Hola haiiiii!!
I come back again with my new short love story.
Hihihi, ini tuh tugas dari salah satu forum menulis yang aku ikuti, yaitu Forum Lingkar Pena (FLP) ranting UNM. Nah pada saat mengikuti 'karantina', kami para kader ini di suruh buat bikin cerpen, essay, opini dan puisi. Nah, this is my short story.
Hope you enjoy this!
"Bila di dalam hubungan ini
hanya aku yang merasa cinta, aku rela melepasmu. Aku tak akan menahan hati
seseorang yang sudah tidak mencintaiku lagi."
***
Sayup-sayup
lagu klasik bernada sendu mengalun di dalam kedai kopi itu. Aroma pekat kopi
menguasai udara, suara-suara seduhan kopi, gemerisik-redam suara penggiling
kopi meningkahi suasana kedai yang sepi. Hanya ada seorang wanita yang sedang
sibuk dengan gadget-nya, dua lelaki awal duapuluhan yang tampaknya baru saja
pulang kantor, sepasang remaja yang sedang asyik saling menatap satu sama lain
di sudut kafe, dengan tangan yang saling menggenggam. Ah romansa masa muda,
makanya masih dikelilingi aura merah muda. Belum ada birunya curiga yang
memercaki, belum ada hitamnya patah hati yang menodai.
Tidak
seperti dia, wanita berbaju merah yang duduk di sudut yang bersebrangan dengan
sepasang muda-mudi tadi. Kepalanya bolak-balik mengecek jam tangan dan
mendonggak menatap kaca jendela, berharap agar seseorang yang ia tunggu akan
datang. Dihelanya napas panjang, untuk kali kesekian dia telah menunggu
seseorang sebegitu gelisahnya.
Memorinya
kembali memutar kejadian seminggu yang lalu.
***
Waktu
itu dia sedang melihat foto-foto liburan mereka berdua di handphone kekasihnya.
Ia tengah mengagumi keindahan panorama pantai yang saat itu menjadi latar
belakang foto mereka berdua kala sebuah pesan singkat masuk ke dalam handphone
kekasihnya. Tanpa nama. Dia yang biasanya begitu menghargai privasi orang lain,
entah mengapa begitu tertarik untuk melihat isi pesan singkat itu. Padahal
biasanya, ia cuek saja kalau ada pesan yang masuk ke dalam handphone kekasihnya
itu.
'Say, Aku kangen banget sama kamu. Janji nonton berdua malam ini jadikan? Love you :*'
Keningnya
berkerut membaca pesan singkat bernada mesra itu, seketika perasaan was-was
muncul di hatinya. Pikirannya mulai membuat spekulasi-spekulasi, mengira-ngira
apa saja yang di lakukan oleh kekasihnya itu di belakangnya.
Apa
dia selingkuh?
Memang akhir-akhir ini
hubungan dengan kekasihnya seolah-olah berjarak, kesibukan di antara keduanya
menelan wakttu kebersamaan mereka. Dulu mereka lebih seirng bertemu dan
melewatkan waktu bersama-sama, terkadang ada pesan singkat dan telepon yang
menggantikan bila mereka benar-benar tidak bisa bertemu. Namun sekarang,
jangankan bertemu, telepon pun jarang.
Dulu, ia sempat berpikir bahwa kekasihnya telah memiliki sosok pengganti
dirinya. Tapi ia berpikir bahwa itu hanyalah sugesti tak berdasar.
Dan kini pesan itu ada.
Pesan bernada mesra itu datang membenarkan perkiraannya.
Benarkah ada orang
lain?
"Kamu
kenapa?" pertanyaan itu mengagetkannya. Kekasihnya kini sedang menatapnya
dengan pandangan bingung.
"Kamu
selingkuh?" tahu-tahu pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirnya,
Sarat akan curiga.
"Maksud kamu apa?”
lelaki itu mengeryitkan keningnya, lalu matanya beralih pada handphone yang
sedang digenggam oleh wanita itu. "Kamu baca-baca inbox aku?!"
Perempuan itu
menggeleng, "kamu jawab saja pertanyaan aku, apa ada perempuan
lain??"
"Kenapa kamu malah
menuduh aku seperti itu?!" Lelaki merampas hanphone yang ada di tangan
kekasihnya,. Melihat apa yang membuat wanita itu menuduhnya selingkuh.
"Dian, kamu
percaya dengan sms-sms seperti ini?" lelaki itu mendengus, tangannya
gemetaran menunjukkan layar ponselnya ke wajah wanita yang bernama Dian itu.
Cepat ia menghapus pesan singkat itu.
Dian hanya diam.
Matanya berkaca-kaca menatap lelaki yang ada di hadapannya itu.
"Dian, please. Ini
tuh cuma sms salah nomor., tidak perlu kamu anggap serius!" serunya,
menegaskan.
"Aku tidak tanya
itu sms dari mana, aku tanya kamu selingkuh atau tidak."
""Dian,
Satu-satunya wanita yang aku sayang itu cumu kamu. Hanya kamu."
"Benar, tidak ada
yang lain?"
"Iya!"
"Lalu sms
itu?"
"Astaga, Dian!
Kenapa kamu malah mempermasalahkan sms itu?" lelaki itu mulai kesal dengan
sikap Dian. "Kenapa kamu selalu mempermasalahkan masalah yang
sepele?"
"Tapi--"
"Tapi apa
lagi?" rasa tertuduh dan tersudut mulai membuatnya marah. "Dian, aku
capek seharian berurusan dengan orang-orang di kantor. Kamu tidak perlu
menambah masalah aku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol seprerti itu. Jujur
aja, cara kamu meragukan perasaanku membuatku tersinggung."
"Rian, aku nggak
bermaksud seperti itu."
"Lantas apa? Cuma
gara-gara hal yang seperti ini kamu sampai tanya-tanya aku seperti itu."
"Rian, ku minta
maaf..."
"Sudah! Aku capek,
dan aku lagi nggak mood buat berdebat sama kamu!"
"Ri--"
Perkataan
Dian terputus, matanya meredup sedih ketika kekasihnya itu malah berbalik
meninggalkannya sendirian di ruangan itu.
***
Getaran
tiba-tiba di handphonnya membuatnya tersadar.
'Sudah di parkiran. Sorry, aku membuat kamu menunggu.'
Sebuah
pesan singkat. Cuma sebaris namun bisa membuat perasaannya membaik. cepat-cepat
ia menegakkan duduknya, menyisiri rambutnya dengan tangan, dan memperhatikan
kembali wajahnya dari pantulan kaca jendela. Senyum khawatir itu sirna,
berganti dengan senyuman ceria kala manik matanya mendapati seseorang yang ia
tunggu sedang berjalan ke arahnya.
"Maaf
banget, aku telat. Tadi jalanan macet parah." kata Rian sembari menarik
kursi yang ada di depannya.
"Tidak
apa-apa kok, aku juga baru tiba lima belas menit yang lalu."
Bohong.
Cangkir porselen yang menyisakan ampas kopi di depannya berbicara lebih jujur
mengenai lamanya wanita berambut panjang itu duduk di sini. Namun saat ini,
berbohong lebuh baik daripada memulai berdebat tentang waktu.
"Bagaimana
kerjaan kamu? Baik-baik saja kan?" tanya Dian.
Sebuah
pertanyaan yang kaku untuk ditanyakan pada lelaki yang selama dua tahun ini
telah menjadi kekasihnya. Namun untuk saat ini, hal itu lebih baik dari pada
harus memulai dengan pertanyaan bernada curiga dan khawatir. Tidak setelah
pertengkaran hebat mereka minggu lalu. Saat ini, ia sedang berusaha untuk
berbaikan dengan egonya. Membuat janji bertemu lebih dulu, sebagai bentuk awal
permintaan maaf karena dulu pernah begitu curiga dan cemburu pada pesan singkat
bernada mesra dan merayu dari seseorang yang tanpa nama di handphone
kekasihnya.
Lelaki
di depannya mengangkat bahu, "lumayan. Nggak baik dan nggak begitu buruk
juga. Tapi aku tidak akan cerita masalah pekerjaan sama kamu. Kamu tidak
mungkin mau mendengar bursa saham, fluktuasi, keluar dari mulut aku."
katanya santai.
"Tidak
apa-apa kok, sekali-sekali aku juga ingin tahu bagaimana pekerjaan kamu."
Rian
tersenyum, tangannya meraih jemari lentik wanita itu dan menautkannya di antara
jemarinya.
"Dian,
aku tahu kamu merasa bersalah karena pertengkaran kita waktu itu, namun kamu
tidak perlu sekaku ini. Santai saja, aku juga tidak mempermasalahkan hal itu
lagi. Just let it go, right?"
Wanita
yang di panggil Dian itu mengangguk, meski rasa bersalah itu tetap ada dalam
hatinya. Terlebih lagi rasa curiga itu masih ada.
Tiba-tiba,
handphone Rian berbunyi. Menandakan ada sms masuk. Dian tiba-tiba saja menegang,
matanya menatap takut-takut pada Rian. Handphone itu seolah menjadi trauma
baginya. Ia belum pernah bertengkar dengan Rian.
"Dian,
ini cuma sms dari kantor, dari pak Doni.
Bos Aku. Lihat deh," katanya sembari menunjukkan layar Handphonnya. Di kolon
sender tertulis nama 'Bos-Pak Doni'. "Jadi jangan pasang wajah tegang
seperti itu, oke? Aku ingin kamu tidak lagi memikirkan masalah tempo hari, aku
sudah memaafkanmu."
Dian
mengangguk, berusaha menentramkan hatinya. Benar perkataan Rian, ia tidak perlu
lagi memikirkan masalah-masalah itu.Rian sudah memaafkannya, dan itulah yang
terpenting. Dalam hatinya, ia sudah berjanji untuk tidak lagi merasa curiga
pada Rian.Ia akan sepenuhnya percaya pada kekasihnya itu.
"Aishhh!"
"Kenapa?"
tanya Dian, yang heran melihat Rian yang langsung gelisah.
"Ada
data yang belum kukirim ke Pak Doni. Aku balik ke mobil dulu ya, ambil
laptop." buru-buru Rian beranjak dari kursinya.
Dian
tersenyum memaklumi. Pelupa memang sudah menjadi ciri khas Rian. Handphone Rian
yang lagi-lagi tergeletak begitu saja di atas meja, mengkonfirmasi sifat Rian
yang memang pelupa.
Getaran
merambati lengan Dian yang ada di atas meja. Handphone Rian yang tertinggal
berkedip-kedip, menandakan ada satu panggilan masuk. Dian menatap lamat-lamat
benda pipih berwarna hitam itu. Kali terakhir dia memegang benda itu,
menimbulkan pertengkaran di antara dirinya dna Rian. Dan kini handphone itu
berbunyi, seakan menantang dirinya.
Pelan-pelan,
Dian melirik ke layar handphone Rian. Matanya membelalak kaget ketika melihat
nama 'Ratih', sahabatnya menjadi caller
id.
Hal
apa yang membuat sahabatnya itu menelpon ke Rian?
Dian
berpikir telepon itu mungkin merupakan tekepon yang penting karena deringannya
yang tidak berhenti. Tanpa berpikir jauh lagi, toh yang menelpon ini Ratih yang
nota benenya juga akrab dengan Rian, maka dia pun mengangkat telepon itu.
"Sayaaang!!"
Kata pertama yang diucapkan sahabatnya membuatnya terkejut. Jantungnya berdegub
dengan keras. "Rian, makasih banget ya buat kado yang kamu kasih. Aku suka
banget! Kamu tahu aja kalau aku suka warna merah. Thanks ya, honey."
"Loh,
halo? Rian, are you there?"
Dian
hanya diam. Otaknya berusaha mencerna apa yang baru ia dengar. Ratih?
Sahabatnya berkata sayang dan terdengar begitu manja pada Rian. Otaknya bekerja
dengan cepat mengolah kejadian yang baru saja terjadi. Ada fakta menyakitkan
yang menampar dirinya, membuka matanya. Membuatnya mengingat kembali bahwa
dulu, Rian pernah begitu tertarik bertanya tentang Ratih padanya, ada kala
dimana Rian menatap Ratih dengan pandangan lama dan begitu sulit diartikan, ada
satu dua waktu dimana Ratih begitu bersinar-sinar ketika mereka membicarakan
Rian, ada saat-saat dimana ketika mereka
berkumpul bertiga, seolah-olah dia yang menjadi orang ketiga.
Semuanya
menjadi jelas namun hatinya terus-menerus menolak. Matanya mengabur oleh air
mata, rasa sakit di dalam rongga dadanya tidak tertahankan lagi.
Padahal
kepada Ratih lah dia mencurahkan segala perasaanya tentang Rian. Ratih pula lah
yang menyarankan padanya untuk meminta maaf terlebih dulu kepada Rian dan
menyarankan untuk berbicara empat mata kepada kekasihnya. Tapi kenapa...
"Dian?
Kamu kenapa?" Kehadiran Rian yang tengah menatapnya heran bagaikan de javu kejadian minggu lalu. Bedanya,
kejadian minggu lalu adalah sebuah tuduhan tak berdasar, tak jelas dan kejadian
hari ini adalah sebuah kenyataan, terbukti.
Telepon
Ratih masih tersambung. Rian menatapnya dengan pandangan yang tak terdefinisi.
Antara kaget, gugup dan nelangsa.
"Kenapa
mesti Ratih?" suara Dian tercekat, tak bisa ditahan lagi, air mata itu
mengalir turun.
"Di,
aku bisa jelas—"
"Apa
tidak ada perempuan lain? Kenapa seseorang yang ada di antara kita adalah
sahabatku?"
"Dian,
aku minta maaf." Rian berkata-kata dengan gugup. "Aku tidak bermaksud
untuk menyakiti kamu."
Dian
bangkit dari duduknya, di matanya kini Rian menjadi sosok yang berbeda.
Seseorang yang dulu ia cintai, dan kini menjadi orang yang paling ia benci.
"Kalau
memang sudah ada yang ketiga, tidak apa-apa. Biar aku yang berhenti menjadi
yang pertama." suara Dian tercekat, tangannya naik menghapus air mata yang
mengalir. Wujud fisik dari perasaannya yang terluka, yang terkhianati.
"Semoga
kamu bahagia dengan Ratih."
Dian
beranjak pergi.Berusaha untuk melindungi hatinya yang telah rusak. Hati yang
telah diracuni oleh dua orang yang paling ia sayangi.
***
Makasih, makasih yang iya-iya banget udah mau baca cerpen ini sampai habis. Ini cerpennya cerpen kilat! Deadline-nya jam 12 siang hari ini. Dan aku baru mulai kerja cerpen ini kemarin malam, tapi berhenti seperempat jalan gegara ngantuk, lanjut jam lima subuh terus berhenti lagi jam tujuh gegara harus berangkat kuliah #duh. Terus lanjut lagi selama kuliah berlangsung dan cerpens elesai puas jam sebelas. Huaaah!!! Mendekati deadline.
Ada banget ya gue, jadi deadline killer. Hihihi :D
Sampai jumpa di karya yang selanjutnya!
kembangkan..#jadi beneran mau berguru!:D
ReplyDeletehahahaha...
ReplyDeletetunggu cerita baruku nanti! xixixi
berguru apoyyy, masih newbie aku ini sister