here |
Atap apartemen ini hampir tidak
memiliki pengunjung kecuali kita berdua. Kadang aku hanya sendirian di sini
bila kamu sedang sibuk-sibuknya di rumah sakit. Kadang kita berdua, bila aku
tidak mendapat jadwal siaran tengah malam dan kamu sedang tidak mendapat
giliran jaga atau operasi di rumah sakit (yang sangat jarang terjadi).
Atap tidak memiliki penerangan yang
cukup, hanya ada satu lampu yang sekarat di dekat pintu masuk, yang menjadi
sumber cahaya besar adalah lampu-lampu dari apartemen lain, lampu
kendaraan-kendaraan yang berebut lahan di jalan raya yang ramai, dan kerlap
lampu mercusuar di ujung pantai yang jauh di ujung sana. Kadang kala, bulan dan
bintang turut memberi sedekah cahaya bila langit sedang bahagia.
Aku menumpangakn kedua tanganku pada
pagar pembatas atap, memandang kepada lautan yang hitam keperakan ditimpa
cahaya bulan yang berstatus supermoon malam ini. Pasti pantai ramai sekali
malam ini dengan pasangan-pasangan yang berpegangan tangan, atau pun kelurga
yang beranggotakan empat atau lima kepala yang menikmati hidangan di pinggir
pantai. Sementara itu aku merenungi kesendirian yang terlalu pagi.
Kita memang tidak memiliki hubungan
apa-apa. Kenal pun tidak terlalu. Kita hanya sesekali tersenyum saat bertemu di
lift, atau melemparkan hai ketika berpapasan di lobi lantai satu. Kita orang
asing yang memiliki keakraban yang aneh hanya karena sering bertemu dan berdiam
diri di atap.
Saat itu aku benar-benar lelah dan
kesal dan marah. Skripsiku memasuki revisi yang kesekian kali dan tak kunjung
mendapat harapan kapan akan benar-benar masuk ke ruang sidang ujian akhir.
Pacarku ketahuan berselingkuh dan ketika aku hendak melabraknya malah aku yang
kena maki karena dianggap kurang memberikan perhatian dan kasih sayang (dalam
hal berpacaran aku mendapat nilai E MINUS). Aku dipindahkan untuk melakukan
program siaran tengah malam, lima hari seminggu aku harus memacu motor maticku
pada jam sembilan malam dan kembali ke apartemen pukul dua pagi. Yang benar
saja, pikirku waktu itu. Perempuan begini disuruh bolak-balik sendirian di
waktu-waktu seperti itu. Aku sempat protes, namun pemimpin siaran yang seksis
itu berpendapat bahwa inilah saatnya dimana wanita bisa setara dengan lelaki.
Dia mengucapkannya dengan penuh sinisme, perwujudan pembalasan dendam pada
makhluk-makhluk tak berdosa atas istrinya yang lari dengan perempuan lain.
Kamu saat itu sedang merenungi
langit dengan pandangan yang penuh tanya dan pengharapan. Lebih tepatnya putus
asa karena cinta yang tidak berbalas (yang ini kuketahui belakangan). Dua
kaleng bir kau habiskan sendiri, dan saat aku datang dengan gebrakan pintu yang
maha dahsyat, kau menyemburkan isi kaleng ketiga dari mulutmu karena terkejut.
Kamu memandangiku dengan pandangan
yang merasa terganggu namun aku merasa tak menganggu siapa pun. Semua orang
punya masalah dan aku sedang tidak ingin berkelahi. Aku ingin berteriak dan
meninju wajah kehidupan yang tengah tersenyum mengejek padaku. Aku ingin
terlibat baku hantam dan menyerang siapa saja. Harusnya aku ikut geng motor
atau begal atau tawuran antarmahasiswa saja. Sialan betul hidup.
Aku sampai pada pagar pembatas,
kupanjat dan kulangkahi dan aku berdiri dengan ujung sepatu yang sudah
menginjak angin. Aku ingat saat itu kau langsung membuang kaleng bir yang
sedang kau teguk dengan rakus dan berlari dan memegang betisku.
"Jangan bunuh diri!" katamu
dengan napas yang terengah-engah, "hidup memang berat namun itu bukan
alasan untuk mengakhiri nyawa sendiri."
Aku memandangmu dengan pandangan
heran bercampur marah. Awalnya aku beranggapan bahwa kau adalah lelaki cengeng
penggemar sinetron. Mungkin sebentar lagi kau meraih tanganku dan mengajakku
menikah agar tidak bunuh diri.
"Ini bukan urusanmu."
kataku. Aku hanya ingin berteriak melampiaskan kekesalanku, siapa pula yang
sinting mau bunuh diri? Namun sepertinya aku memberikan jawaban yang salah
karena kau benar-benar meraih tanganku, dan sayangnya, kau tidak mengajakku
menikah. Perkiraanku meleset.
"Kenapa kamu mau bunuh
diri?"
"Aku tidak ingin bunuh
diri."
"Jangan bohong. Urungkan saja
niatmu. Kau bisa bercerita padaku segalanya."
"Aku benar-benar tidak ingin
bunuh diri, tuan. Aku
hanya ingin memanjat pagar dan berteriak."
"Omong kosong."
"Lepaskan aku." Laki-laki
ini sepertinya punya obsesi tidak sehat terhadap perempuan yang memannjat
pagar.
"Tidak, kau pasti akan terjun.
Ayo turun saja, dan kau bisa menceritakan padaku masalahmu."
"Aku lebih senang
menghajarmu."
"Baiklah, kau bisa
menghajarku."
"Tapi lepaskan aku dulu."
"Tidak, nanti kau terjun."
"ARHRGRGHGRHRGRGHRGHRGHGRGHRGHRGHRGHR!!!"
tanpa memedulikanmu aku berpaling dan berteriak pada jalan-jalan yang ramai di
bawahku. Suaraku menggelegar dan kemudian menghilang. Genggaman pada
pergelangan tanganku semakin erat dan berkeringat. Kau memandangiku dengan
wajah yang ketakutan. Angin yang berhembus tidak mampu mengeringkan keringat
sebesar biji jagung yang keluar dari perlipismu.
"Kenapa kau berteriak?"
"Karena aku ingin berteriak.
Sudah kubilang padamu aku tidak mau bunuh diri. Aku hanya ingin
berteriak."
"Benarkah? Mengapa?"
"Karena hidup itu
brengsek."
Kau tertegun, kurasakan cengkramanmu
melonggar. Pergelangan tanganku kini basah dan memerah. Kau menggumamkan kata
maaf, dan berdiri kikuk di belakangku. Kalau tahu begini, sudah pasti dari tadi
aku mengucapkan kalimat tadi. Sekali-kali dunia ini perlu diberi saran untuk
tidak banyak melahirkan manusia kepo seperti kamu.
Ada jeda yang cukup lama, cukup
untuk memutar tiga buah lagu di radio sampai kau bergerak dan kaki panjangmu
memanjat dan melangkahi pagar pembatas. Kau duduk di sampingku. ratusan meter
di atas tanah.
"Hidup memang
brengseeekkk!!!" teriakmu panjang tanpa gema dan hanya suara klakson mobil
yang ramai menyahuti.
Kemudian, gantian aku yang takut kau
bunuh diri. Badanmu tinggi besar, kalau kau loncat dari sini aku pasti tak akan
mampu menahanmu dan bila aku berusaha menghalaumu, bisa saja aku ikutan
terjatuh dan jadi kornet manusia di bawah sana nanti.
"Kau mau bunuh diri?"
tanyaku, mencoba santai.
Kamu menggeleng, "tidak."
napasmu masih putus-putus setelah berteriak tadi, "kalau pun mau aku tidak
akan memilih bunuh diri dengan meloncat dari ketinggian."
Aku memberikan pandangan penuh tanya
padamu, kau menoleh sekilas padaku dan tersenyum gugup dengan bibir yang bergetar, matamu goyah saat melirik ke bawah, lalu dengan cepat kepalamu tegak kembali seolah diberi penyangga. "Aku, eh, agak takut
ketinggian."
Aku tidak tahu harus bilang apa.
Orang di sampingku ini bodohnya keterlaluan.
"Kampret! Lantas kenapa kau
memanjat?"
"Entahlah, aku tidak tahu.
Aku... aku hanya merasa kalau hidup itu brengsek."
Aku mendelik bingung, jangan-jangan
kau ini bukan bodoh tapi gila. Sial, aku memanjat pagar bersama orang gila dan bisa
saja dia sedang kumat dan mendorongku untuk terjun bersamanya.
“Hidup itu brengsek, karena tidak
peduli seberapa kuat kita berusaha, dia menolak melihat dan memilih untuk
menulikan diri. Tidak peduli seberapa kuat keinginan kita, dia tetap keras
kepala dan enggan mengalah. Tidak peduli … berapa lama … aku berjuang … dia
tidak mau berpaling … “
Seketika itu aku sadar, kau sedang
mengasihani dirimu sendiri. Dugaan sementaraku, kau menderita patah hati (yang
belakangan terbukti benar). Aku memandang dirimu saat itu sebagai salah satu
pendengar siaranku yang sedang menelepon untuk curhat di radio. Aku biasanya
akan mengucapkan kata-kata sok bijak berbunga-bunga dan menenangkan. Namun aku
juga sedang berada pada keadaan yang lebih menyedihkan dari dirimu. Roda akademik,
percintaan, dan pekerjaanku sedang menghadap tanah yang becek, dan aku bingung
harus melakukan apa agar mereka semua naik berhadapan dengan bagian bawah
kereta.
“Hmm, begitulah hidup ….”
“Brengsek.”
"Dan bangsat." sambutku
kemudian. Kau nyengir lebar, matamu menyipit.
"Dan bedebah."
"Dan bajingan."
"Dan... eh, seharusnya kita
memulai dari huruf A."
"Hah?"
"Kita sedang mengabsen
kata-kata kotor, bukan?"
Kita beralih dari dua orang yang
hidupnya sedang brengsek menjadi dua orang yang kurang kerjaan.
"Memangnya kita begitu?"
"Tapi tadi kau---"
"Oh, ya. Bolehlah." Aku
mengangguk ringan, memotong ucapannya karena aku langsung mengerti apa
maksudnya. Kau hanya ingin melampiaskan kekesalan dan keputusasaanmu. Tidak
berguna memang duduk-duduk sembari menyumpahi hidup. Namun hal tersebut masih lebih
baik daripada berakhir menjadi headline di koran kota besok pagi karena terjun
bebas tanpa parasut.
Akhirnya, Kita melewati malam itu
dengan menyebut semua kata-kata yang pasti akan membuat guru agama dan
Pancasila kita akan menangis malu, dari A sampai Z. Sungguh pertemuan yang
memberikan kesan mendalam. Dua manusia yang sedang mengasihani hidup menyedihkan mereka dengan menyumpah-nyumpah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah mengapa gue menulis ini. Harusnya malam ini gue ngelanjutin
chapter terbaru fanfic gue dan malah berakhir membuat tulisan seperti ini.
Mungkin ini sebagai perwujudan tanda hore-hore-bergembira karena telah
menemukan spot baru untuk menulis di kost. Di loteng rumah, dengan view langsung
ke langit. Sayangnya loteng nggak dilengkapi colokan sehingga gue cuma bisa
duduk lima belas menitan di sana, sebelum akhirnya mesti turun lagi dan ngecas
laptop. Mana banyak nyamuknya pula.
Tapi oke lah.
Spot barunya bisa menajdi stimulan.
And why I'm telling you this? IDK.
Roooocoococococcooccoo!
See yoou next time!
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?