Ngenye, Capek, dan Respek

Friday, April 26, 2013


Warning sebelum dibaca: ini tulisan dibuat dalam keadaan labil, jadi  maklumi saja apa bila ada yang aneh dalam tulisan ini.

Gue nggak bakalan buka postingan ini dengan awalan hari ini matahari bersinar cerah, karena gue nggak bangun pagi dan nggak ada waktu buat mandangin matahari. Yeah, seperti biasa hari ini dilewati dengan berbagai 'acara' yang jadwalnya jarang-jarang kayak gigi Nenek yang sudah ompong. Siang praktikum, sorenya Responsi. Well, lagi-lagi sisi kampret gue tergugah untuk nulis something like this, opini miring-subjektif dari cewek labil.
Tadi sore adalah jadwal responsi dadakan di kelas gue, untuk praktikum. Biasanya, kita-kita anak MIPA ini kalau mau praktikum, biasanya di adakan Respon dan Asistensi (Responsi) utuk menguji kesiapan kita saat akan melakukan praktikum nanti.Nah, untuk asistensi itu kita akan dibimbing dan 'diuji' oleh kakak Asisten (yang mendampingi saat praktikum).
Dan di sinilah, miskomunikasi, capek, ngenye, dan emosi berbaur menjadi satu masalah.
Pertama. Teman-teman gue tahunya hari ini tuh mau asistensi aja, nggak respon. Which mean, kita bakalan dikasih informasi dan dibimbing. Nggak ditanya-tanya.
Kedua. Pas di tempat asistensi, kakak asistennya bilang kalau bakalan ada respon juga.
Ngek.
It’s make the situation became chaos.
Mulai dah itu, yang nggak belajar buat respon, yang nggak siap, yang masih bau iler datang ke kampus buat asistensi pada ribut ala-ala lebah yang diganggu sarangnya. Mulai banyak yang protes, ini kok malah ada respon juga, padahal kan berdasarkan pemberitahuannya cuma asistensi doang.
Grasa-grusu. Bisik-bisik. Protes-protes. Include me, of course. Helllo, daku nggak belajar ini kenapa langsung ada infonya kalau respon?
Sang asisten mulai garuk-garuk kepala. Tampang masih cooling down.
Sabar-sabar-sabar.
Sang Asisten mulai menjelaskan, bilang kalau hari ini kelas gue bakalan direspon juga, gak cuma asistensi. Kakak Asisten sudah repot-repot menjelaskan, eh cuma sebagian orang aja yang dengar.
Sisanya? Grasa-grusu, pada ngomel-ngomel kecil ini kenapa jadi dadakan gitu responnya??!
And then, karena nggak siap direspon jadilah acara tawar-menawar ala  pasar ikan. The people start to make opinion. Nggak usah diresponlah... Atau modeel responnya yang diganti, dari yang awalnya mau respon tertulis, menjadi respon lisan aja. Setelah perdebatan yang cukup alot, yang melibatkan banyak energi, waktu, pikiran, dan amilase terbuang, didapatkanlah keputusan bahwa model respon diganti. Dari yang respon tertulis menjadi respon lisan perkelompok, dalam hal ini responnya menggunakan alat bantu tertentu.
Dan yaaa...
Again. Di sinilah terjadi kebingungan plus ke-plin-plan-an. begitu melihat kakak asisten gotong-gotong alat bantu, si temen-temen pada hectic lagi. Grasa-grusu lagi, sebagian ngomel, protes, sisanya diam.
Ini kenapa pada gotong-gotong alat bantu?
Ini Model responnya kayak gimana sih sebenarnya?

Give me little pause in here.
Tahu kan ya, kalo lo udah seharian di kampus. Pengen pulang, sudah badan bau naga, pengen mandi, kelaparan, ngantuk, nyesek. Dan ada saat di mana kepulangan lo harus tertunda karena seuatu kewajiban yang nggak bisa lo tangguhkan. Dan ketika lo pengen memenuhi kewajiban itu banyak banget hal yang bikin lo emosi, bikin kepulangan dan segala urusan lo tertunda.
Gimana perasaan lo?
Gue begitu, temen-temen gue begitu. Nyesek pengen pulang.
Tapi mungkin, lebih nyesek si kakak asisten yaa. Udah bela-belain buat
asistensi, ehhh dapatnya malah diprotes-protesin.
Oke, push the Next Button.

Daaannnn...
Saat itulah si kakak bertanduk—eh, kamsudnya si kakak mulai kelihatan emosi...
Suasana yang tadi chaos, berangsur-angsur mulai diam gegara ada hawa-hawa malaikat Izrafil bakalan niup Sangkakala. Itu si kakak Asisten udah pasang muka bete, nada bicaranya mulai ditekan-tekan, gerakan tangannya sudah mulai kaku.
Bah, keluar dah tuh emosi.
Endingnya, model respon yang tadi mau lisan dan pakai alat bantu balik ke rencana awal, jadi respon tertulis. Dan gue dan temen-temen gue melaksanakan respon tertulis dengan suasana yang... ehem... mencekam.
Itu kita berasa kayak ikutan pertarungan hidup dan mati a la The Hunger Games tahu nggak. Responnya dikasih waktu, lewat batas waktu udah nggak boleh nulis jawabannya lagi, pulpen harus dilepas, kalau pulpen nggak dilepas yaa konsekuensinya jawaban lo dianggap kayak nasi kelamaan diangkat, hangus.
Well, maybe for some people who read this post will think 'Ah, itu mah biasa aja, gue pernah dapat yang lebih parah daripada itu.', tapi buat kita-kita yang masih mahasiswa bau kencur ini diperlakukan seperti itu pasti bakalan mikir 'Ini si kakak kenapa sihhhh?' (diucapkan dengan nada paling rese pokoknya).
Well, gue nggak bakalan protes-nyumpahin-meratapi hasil respon gue di postingan ini. Gue cuma mau berbagi pikiran gue aja.
Kita, praktikan dan juga asisten itu sama-sama capek. Sama-sama punya kewajiban yang ingin dipenuhi. Sama-sama punya jadwal tersendiri. Punya deadline. Punya urusan. Ya mbok saling mengertilah. Untuk menyampaikan informasi, ya silakan diperjelas. Supaya tidak ada kesalahan informasi lagi mengenai jadwal yang akan dilakukan. Di dalam hal ini, kalau untuk orang-orang yang mengerti bahwa asistensi dan respon itu satu paket yang nggak apa-apalah kalau cuma bilang asistensi aja. Tapi kalau buat mahasiswa kemarin sore, yang masih labil dan belum ngerti apa-apa ya silakan diperjelas sejelas-jelasnya jadwal asistesi/respon/ResponSi.
Dan ini nih...
Buat teman-teman sesama mahasiswa, praktikan. Apapun deh.
Terkadang kita sering mengeluh karena jadwal yang semena-mena. Namun ada kalanya kita mesti berhenti berkeluh kesah dan melihat orang lain. Tadi sore, adalah kali kesekian di mana gue melihat ketidak-respek-an sekelompok orang terhadap orang lain. Kakak asisten cuma satu sementara kita hampir satu batalyon di dalam sana. Dalam keadaan seperti itu, sekalipun kita akrab dengan orang yang akan 'membimbing' kita, ya kasih respek sedikit lah. Tidak mungkin satu mulut menenangkan puluhan mulut lainnya yang sibuk berkicau.
Kita selalu menuntut untuk dimengerti, menuntut untuk dipahami. Namun saat orang lain meminta pengertian kita, kita malah tidak mau berhenti untuk mendengarkan. Orang lain yang 'berhak' berbicara di depan kita, kita kebiri haknya dengan ego kita. Memotong ucapan orang lain, berbicara saat ada orang lain yang juga berbicara kepada kita, bukanlah sesuatu yang sopan. Orang lain tersebut akan merasa bahwa dia tidak dihargai oleh kita.
Apa susahnya membiarkan orang lain menyelesaikan ucapannya, lalu kita secara teratur menyampaikan pendapat kita sendiri?
Sebagian dari temen-temen gue berniat dan ingin jadi asisten (nantinya). Apakah nantinya, kita (si calon asisten masa depan) ingin diperlakukan seperti itu juga? Tidak dihargai? Apa kita mau saat kita berbicara, orang yang kita aja bicara itu malah berbicara dengan orang lain, sibuk mengeluhkan kehidupannya sendiri dan tidka memperhatikan omongan kita?
Apabila kita menghargai orang lain, sebenarnya kita juga menghargai diri kita sendiri.
Gue punya sebuah kepercayaan yang gue tanamkan dalam diri gue sendiri. Apa yang kamu tanam, itu pula yang kamu dapat. Karma.
Bagaimana kamu memperlakukan orang lain, maka kamu akan mendapatkan perlakuan yang serupa pula. Kalau kita tidak menghargai orang lain, maka orang lain tidak akan menghargai kita. Kalau kita tidak mau mendengarkan orang lain, maka orang lain tidak akan mau mendengarkan kita.

Makanya mulut itu cuma satu, sementara telinga itu dua.
Kita butuh lebih banyak mendengar dibanding berbicara.

Atau mungkin, di masa depan, Tuhan akan menciptakan satu telinga lagi. Tepat di bawah mulut.

1 comment:

Kalau menurutmu, bagaimana?