[Cerita-Cerita] Percakapan Pertama dan Absen Kata-Kata Makian

Tuesday, October 6, 2015

here
Atap apartemen ini hampir tidak memiliki pengunjung kecuali kita berdua. Kadang aku hanya sendirian di sini bila kamu sedang sibuk-sibuknya di rumah sakit. Kadang kita berdua, bila aku tidak mendapat jadwal siaran tengah malam dan kamu sedang tidak mendapat giliran jaga atau operasi di rumah sakit (yang sangat jarang terjadi).
Atap tidak memiliki penerangan yang cukup, hanya ada satu lampu yang sekarat di dekat pintu masuk, yang menjadi sumber cahaya besar adalah lampu-lampu dari apartemen lain, lampu kendaraan-kendaraan yang berebut lahan di jalan raya yang ramai, dan kerlap lampu mercusuar di ujung pantai yang jauh di ujung sana. Kadang kala, bulan dan bintang turut memberi sedekah cahaya bila langit sedang bahagia.

Aku menumpangakn kedua tanganku pada pagar pembatas atap, memandang kepada lautan yang hitam keperakan ditimpa cahaya bulan yang berstatus supermoon malam ini. Pasti pantai ramai sekali malam ini dengan pasangan-pasangan yang berpegangan tangan, atau pun kelurga yang beranggotakan empat atau lima kepala yang menikmati hidangan di pinggir pantai. Sementara itu aku merenungi kesendirian yang terlalu pagi.
Kita memang tidak memiliki hubungan apa-apa. Kenal pun tidak terlalu. Kita hanya sesekali tersenyum saat bertemu di lift, atau melemparkan hai ketika berpapasan di lobi lantai satu. Kita orang asing yang memiliki keakraban yang aneh hanya karena sering bertemu dan berdiam diri di atap.
Saat itu aku benar-benar lelah dan kesal dan marah. Skripsiku memasuki revisi yang kesekian kali dan tak kunjung mendapat harapan kapan akan benar-benar masuk ke ruang sidang ujian akhir. Pacarku ketahuan berselingkuh dan ketika aku hendak melabraknya malah aku yang kena maki karena dianggap kurang memberikan perhatian dan kasih sayang (dalam hal berpacaran aku mendapat nilai E MINUS). Aku dipindahkan untuk melakukan program siaran tengah malam, lima hari seminggu aku harus memacu motor maticku pada jam sembilan malam dan kembali ke apartemen pukul dua pagi. Yang benar saja, pikirku waktu itu. Perempuan begini disuruh bolak-balik sendirian di waktu-waktu seperti itu. Aku sempat protes, namun pemimpin siaran yang seksis itu berpendapat bahwa inilah saatnya dimana wanita bisa setara dengan lelaki. Dia mengucapkannya dengan penuh sinisme, perwujudan pembalasan dendam pada makhluk-makhluk tak berdosa atas istrinya yang lari dengan perempuan lain.
Kamu saat itu sedang merenungi langit dengan pandangan yang penuh tanya dan pengharapan. Lebih tepatnya putus asa karena cinta yang tidak berbalas (yang ini kuketahui belakangan). Dua kaleng bir kau habiskan sendiri, dan saat aku datang dengan gebrakan pintu yang maha dahsyat, kau menyemburkan isi kaleng ketiga dari mulutmu karena terkejut.
Kamu memandangiku dengan pandangan yang merasa terganggu namun aku merasa tak menganggu siapa pun. Semua orang punya masalah dan aku sedang tidak ingin berkelahi. Aku ingin berteriak dan meninju wajah kehidupan yang tengah tersenyum mengejek padaku. Aku ingin terlibat baku hantam dan menyerang siapa saja. Harusnya aku ikut geng motor atau begal atau tawuran antarmahasiswa saja. Sialan betul hidup.
Aku sampai pada pagar pembatas, kupanjat dan kulangkahi dan aku berdiri dengan ujung sepatu yang sudah menginjak angin. Aku ingat saat itu kau langsung membuang kaleng bir yang sedang kau teguk dengan rakus dan berlari dan memegang betisku.
"Jangan bunuh diri!" katamu dengan napas yang terengah-engah, "hidup memang berat namun itu bukan alasan untuk mengakhiri nyawa sendiri."
Aku memandangmu dengan pandangan heran bercampur marah. Awalnya aku beranggapan bahwa kau adalah lelaki cengeng penggemar sinetron. Mungkin sebentar lagi kau meraih tanganku dan mengajakku menikah agar tidak bunuh diri.
"Ini bukan urusanmu." kataku. Aku hanya ingin berteriak melampiaskan kekesalanku, siapa pula yang sinting mau bunuh diri? Namun sepertinya aku memberikan jawaban yang salah karena kau benar-benar meraih tanganku, dan sayangnya, kau tidak mengajakku menikah. Perkiraanku meleset.
"Kenapa kamu mau bunuh diri?"
"Aku tidak ingin bunuh diri."
"Jangan bohong. Urungkan saja niatmu. Kau bisa bercerita padaku segalanya."
"Aku benar-benar tidak ingin bunuh diri, tuan. Aku hanya ingin memanjat pagar dan berteriak."
"Omong kosong."
"Lepaskan aku." Laki-laki ini sepertinya punya obsesi tidak sehat terhadap perempuan yang memannjat pagar.
"Tidak, kau pasti akan terjun. Ayo turun saja, dan kau bisa menceritakan padaku masalahmu."
"Aku lebih senang menghajarmu."
"Baiklah, kau bisa menghajarku."
"Tapi lepaskan aku dulu."
"Tidak, nanti kau terjun."
"ARHRGRGHGRHRGRGHRGHRGHGRGHRGHRGHRGHR!!!" tanpa memedulikanmu aku berpaling dan berteriak pada jalan-jalan yang ramai di bawahku. Suaraku menggelegar dan kemudian menghilang. Genggaman pada pergelangan tanganku semakin erat dan berkeringat. Kau memandangiku dengan wajah yang ketakutan. Angin yang berhembus tidak mampu mengeringkan keringat sebesar biji jagung yang keluar dari perlipismu.
"Kenapa kau berteriak?"
"Karena aku ingin berteriak. Sudah kubilang padamu aku tidak mau bunuh diri. Aku hanya ingin berteriak."
"Benarkah? Mengapa?"
"Karena hidup itu brengsek."
Kau tertegun, kurasakan cengkramanmu melonggar. Pergelangan tanganku kini basah dan memerah. Kau menggumamkan kata maaf, dan berdiri kikuk di belakangku. Kalau tahu begini, sudah pasti dari tadi aku mengucapkan kalimat tadi. Sekali-kali dunia ini perlu diberi saran untuk tidak banyak melahirkan manusia kepo seperti kamu.
Ada jeda yang cukup lama, cukup untuk memutar tiga buah lagu di radio sampai kau bergerak dan kaki panjangmu memanjat dan melangkahi pagar pembatas. Kau duduk di sampingku. ratusan meter di atas tanah.
"Hidup memang brengseeekkk!!!" teriakmu panjang tanpa gema dan hanya suara klakson mobil yang ramai menyahuti.
Kemudian, gantian aku yang takut kau bunuh diri. Badanmu tinggi besar, kalau kau loncat dari sini aku pasti tak akan mampu menahanmu dan bila aku berusaha menghalaumu, bisa saja aku ikutan terjatuh dan jadi kornet manusia di bawah sana nanti.
"Kau mau bunuh diri?" tanyaku, mencoba santai.
Kamu menggeleng, "tidak." napasmu masih putus-putus setelah berteriak tadi, "kalau pun mau aku tidak akan memilih bunuh diri dengan meloncat dari ketinggian."
Aku memberikan pandangan penuh tanya padamu, kau menoleh sekilas padaku dan tersenyum gugup dengan bibir yang bergetar, matamu goyah saat melirik ke bawah, lalu dengan cepat kepalamu tegak kembali seolah diberi penyangga. "Aku, eh, agak takut ketinggian."
Aku tidak tahu harus bilang apa. Orang di sampingku ini bodohnya keterlaluan.
"Kampret! Lantas kenapa kau memanjat?"
"Entahlah, aku tidak tahu. Aku... aku hanya merasa kalau hidup itu brengsek."
Aku mendelik bingung, jangan-jangan kau ini bukan bodoh tapi gila. Sial, aku memanjat pagar bersama orang gila dan bisa saja dia sedang kumat dan mendorongku untuk terjun bersamanya.
“Hidup itu brengsek, karena tidak peduli seberapa kuat kita berusaha, dia menolak melihat dan memilih untuk menulikan diri. Tidak peduli seberapa kuat keinginan kita, dia tetap keras kepala dan enggan mengalah. Tidak peduli … berapa lama … aku berjuang … dia tidak mau berpaling … “
Seketika itu aku sadar, kau sedang mengasihani dirimu sendiri. Dugaan sementaraku, kau menderita patah hati (yang belakangan terbukti benar). Aku memandang dirimu saat itu sebagai salah satu pendengar siaranku yang sedang menelepon untuk curhat di radio. Aku biasanya akan mengucapkan kata-kata sok bijak berbunga-bunga dan menenangkan. Namun aku juga sedang berada pada keadaan yang lebih menyedihkan dari dirimu. Roda akademik, percintaan, dan pekerjaanku sedang menghadap tanah yang becek, dan aku bingung harus melakukan apa agar mereka semua naik berhadapan dengan bagian bawah kereta.
“Hmm, begitulah hidup ….”
“Brengsek.”
"Dan bangsat." sambutku kemudian. Kau nyengir lebar, matamu menyipit.
"Dan bedebah."
"Dan bajingan."
"Dan... eh, seharusnya kita memulai dari huruf A."
"Hah?"
"Kita sedang mengabsen kata-kata kotor, bukan?"
Kita beralih dari dua orang yang hidupnya sedang brengsek menjadi dua orang yang kurang kerjaan.
"Memangnya kita begitu?"
"Tapi tadi kau---"
"Oh, ya. Bolehlah." Aku mengangguk ringan, memotong ucapannya karena aku langsung mengerti apa maksudnya. Kau hanya ingin melampiaskan kekesalan dan keputusasaanmu. Tidak berguna memang duduk-duduk sembari menyumpahi hidup. Namun hal tersebut masih lebih baik daripada berakhir menjadi headline di koran kota besok pagi karena terjun bebas tanpa parasut.
Akhirnya, Kita melewati malam itu dengan menyebut semua kata-kata yang pasti akan membuat guru agama dan Pancasila kita akan menangis malu, dari A sampai Z. Sungguh pertemuan yang memberikan kesan mendalam. Dua manusia yang sedang mengasihani hidup menyedihkan mereka dengan menyumpah-nyumpah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Entah mengapa gue menulis ini. Harusnya malam ini gue ngelanjutin chapter terbaru fanfic gue dan malah berakhir membuat tulisan seperti ini. Mungkin ini sebagai perwujudan tanda hore-hore-bergembira karena telah menemukan spot baru untuk menulis di kost. Di loteng rumah, dengan view langsung ke langit. Sayangnya loteng nggak dilengkapi colokan sehingga gue cuma bisa duduk lima belas menitan di sana, sebelum akhirnya mesti turun lagi dan ngecas laptop. Mana banyak nyamuknya pula.
Tapi oke lah.
Spot barunya bisa menajdi stimulan.
And why I'm telling you this? IDK.
Roooocoococococcooccoo!
See yoou next time!

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?