[Cerita Lampau] Kemalasan serta Keinginan Untuk Menyalahkan Tuhan

Saturday, March 16, 2019

source

Here it is, tulisanku waktu masih mencari-cari masalah buat bikin skripsi. Bertahun-tahun, kegusaran itu mengikutiku dan sepertinya semakin parah saja akhir-akhir ini. Dulu masih mendingan, masih menyempatkan waktu untuk menulis. Sekarang? Rasanya lebih enak tidur-tiduran saja setelah seharian berkutat dengan banyak orang. Butuh waktu.
Aku membuka-buka kembali file-file lamaku, sebenarnya tadinya ingin mengecek fanfic mana saja yang belum kuselesaikan dan apakah sebaiknya aku menulis fiksi lagi (dan bukan cuma curhatan penuh keluhan seperti beberapa tahun terakhir ini). Namun akhirnya bertemu dengan tulisan yang akhirnya akan kalian baca (jika kalian berniat membacanya). Dulu aku benar-benar kacau meskipun dari luar kelihatan aman-aman saja kepalaku (sampai sekarang pun begitu). Aku meluangkan waktu yang panjang untuk menulisnya, dan sebaiknya kumunculkan ia di sini.
Ini lah dia (dengan sedikit perbaikan).


Circa 2017.
Sepulang dari warung kopi seharusnya aku langsung mempreteli pakaianku, menyisakan celana pendek ketat dan juga dalaman dan bergegas mandi. Namun rasa malas lebih menguasai sehingga aku hanya tidur-tiduran saja di kamar. Menatap langit-langit kamar yang sudah berbercak-bercak tanda tetes-tetes hujan sempat singgah dan meninggalkan jejak coklat jelek di sana, belum lagi debu-debu jamur yang melekat di sana. Malas benar rasanya bergerak sekarang. Tubuh lengket berteriak minta dimandikan, pula dengan bau badan yang tidak terkira ini aku masih enggan bergegas.
Ponselku terus berbunyi nyaring yang menggangu, tanda pesan dari grup sosial media membabi buta datang. Entah berita tidak penting apa lagi yang hadir di sana. Kadang getar-getar itu menjengkelkan sehingga aku lebih senang membuat handphoneku dalam mode diam dari pada harus terganggu dengan bunyi-bunyi yang bahkan aku pun tidak punya kepentingan untuk melihatnya.
Membosankan.
Ya, hidup ini membosankan.
Untuk kamu yang tidak pernah mengalami paksaan rutinitas atau selalu melanglang buana dari satu tempat ke tempat lain tentunya tidak akan merasakan hidup membosankan yang seperti ini. Ah, betapa beruntungnya dirimu.
Waktu pasti sudah malam, entah ini sudah jam tujuh atau baru jam enam. Ah jam tujuh. Aku tertidur selama satu jam lebih, tidur-tidur yang biasanya tidak jauh-jauh dari pengaruh setan, kata orang-orang tua dulu untuk mencegah anak-anaknya tidur saat maghrib tiba. Tapi mau bagaimana lagi, aku lelah dan mengantuk. Satu gelas iced coffee dan satu gelas kopi susu tebal tidak cukup mampu memberikan tendangan kafein untuk membuatku terjaga. Adanya sekarang, kakiku berkeringat dan itu semakin menambah lengket tubuhku. Mau mandi tapi sudah malam. Sekarang sudah pukul delapan. Gila, hanya memikirkan omongan orang tua saja memakan waktu satu jam. Prosesor di dalam kepalaku memang performanya sudah turun, perlu diganti yang baru namun rasanya itu cukup mahal. Mau mengupgrade otak pun tentu membutuhkan waktu yang lama.
Punggungku sakit, begitu juga kepalaku. Tanda lelah bertemu dengan guling yang kerasnya seperti beton. Heran juga aku, orang gila macam apa yang menciptakan bantal guling yang memiliki berat tidak manusiawi ini. Guling ini cocoknya dijadikan bahan untuk pondasi rumah atau pemukul maling. Untuk dipeluk-peluk kala malam rasanya terlalu ironi untuk guling seperti ini.
Rasanya nyaman betul mengosongkan pikiran dan terbaring tanpa harus memikirkan apa pun. Aku mampu melakukannya berjam-jam. Sekarang pun begitu. Sudah lewat beberapa ratus menit dan aku masih tetap pada posisiku semula. Selimut melintang di atas perut, sarung melilit rambut yang kering, mata lelah melihat langit-langit. Aku berkedip, kedip yang lama sekali sampai waktu lewat beratus-ratus menit lagi. Sejenak aku ingin tertawa, tapi pasti mengerikan bagi penghuni rumah yang lain kalau mendengar ada yang tertawa malam-malam begini.
Lampu kamarku masih menyala. Mukaku belum kucuci dan BH masih melekat di dadaku. Ingin kulepas saja tapi malas rasanya, begitu juga keinginan untuk mencuci muka kalah dengan keinginan untuk tetap berbaring. Harus memilih, ingin tetap cantik atau tidur-tiduran. Perut yang tadinya hanya diisi dua gelas kopi dan sepiring kentang goreng enggan bersuara, mungkin sadar diri bahwa keinginannya untuk diisi makanan real sudah pasti akan kalah berdebat dengan kemalasanku.
Ada ketukan di pintu kamarku, juga diiringi sibak pada gorden jendela, kudengar seseorang menyebut namaku, lalu bergumam sendiri betapa cepatnya aku tertidur. Masa bodoh kututup saja mataku. Keterusan dan aku terbangun tengah malam.
Kalau sudah begini, hening lagi-lagi menguasai. Di luar kamar sudah tidak ada orang bercakap-cakap atau pun berlalu lalang. kalau begini, bahkan suara tetes air di keran kamar mandi pun bisa terdengar dengan sempurna dalam irama yang membosankan.
Kalau sudah begini....
... jadi kepengen  mati.
Terus tetiba muncul bayangan seseorang hus-hus ngapain mikirin yang begitu cari mati segala, bosan hidup?
Pengen kujawab iya, tapi pasti aku gila banget ngomong sendiri.
Kuambil handphone. Sudah jam tiga. Tiba-tiba hasrat ingin membersihkan kamar muncul. Cucian di belakang pintu kamar sudah menumpuk, pun dengan piring kotor di bawah meja yang sudah menguarkan bau asam tanda basi minta segera dibersihkan. Lantai kamar diseraki pakaian, tas juga buku-buku yang kemarin sore kubuang serampangan saja saking lelahnya. Beres-beres nggak ya?
Akhirnya, setelah berjam-jam terikat erat dengan kasur, tubuh ini melepaskan diri juga. Namun, bukannya memberesi kekacauan yang ada aku malah membuka lemari bukuku. Melihat tumpukan buku-buku semester awal yang berantakan, juga tiga kotak tinta printer yang kubeli tahun lalu. Kulirik printer baru di dekat meja, warna birunya sudah hampir habis. Demi apa aku malah mengambil tiga kotak tinta itu, membuka semua kotaknya, menggamati tiga botol itu. Kuambil yang warna biru juga suntikannya dan mengisinya tiga kali ke botol tinta yang ada di printer. Setelah itu aku membereskannya kembali, memasukkan botol tinta ke dalam kotak, membereskan sedikit lemari bukuku  dan menata kembali kotak tinta itu agar tidak tumpah di dalam lemari. Selanjutnya, aku memberesi rak di sampingnya, begitu juga dengan jejeran buku-buku di atasnya. Lantas setelah semuanya beres aku telentang lagi di kasur.
Kebodohan macam apa yang sedang kukerjakan sekarang. Kuraih kembali ponselku, membuka lini masa messenger. Orang-orang berulang kali mengganti foto profil juga berita acara malam minggu mereka. Satu feed menarik mata:
"Tuhan tidak akan menguji seseorang di luar batas kemampuan seseorang itu."
Benarkah demikian?
Kadar skeptisku terhadap Tuhan rasanya semakin lama semakin bertambah saja. Bila orang-orang mengetahuinya mungkin aku sudah dicela-cela kafir. Tapi syukurlah, tidak ada yang tahu kecuali aku dan Tuhan itu sendiri. Kalau sudah begini aku ingin saja berbicara kepada Tuhan. Tentu tidak dengan cara berdoa di depan sajadah dan asyik bicara sendiri seperti perempuan yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Mungkin Tuhan bisa tiba—tiba muncul di sampingku, duduk bersila dengan sarungnya, sembari membawa satu centeng teh panas dan bertanya apa yang salah dengan otakku. Tapi, untuk apa Tuhan bertanya bila dia tahu segalanya? Mungkin aku yang akan bertanya. Tapi, untuk apa aku bertanya bila Tuhan sendiri sudah bisa menebak apa yang ingin aku lontarkan kepadaNya? Jadi sepertinya kami tidak akan bercakap-cakap, melainkan hanya saling diam dan memandang seperti sepasang jompo yang terus-menerus hilang ingatan setiap menit.
Saat dirundung banyak masalah, apalagi otak sedang buntu-buntunya, menyalahkan Tuhan memang jalan yang paling mudah untuk diambil. Tinggal mengamuk saja dan bertanya serta berteriak dengan dramatis seperti di film-film. Ada bagusnya juga untuk meraung-raung di bawah hujan deras, bisa saja asal urat malu sudah putus semua. Aku melakukan yang paling gampang dan paling diam. Mengurung diri di kamar, mengubur seluruh tubuh di bawah selimut dan diam saja seperti orang mati alias tidur.
Menangis dan meraung lantas memukul-mukul bantal hanya akan membuat lelah selain itu akan mengundang tanya orang banyak. Kau tentu tak ingin setelah pelepasan stress dan kebencian yang epic, kau dihadapkan pertanyaan mengapa matamu bengkak? mengapa menangis? Kenapa teriak-teriak? Kamu kesurupan? Orang-orang bertanya hanya sekedar basa-basi saja, bukan benar-benar peduli pada apa yang kau rasakan atau apa yang membuatmu menangis. Kalau pun kau masih punya kekuatan untuk bercerita, setelah mendengar kemalangan hidupmu pun mereka hanya akan menyuruh sabar, terimalah, ikhlas lah dan sederet kata-kata penghiburan yang miskin makna.
Ya sudah diam saja.
Itu yang aku lakukan.

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?