pada Rian. Handphone itu seolah menjadi trauma baginya. Ia belum pernah bertengkar dengan Rian.
"Dian, ini cuma sms dari kantor, dari pak  Doni. Bos Aku. Lihat deh," katanya sembari menunjukkan layar Handphonnya. Di kolon sender tertulis nama 'Bos-Pak Doni'. "Jadi jangan pasang wajah tegang seperti itu, oke? Aku ingin kamu tidak lagi memikirkan masalah tempo hari, aku sudah memaafkanmu."
Dian mengangguk, berusaha menentramkan hatinya. Benar perkataan Rian, ia tidak perlu lagi memikirkan masalah-masalah itu.Rian sudah memaafkannya, dan itulah yang terpenting. Dalam hatinya, ia sudah berjanji untuk tidak lagi merasa curiga pada Rian.Ia akan sepenuhnya percaya pada kekasihnya itu.
"Aishhh!"
"Kenapa?" tanya Dian, yang heran melihat Rian yang langsung gelisah.
"Ada data yang belum kukirim ke Pak Doni. Aku balik ke mobil dulu ya, ambil laptop." buru-buru Rian beranjak dari kursinya.
Dian tersenyum memaklumi. Pelupa memang sudah menjadi ciri khas Rian. Handphone Rian yang lagi-lagi tergeletak begitu saja di atas meja, mengkonfirmasi sifat Rian yang memang pelupa.
Getaran merambati lengan Dian yang ada di atas meja. Handphone Rian yang tertinggal berkedip-kedip, menandakan ada satu panggilan masuk. Dian menatap lamat-lamat benda pipih berwarna hitam itu. Kali terakhir dia memegang benda itu, menimbulkan pertengkaran di antara dirinya dna Rian. Dan kini handphone itu berbunyi, seakan menantang dirinya.
Pelan-pelan, Dian melirik ke layar handphone Rian. Matanya membelalak kaget ketika melihat nama 'Ratih', sahabatnya menjadi caller id.
Hal apa yang membuat sahabatnya itu menelpon ke Rian?
Dian berpikir telepon itu mungkin merupakan tekepon yang penting karena deringannya yang tidak berhenti. Tanpa berpikir jauh lagi, toh yang menelpon ini Ratih yang nota benenya juga akrab dengan Rian, maka dia pun mengangkat telepon itu.
"Sayaaang!!" Kata pertama yang diucapkan sahabatnya membuatnya terkejut. Jantungnya berdegub dengan keras. "Rian, makasih banget ya buat kado yang kamu kasih. Aku suka banget! Kamu tahu aja kalau aku suka warna merah. Thanks ya, honey."
"Loh, halo? Rian, are you there?"
Dian hanya diam. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru ia dengar. Ratih? Sahabatnya berkata sayang dan terdengar begitu manja pada Rian. Otaknya bekerja dengan cepat mengolah kejadian yang baru saja terjadi. Ada fakta menyakitkan yang menampar dirinya, membuka matanya. Membuatnya mengingat kembali bahwa dulu, Rian pernah begitu tertarik bertanya tentang Ratih padanya, ada kala dimana Rian menatap Ratih dengan pandangan lama dan begitu sulit diartikan, ada satu dua waktu dimana Ratih begitu bersinar-sinar ketika mereka membicarakan Rian, ada saat-saat dimana  ketika mereka berkumpul bertiga, seolah-olah dia yang menjadi orang ketiga.
Semuanya menjadi jelas namun hatinya terus-menerus menolak. Matanya mengabur oleh air mata, rasa sakit di dalam rongga dadanya tidak tertahankan lagi.
Padahal kepada Ratih lah dia mencurahkan segala perasaanya tentang Rian. Ratih pula lah yang menyarankan padanya untuk meminta maaf terlebih dulu kepada Rian dan menyarankan untuk berbicara empat mata kepada kekasihnya. Tapi kenapa...
"Dian? Kamu kenapa?" Kehadiran Rian yang tengah menatapnya heran bagaikan de javu kejadian minggu lalu. Bedanya, kejadian minggu lalu adalah sebuah tuduhan tak berdasar, tak jelas dan kejadian hari ini adalah sebuah kenyataan, terbukti.
Telepon Ratih masih tersambung. Rian menatapnya dengan pandangan yang tak terdefinisi. Antara kaget, gugup dan nelangsa.
"Kenapa mesti Ratih?" suara Dian tercekat, tak bisa ditahan lagi, air mata itu mengalir turun.
"Di, aku bisa jelas—"
"Apa tidak ada perempuan lain? Kenapa seseorang yang ada di antara kita adalah sahabatku?"
"Dian, aku minta maaf." Rian berkata-kata dengan gugup. "Aku tidak bermaksud untuk menyakiti kamu."
Dian bangkit dari duduknya, di matanya kini Rian menjadi sosok yang berbeda. Seseorang yang dulu ia cintai, dan kini menjadi orang yang paling ia benci.
"Kalau memang sudah ada yang ketiga, tidak apa-apa. Biar aku yang berhenti menjadi yang pertama." suara Dian tercekat, tangannya naik menghapus air mata yang mengalir. Wujud fisik dari perasaannya yang terluka, yang terkhianati.
"Semoga kamu bahagia dengan Ratih."
Dian beranjak pergi.Berusaha untuk melindungi hatinya yang telah rusak. Hati yang telah diracuni oleh dua orang yang paling ia sayangi.
***
Makasih, makasih yang iya-iya banget udah mau baca cerpen ini sampai habis. Ini cerpennya cerpen kilat! Deadline-nya jam 12 siang hari ini. Dan aku baru mulai kerja cerpen ini kemarin malam, tapi berhenti seperempat jalan gegara ngantuk, lanjut jam lima subuh terus berhenti lagi jam tujuh gegara harus berangkat kuliah #duh. Terus lanjut lagi selama kuliah berlangsung dan cerpens elesai puas jam sebelas. Huaaah!!! Mendekati deadline.
Ada banget ya gue, jadi deadline killer. Hihihi :D
Sampai jumpa di karya yang selanjutnya!

2 comments:

  1. kembangkan..#jadi beneran mau berguru!:D

    ReplyDelete
  2. hahahaha...
    tunggu cerita baruku nanti! xixixi

    berguru apoyyy, masih newbie aku ini sister

    ReplyDelete

Kalau menurutmu, bagaimana?