Setiap Kepulangan dan Jejak-Jejak di Belakangnya, Bapak

Tuesday, April 21, 2015

here

When my father passed away, I’m not feel really lose it. Gue tahu kedengarannya kok kayak gue ini durhaka banget yak. Tapi emang bener. Cerita sedikit tentang Bapak gue, Bapak gue itu orangnya seram-seram gimana gitu deh, suka marah-marah, dictator, terus pendiam. Mungkin semua itu adalah akumulasi dari topografi wajahnya yang seperti Buddha (Buddha memang pendiam, tapi dia cinta damai!) dan juga kerasnya kehidupan di desa kelahirannya yang membuat dia mengatur semua anak-anaknya—yaitu gue dan adik-adik gue—dengan keras dan tegas dan agak-agak Hitler. Dan mungkin, kalau dilihat-lihat dan diterawang dengan mata batin, banyak banget sifat Bapak gue yang menurun ke gue, beberapa diantaranya sudah gue sebutkan di atas (sifat Mama juga menurun ke gue laaahhhh). Selain wajah gue yang katanya mirip banget sama Bapak gue (Berarti gue mirip Buddha dong!).
Maksunya gue nggak dekat-dekat amat sama bapak gue. Nggak seperti anak-anak lain yang punya seribu juta triliyun kenangan manis-manis dengan orang tua mereka, gue enggak. Sejak kecil gue memang tidak memiliki semacam kenangan-kenangan spesial yang bisa gue share lewat Facebook dan Instagram.
Bukan berarti gue itu terlantar dan kekurangan kasih sayang dan sebagainya yang mengerikan, hanya saja rata-rata anggota keluarga gue yang kini sudah berkurang tiga (dengan nenek gue) bukanlah jenis orang yang mampu mengungkapkan segala hal lewat kata-kata ataupun tindakan-tindakan yang manis. Keluarga gue itu… lebih tepatnya… semacam mudah kikuk dan malu dengan kata-kata dan tindakan yang manis dan sangat kekinian-dan-harus-disebar-di-semua-sosial-media-biar-semua-orang-tahu.
Keluarga gue itu …. Semacam pendiam. Pendiam yang aneh. Dan orang lain butuh usaha ekstra keras untuk bisa memahami hal itu. Bahkan gue sendiri pun masih sering bingung dengan segala hal yang dimiliki keluarga ini.
Oke balik lagi ke topic awal.
Nah, waktu kepulangan Bapak dulu, efek sedih-sedihnya Cuma sampai empat puluh hari doang. Setelah itu ya, udah. Gue sekolah lagi.  Main bareng sama teman, dan yangs atu ini adalah hal yang nggak pernah gue punya pas Bapak gue masih di rumah, kebebasan. Yeah, freedom. Mama, mungkin dia kasihan sama gue yang dikekang banget sama Bapak dan nggak mau gue sedih berlarut-larut (padahal sebenanrya, nggak gitu juga), jadinya dia mulai kasih kebebasan buat gue. Gue bisa main sampai maghrib di rumah tetangga, gue bisa nonton sinetron tanpa harus belajar, gue bisa puas-puas jalan-jalan ke Gramedia sendirian, gue bisa bebas ikut kegiatan ekstrakurikuler yang mewajibkan gue untuk nginep di hutan (well, tepi pantai sih. Tapi intinya sama aja). Jenis-jenis kebebasan kecil, kebebasan yang nggak penting banget buat gue bilang di sini, kebebasan yang mungkin udah kalian dapatkan sejak kalian masuk SD, namun gue nggak pernah merasakan hal-hal itu sampai Bapak gue pulang.
Namun emang dasarnya anak patuh, penurut, dan kuper. Meskipun dikasih kebebasan seluas-luasnya jagat raya asalkan bertanggung jawab, gue terkadang masih menolak dengan semua hal itu. Gue lebih senang tinggal di dalam kamar kayak ayam mengeram dari pada nonton TV. Ada beberapa hal ‘esensial’ yang Bapak kasih dan wanti-wanti ke gue, dan jujur aja, beberapa hal itu bikin kepribadian dan pikiran gue jadi sedikit ribet dan susah dipahami orang lain.
But, gue terima-terima aja. Gue seneng aja jadi diri gue yang begini. Meskipun kadang kala gue mengutuk sifat-sifat gue dan pikiran-pikiran gue yang sialan banget itu.
Mama kasih tanggung jawab dan kepercayaan begitu besar buat gue, buat bebasnya gue kelayapan. Tapi gue terlalu takut untuk menodai segala macam tanggung jawab dan kepercayaan itu sehingga gue lebih memilih bersemedi di kamar, di depan lapton dan buku-buku dan apapun yang menarik minatku asalkan tidka berhubungan dengan orang banyak.
Dan begini lah jejak-jejak yang ditinggalkan Bapak sebelum pulang dan sampai sekarang jejak itu belum hilang. Ya iyalah, jejak orang tua nggak bakalan hilang dari anak-anaknya sekalipun orang tua itu sudah pergi jauh sekali dan nggak bakalan balik-balik lagi.
Bapak punya pesan-pesan, yang mungkin kalau orang lain dengan hal itu akan tampak konyol dan kolot dan ya-ampun-Hitler-Binggo-Deh. Tapi tetep gue ikutin aja dan gue anut seperti rakyat Korea Utara menganut ideologi komunisme. Ideologi bapakisme dan mamaisme yang gue anut dengan sukarela.
Selain itu, ada beberapa tempat di rumah ini yang kalau dilihat dengan ‘tidak fokus’ seolah-olah dia masih ada di rumah ini. Kayak jendela di dapur rumah, tempat Bapak biasa nongkrong ngawasin ayam yang lebih disayang ketimbang anaknya itu, dengan baju kuning berkerahnya, Bapak membelakangi gue, entah ngeliatin apa dia di hutan di belakang rumah. Atau di samping tembok penghubung ruang tamu dan ruang keluarga, tempat Bapak memandangi relik-relik di bagian atas tembok saat pertama kali rumah ini selesai dicat dan dihias gips plafonnya. Ada banyak banget tempat favorit seseorang yang sudah berpulang, kalau dilihat dengan tidak fokus alias melamun, lo pasti bisa menemukan bahwa ada saja jejak-jejak yang mereka tinggalkan di sana. Seolah-olah mereka masih ada dan lo bisa memanggil mereka.
Gue jarang banget mau nulis apa-apa tentang Bapak gue. Masalahnya adalah, selain setiap tulisan itu berpotensi merusak citra gue yang anak baik-baik ini menjadi anak durhaka, hal itu juga terlalu sentimental dan nggak penting banget. Nggak penting banget buat orang lain tahu. Kenapa gue harus membagi sesuatu yang orang lain nggak mau dan mungkin nggak peduli? Kenapa gue harus menceritakan semua kisah sedih—atau berlagak sedih ini—ke orang lain? Kenapa nggak gue simpan sendiri aja?
Belakangan gue sadar, gue sebenarnya emang mau banget bercerita. Tapi gue selalu nggak enakan berbagi cerita dengan media mulut dan suara dengan orang-orang yang duduk melingkar di samping gue. Menurut gue, rasanya gue membuang-buang waktu orang lain untuk mendengarkan cerita gue di mana mereka di luar sana punya kehidupan lain, punya cerita-cerita lain yang mana mereka lebih tertarik untuk ceritakan atau dengarkan.
Jadi di sini lah gue. Menceritakan sesuatu yang enggan gue ceritakan karena takut orang lain akan mati bosan. Kalau di sini kan, kalau bosan orang-orang tinggal menutup browser mereka dan pergi tanpa harus takut menyinggung perasaan gue.
Balik lagi ke topic jejak-jejak itu.
Setelah Mama juga ikut-ikutan pulang (Yah, akhirnya Bapak dan Mama bersatu kembali di langit sana!). Perasaan kehilangan dari Bapak gue yang seuprit itu seakan-akan bertambah seribu juta triliyun kali dengan baliknya Mama ke Tuhan. Ini seperti kesedihan yang dulu nggak gue rasakan pas Bapak pulang dibalas seperti karma dengan ketiadaan Mama. Setiap kali gue  lewat ruangan tertentu di  rumah ini, ada saja perasaan ngilu-ngilu di hati.
Pas masuk kamar mandi, kalau lihat sikat gigi, pasti ingat sikat giginya Mama, ingat waktu gue gosok-gosok punggungnya Mama, inget pas dia wudhu di depan pintu kamar mandi. Pas lagi di ruang tengah, ingat dia pas lagi duduk di mesin jahit. Mesin jahit yang selalu saja mampu membangkitkan sifat penjahat gue kalau lagi dalam kondisi setan, kondisi dimana ada keinginan untuk menggunting kabel dynamo mesin jahit itu agar Mama segera berhenti menjahit dan segera beristirahat dan tidur.
Jejak-jejak itu banyak banget.
Dan nggak hanya Bapak lagi yang muncul, Mama juga. Tiba-tiba dan tanpa peringatan. Ketika gue melakukan sesuatu yang penting (Atau nggak penting) dan gue ambil jeda istirahat atau gue tiba-tiba jadi nggak ‘waspada’, jejak-jejak itu terbentuk lagi. Dan rasanya hati kayak dicubit-cubit gitu, pedis-pedis. Dan karena mereka sudah ketemu dan bersatu lagi di alam barzah sana, intensitas kemunculan jejak-jejak itu semakin meningkat.
Jangan berpikir seram deh. Kalau lo ngerasain sendiri (amit-amit daaahhh, lo wisuda dulu biar punya foto wisuda sama bapak-mama lo, nikah dulu deh lo, punya anak, bawa orang tua buat naik haji) lo nggak bakal ngerasa seram. Lo bakal ngerasa ngilu dan sialan.
Semacam ngilu di jantung yang mengirimkan gelombang perasaan yang uncategorized ke setiap sel-sel tubuh lo, dan bikin lo jadi ngerasa sialan. Sialan yang kok gue baru ngerasa sekarang ya? Kok gue dulu bersikap durhaka-cengeng-manja-egois banget sama Bapak-Mama gue? Kok gue dulu NGGAK sempat minta maaf ke mereka?
Itu.
Ngilu dan Sialan.


16 comments:

  1. Kak Rhyme ngga perlu merasa ngga enakan atau membuang2 waktu orang, karena terkadang dengan bercerita bisa membuat hati lebih lega. Gue tipe orang yang suka curhat, padahal gue nyadar, kalau gue curhat ke temen, temen gue ga fokus sama curhatan gue, karena mungkin bagi mereka curhatan atau cerita gue ga penting, ga penting banget malah, tapi tetep gue lanjutin. karena gue butuh curhat sama orang, kalau ga gue bisa sakit.

    ReplyDelete
  2. Kak Rhyme juga boleh cerita sama aku, boleh banget malah ( kata kak rhyme: emang lo siapa?).
    Gue emang bukan siapa2nya Kak Rhyme, tapi jujur gue kagum sama Kak Rhyme, kagum sama karya2nya juga ingin bisa kuat sepertinya.
    Oh ya mau tanya satu hal kak, tapi jangan tersinggung ya kak, apa kedua ortu kakak udah ga ada? udah pulang ke rahmatullah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehe, orang-orang beragam, Riiz... ada yang suka ngomong langsung, namun ada juga yang lebih memilih media curhat dengan tulisan. Setiap perrilaku itu punya keuntungan dan kerugian. Ini mungkin karena gue sudah lama 'nggak ketemu manusia' yang bisa diajak cerita, jadinya lebih sering nulis, dan dengan menulis biasanya lebih free. Hehehehe....

      Anggap aja Bapak-Mama gue telah meninggalkan tubuh fana mereka untuk menjaga anak-anaknya dengan cara yang lebih 'halus'. :s

      Hehehhe, makasih Riiz, senang banget ada Riiz yang mau baca dan komen curhatan ini :s :s

      Delete
  3. Ga ketemu manusia yang bisa diajak cerita? emang temen-temen kak Rhyme pada kemana?
    Dulu aku pernah baca postingan kak Rhyme lho, yang menceritakan tentang ibunya kak Rhyme, kayak waktu postingan yang kak Rhyme pergi ke kondangan, pergi ke pasar bareng, disitu selalu nyeritain tentang sifatnya ibunya kak Rhyme. Setiap ibu emang punya cara tersendiri untuk mendidik anak2nya ya. Waktu itu emang kak Rhyme kelihatan seneng banget, dan ku kira walaupun kak Rhyme ngga nyeritain tentang ayah, ku kira ayah Kak Rhyme masih ada.

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Karena aku kuliahnya di luar kota, jadi teman-teman kuliahku nggak bisa datang ke rumah sekarang-sekarang ini. Terus teman-teman yang lain juga kan sudah pada menyebar ke sana-ke mari, jadi susah kalau mau ngumpul dan curhat-curhatan. Terus aku juga nggak berrani mau menghubungi terus ngajak keluar dan sebagainya, karena aku itu orangnya... yaah... pendiam dan gitu deh.... #apasihgakjelas
      Selain itu, aku nggak begitu banyak punya teman dekat atau sahabat, jadi ya nggak kebanyakan curhat sama orang lain. Kalau pun curhat palingan sepotong-sepotong, nggak full....jadinya aku lebih sering di sini... hehehe...

      Delete
    3. sama kak, aku juga kuliah di luar kota dan jauh dari temen2, dan belum nemu temen2 yang kayak waktu sma, yang bisa diajak ngobrol, sharing, dll. Terkadang aku jadi males buat kuliah.
      Aku juga pendiam lho kak, tapi aku pendiam yang "suka curhat" tapi cuma sama temen deket dan keluarga pastinya.
      Apa jadinya kalau aku ketemu sama kak Rhyme, diem2an dong?
      Tapi kayaknya ga mungkin deh, masalahnya jauuuh...

      Delete
    4. This comment has been removed by the author.

      Delete
  4. Jadi, aku kaget lihat postingan di atas, kenapa tiba-tiba udah ga ada semua? padahal kemarin masih ada.

    Kalau boleh tahu kapan Bapak-Mama nya kak Rhyme pergi? kalau boleh tahu udah berapa lama? Trus sekarang kak Rhyme tinggal sama siapa?

    Aduh, ko aku ngerasa seperti menginterogasi yah...
    tapi jujur, aku cuma pengin tahu aja, pengin kenal sama kak Rhyme, soalnya aku udah lama ngikutin ceritanya kak Rhyme di blog ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bapak sudah lama pulangnya, kalau Mama baru-baru ini...
      Sengaja dulu nggak diungkit-ungkit pulangnya Bapak, karena nanti akan mengundang banyak tanya dari orang lain. Gitu....
      sekarang ini masih tetap tinggal di rumah orang tua, tapi ditemani tante...
      Astageeee, hihihihi.... ada juga yang ngikutin ini blog.... aduhhhhh #maluuuuuuu.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
    3. Owh...syukur dah, masih ada tante yang nemenin. Kak Rhyme anak pertama ya?

      Aku juga tahu blog ini dari akunnya kak Rhyme yang di fanfiction.
      Dulu kan aku sering baca karyanya kak Rhyme, terus disitu ada blognya kak Rhyme terus aku coba buka, terus bagus, terus aku baca.

      Kalau ga mau ada yang ngikutin, ga usah di share kak Rhyme...:v

      Delete
    4. Tapi kalau nggak di-share, kurang srek...#apadeh #labil :r

      Delete
  5. Gue juga seneng banget, bisa di bales komentnya oleh kak Rhyme.
    Bales lagi ya kak? *puppy eyes

    Gue tahu, kalau kak Rhyme pasti sibuk. Jadi mahasiswa itu memang sibuk banget. Gue baru tahu setelah gue jadi mahasiswa. Jadi kak Rhyme bisa melungkan waktunya buat bales koment ga penting ini, aku udah makasih banget.

    Sekali lagi Merci :d

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehhee, senang juga ada Riiz yang mau datang dan 'nongkrong' di sini...
      Makasih banget, Riiz :a :a :a

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Kalau menurutmu, bagaimana?