Soto koya adalah hidangan favoritku. Baik yang instan, maupun yang dihidangkan di rumah makan. Rumah makan andalanku tentu saja warung soto yang terletak di dekat bundaran kota, Warung Soto. Pemiliknya seperti sudah kehabisan nama, atau mungkin enggan untuk lebih kreatif lagi sehingga warung sotonya diberi nama Warung Soto, warung yang menjual beragam macam soto dan sop. Soto banjar, soto betawi, beraneka macam sop dan pastinya, soto koya.
Aku sudah membagi jadwal makan soto koyaku seperti atlit yang membagi jam berlatihnya. Satu minggu di awal bulan, aku akan makan di Warung Soto dengan porsi besar yang sinting, lima mangkuk soto koya. Satu minggu berikutnya, jumlah berkurang dua. Satu minggu berikutnya, hanya ada satu mangkok kotor di mejaku. Satu mingggu terakhir dalam satu bulan adalah minggu paling naas, karena remah-remah terakhir dari gajiku selama sebulan akan berakhir dalam tujuh bungkus mie instan rasa soto koya, yang masih perlu kubagi dua sebungkus untuk makan siang dan malam. Merupakan bentuk pertahanan diri agar tidak mati kelaparan di ujung bulan.
Aku sudah membagi jadwal makan soto koyaku seperti atlit yang membagi jam berlatihnya. Satu minggu di awal bulan, aku akan makan di Warung Soto dengan porsi besar yang sinting, lima mangkuk soto koya. Satu minggu berikutnya, jumlah berkurang dua. Satu minggu berikutnya, hanya ada satu mangkok kotor di mejaku. Satu mingggu terakhir dalam satu bulan adalah minggu paling naas, karena remah-remah terakhir dari gajiku selama sebulan akan berakhir dalam tujuh bungkus mie instan rasa soto koya, yang masih perlu kubagi dua sebungkus untuk makan siang dan malam. Merupakan bentuk pertahanan diri agar tidak mati kelaparan di ujung bulan.
Pertemuanku dengannya adalah episode terbaik dalam hidupku, dia seperti nabi di dalam hidupku yang sialan ini. Dia seperti cacing tanah yang menjadikan tanah liat menjadi humus. Menelan dan mengunyah semua kelam dan mengeluarkannya menjadi gemburan-gemburan bahagia yang terang benderang.
Saat itu dini hari, dari luar air hujan menampar-nampar jendela dan aku kelaparan luar biasa. Meski sudah awal bulan, aku masih belum bisa makan enak karena bosku belum membayar gajiku. Aku mengecek jendela, butiran-butiran besar masih berlomba-lomba menghantam tanah. Aku menatap receh yang membentuk bukit kecil di atas meja hasil kegigihanku mencongkel celengan Batman-ku. Tidak perlu menunggu lebih lama lagi, segera kuraih sweater abu-abuku dan mengantongi semua recehan itu.
Perjalanan di bawah guyuran menuju supermarket demi sebungkus mie instan rasa soto koya adalah perjalanan yang menyedihkan, namun ketika sampai di supermarket adalah bagian yang paling mengenaskan. Pendingin ruangan disetel pada suhu yang paling dingin, mengesankan satu penjaga kasir dan dua pegawai di sana adalah alien yang kebal terhadap suhu rendah. Aku menggigil dan berjalan cepat ke rak makanan instan, menjauh dari pandangan penjaga kasir yang memelototiku karena menciptakan genangan air di sepanjang aku melangkah.
Aku menemukan mesiasku di ujung lorong, sendirian di atas rak dengan posisi yang menyedihkan. Kekosongan di kanan kirinya seolah menandakan bahwa dia telah menungguku begitu lama untuk kubawa ke kasir dan pergi meninggalkan supermarket yang dinginnya tidak manusiawi ini.
Dan di sini lah, bila kamu sering menonton sinetron-sinetron yang miskin budget dan terlalu sering mengandalkan kebetulan sebagai penggerak cerita, maka mungkin kamu akan segera kabur dan memaki-maki diriku karena salah satu kebetulan sinetron mruahan itu terjadi padaku.
Apa kau sudah bisa menebak kebetulan yang mana itu?
Ya, yang itu.
Dua tangan yang tak sengaja bersentuhan ketika ingin mengambil benda yang sama.
Tanganku membeku di atas bungkus mie instan, sementara jemari lentik itu tersentak lalu tertarik ke belakang, membuatku mengikuti dari mana datangnya tangan pucat itu. Seperti idiot tengik aku tertegun, di sebelah kananku berdiri seorang perempuan cantik. Rambut panjangnya membingkai wajahnya yang pucat, matanya melirik ragu ke arahku, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, Namun, pandangan ragu itu segera menghilang ketika pemiliknya menundukkan wajahnya. Perempuan itu bergerak menjauh dariku, dengan pandangan yang tertuju pada sebungkus mie instan di tanganku.
Aku kelaparan setengah mati, kedinginan pula. Mie instan ini tinggal sebungkus. Kuperhatikan perempuan itu baik-baik, dia sama kelaparannya denganku. Aku mengeluarkan satu-satunya sifat ksatria dalam diriku, berat hati, kuberikan padanya sebungkus mie instan. Pandangannya naik.
"Untukmu," kataku begitu menerima tatapan penuh tanya darinya.
Aku memutar badan cepat-cepat, takut jika aku lebih lama berdiri di situ mie instan yang tadi kuserahkan akan kurebut kembali. Aku berbelok ke tempat roti dan susu lalu mengambil tiga bungkus roti selai nanas dan menuju kasir. Kupikir, tiga bungkus roti ini akan cukup menghapus laparku, meskipun tidak sebaik mie soto koya membungkam lambungku.
Aku melangkah menuju kasir, penjaganya masih memberikan pandangan tidak suka padaku. Saat hendak menyerahkan tiga bungkus roti, tanganku ditahan oleh seseorang. Aku menoleh dan mendapati perempuan tadi memegang lengan atasku, lantas ia melemparkan sebungkus mie instan ke meja kasir dan berlari pergi. Aku menatap heran ke arah pintu masuk yang membuatnya menghilang lalu ke sebungkus mie instan yang tergeletak di atas meja kasir.
"Saya beli yang ini saja." kataku menunjuk mie instan itu, si penjaga kasir mengambilnya tanpa banyak bicara dan menscan belanjaanku di barcode reader. Mukanya masih saja masam ketika ia menyebutkan harga. Aku meraih kantongku, menghitung recehan dengan harapan bila ku bertemu dengan pemilik supermarket ini, akan kuminta penjaga kasirnya diganti. Jelek betul mukanya menghadapi pelanggan.
Diiringi gerutuan penjaga kasir yang menyimpan recehanku di lacinya, aku beranjak keluar. Hujan deras berganti gerimis, dan aku berjalan menuju rumah. Air yang jatuh menciptakan riak-riak melingkar di genangan air di jalan yang becek. Sandal jepitku yang licin membuatku berhati-hati melangkah. Tanganku terkepal menahan dingin ketika angin berhembus kencang, daun-daun pohon di kiri kananku saling bergemerisik menciptakan suara yang semakin membuat gigil. Suaranya pelan dan berbisik-bisik. Lalu suara yang lain muncul.
Aku berusaha mengabaikannya, namun rasanya makin nyata saja. Bayangan sosok berpakaian hitam dengan jubah panjang dan celurit di tangannya berkelebat di kepalaku. Aku ingin mempercepat langkah namun sandal yang licin dan juga gemetar membuat kakiku menjadi berat. Di bawah pohon mangga aku berhenti, tanganku mengepal kuat, jika aku mengumpulkan kekuatan, aku pasti bisa menghantam sosok di belakangku. Itu kalau dia manusia. Kalau wujudnya lain, sandal jepitku sudah siap ku tinggalkan di bawah pohon mangga ini.
Suara langkah itu semakin mendekat,
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?