source |
Here it is, tulisanku waktu masih mencari-cari masalah buat bikin
skripsi. Bertahun-tahun, kegusaran itu mengikutiku dan sepertinya semakin parah
saja akhir-akhir ini. Dulu masih mendingan, masih menyempatkan waktu untuk
menulis. Sekarang? Rasanya lebih enak tidur-tiduran saja setelah seharian
berkutat dengan banyak orang. Butuh waktu.
Aku membuka-buka kembali file-file
lamaku, sebenarnya tadinya ingin mengecek fanfic mana saja yang belum
kuselesaikan dan apakah sebaiknya aku menulis fiksi lagi (dan bukan cuma
curhatan penuh keluhan seperti beberapa tahun terakhir ini). Namun akhirnya
bertemu dengan tulisan yang akhirnya akan kalian baca (jika kalian berniat
membacanya). Dulu aku benar-benar kacau meskipun dari luar kelihatan aman-aman
saja kepalaku (sampai sekarang pun begitu). Aku meluangkan waktu yang panjang
untuk menulisnya, dan sebaiknya kumunculkan ia di sini.
Ini lah dia (dengan sedikit
perbaikan).
Circa 2017.
Sepulang
dari warung kopi seharusnya aku langsung mempreteli pakaianku, menyisakan
celana pendek ketat dan juga dalaman dan bergegas mandi. Namun rasa malas lebih
menguasai sehingga aku hanya tidur-tiduran saja di kamar. Menatap langit-langit
kamar yang sudah berbercak-bercak tanda tetes-tetes hujan sempat singgah dan
meninggalkan jejak coklat jelek di sana, belum lagi debu-debu jamur yang
melekat di sana. Malas benar rasanya bergerak sekarang. Tubuh lengket berteriak
minta dimandikan, pula dengan bau badan yang tidak terkira ini aku masih enggan
bergegas.
Ponselku
terus berbunyi nyaring yang menggangu, tanda pesan dari grup sosial media
membabi buta datang. Entah berita tidak penting apa lagi yang hadir di sana.
Kadang getar-getar itu menjengkelkan sehingga aku lebih senang membuat
handphoneku dalam mode diam dari pada harus terganggu dengan bunyi-bunyi yang
bahkan aku pun tidak punya kepentingan untuk melihatnya.
Membosankan.
Ya, hidup
ini membosankan.
Untuk kamu
yang tidak pernah mengalami paksaan rutinitas atau selalu melanglang buana dari
satu tempat ke tempat lain tentunya tidak akan merasakan hidup membosankan yang
seperti ini. Ah, betapa beruntungnya dirimu.
Waktu pasti
sudah malam, entah ini sudah jam tujuh atau baru jam enam. Ah jam tujuh. Aku
tertidur selama satu jam lebih, tidur-tidur yang biasanya tidak jauh-jauh dari
pengaruh setan, kata orang-orang tua dulu untuk mencegah anak-anaknya tidur
saat maghrib tiba. Tapi mau bagaimana lagi, aku lelah dan mengantuk. Satu gelas
iced coffee dan satu gelas kopi susu tebal tidak cukup mampu memberikan
tendangan kafein untuk membuatku terjaga. Adanya sekarang, kakiku berkeringat
dan itu semakin menambah lengket tubuhku. Mau mandi tapi sudah malam. Sekarang
sudah pukul delapan. Gila, hanya memikirkan omongan orang tua saja memakan
waktu satu jam. Prosesor di dalam kepalaku memang performanya sudah turun,
perlu diganti yang baru namun rasanya itu cukup mahal. Mau mengupgrade otak pun
tentu membutuhkan waktu yang lama.
Punggungku
sakit, begitu juga kepalaku. Tanda lelah bertemu dengan guling yang kerasnya
seperti beton. Heran juga aku, orang gila macam apa yang menciptakan bantal
guling yang memiliki berat tidak manusiawi ini. Guling ini cocoknya dijadikan
bahan untuk pondasi rumah atau pemukul maling. Untuk dipeluk-peluk kala malam
rasanya terlalu ironi untuk guling seperti ini.
Rasanya
nyaman betul mengosongkan pikiran dan terbaring tanpa harus memikirkan apa pun.
Aku mampu melakukannya berjam-jam. Sekarang pun begitu. Sudah lewat beberapa
ratus menit dan aku masih tetap pada posisiku semula. Selimut melintang di atas
perut, sarung melilit rambut yang kering, mata lelah melihat langit-langit. Aku
berkedip, kedip yang lama sekali sampai waktu lewat beratus-ratus menit lagi.
Sejenak aku ingin tertawa, tapi pasti mengerikan bagi penghuni rumah yang lain
kalau mendengar ada yang tertawa malam-malam begini.
Lampu
kamarku masih menyala. Mukaku belum kucuci dan BH masih melekat di dadaku.
Ingin kulepas saja tapi malas rasanya, begitu juga keinginan untuk mencuci muka
kalah dengan keinginan untuk tetap berbaring. Harus memilih, ingin tetap cantik
atau tidur-tiduran. Perut yang tadinya hanya diisi dua gelas kopi dan sepiring
kentang goreng enggan bersuara, mungkin sadar diri bahwa keinginannya untuk
diisi makanan real sudah pasti
akan kalah berdebat dengan kemalasanku.
Ada ketukan
di pintu kamarku, juga diiringi sibak pada gorden jendela, kudengar seseorang
menyebut namaku, lalu bergumam sendiri betapa cepatnya aku tertidur. Masa bodoh
kututup saja mataku. Keterusan dan aku terbangun tengah malam.
Kalau sudah
begini, hening lagi-lagi menguasai. Di luar kamar sudah tidak ada orang
bercakap-cakap atau pun berlalu lalang. kalau begini, bahkan suara tetes air di
keran kamar mandi pun bisa terdengar dengan sempurna dalam irama yang
membosankan.
Kalau sudah
begini....
... jadi
kepengen mati.
Terus
tetiba muncul bayangan seseorang hus-hus ngapain mikirin yang begitu cari mati
segala, bosan hidup?
Pengen
kujawab iya, tapi pasti aku gila banget ngomong sendiri.
Kuambil
handphone. Sudah jam tiga. Tiba-tiba hasrat ingin membersihkan kamar muncul.
Cucian di belakang pintu kamar sudah menumpuk, pun dengan piring kotor di bawah
meja yang sudah menguarkan bau asam tanda basi minta segera dibersihkan. Lantai
kamar diseraki pakaian, tas juga buku-buku yang kemarin sore kubuang
serampangan saja saking lelahnya. Beres-beres
nggak ya?
Akhirnya,
setelah berjam-jam terikat erat dengan kasur, tubuh ini melepaskan diri juga.
Namun, bukannya memberesi kekacauan yang ada aku malah membuka lemari bukuku.
Melihat tumpukan buku-buku semester awal yang berantakan, juga tiga kotak tinta
printer yang kubeli tahun lalu. Kulirik printer baru di dekat meja, warna
birunya sudah hampir habis. Demi apa aku malah mengambil tiga kotak tinta itu,
membuka semua kotaknya, menggamati tiga botol itu. Kuambil yang warna biru juga
suntikannya dan mengisinya tiga kali ke botol tinta yang ada di printer.
Setelah itu aku membereskannya kembali, memasukkan botol tinta ke dalam kotak,
membereskan sedikit lemari bukuku dan
menata kembali kotak tinta itu agar tidak tumpah di dalam lemari. Selanjutnya,
aku memberesi rak di sampingnya, begitu juga dengan jejeran buku-buku di
atasnya. Lantas setelah semuanya beres aku telentang lagi di kasur.
Kebodohan macam
apa yang sedang kukerjakan sekarang. Kuraih kembali ponselku, membuka lini masa
messenger. Orang-orang berulang kali
mengganti foto profil juga berita acara malam minggu mereka. Satu feed menarik mata:
"Tuhan
tidak akan menguji seseorang di luar batas kemampuan seseorang itu."
Benarkah
demikian?
Kadar
skeptisku terhadap Tuhan rasanya semakin lama semakin bertambah saja. Bila
orang-orang mengetahuinya mungkin aku sudah dicela-cela kafir. Tapi syukurlah,
tidak ada yang tahu kecuali aku dan Tuhan itu sendiri. Kalau sudah begini aku
ingin saja berbicara kepada Tuhan. Tentu tidak dengan cara berdoa di depan
sajadah dan asyik bicara sendiri seperti perempuan yang cintanya bertepuk
sebelah tangan. Mungkin Tuhan bisa tiba—tiba muncul di sampingku, duduk bersila
dengan sarungnya, sembari membawa satu centeng teh panas dan bertanya apa yang
salah dengan otakku. Tapi, untuk apa Tuhan bertanya bila dia tahu segalanya?
Mungkin aku yang akan bertanya. Tapi, untuk apa aku bertanya bila Tuhan sendiri
sudah bisa menebak apa yang ingin aku lontarkan kepadaNya? Jadi sepertinya kami
tidak akan bercakap-cakap, melainkan hanya saling diam dan memandang seperti
sepasang jompo yang terus-menerus hilang ingatan setiap menit.
Saat
dirundung banyak masalah, apalagi otak sedang buntu-buntunya, menyalahkan Tuhan
memang jalan yang paling mudah untuk diambil. Tinggal mengamuk saja dan
bertanya serta berteriak dengan dramatis seperti di film-film. Ada bagusnya
juga untuk meraung-raung di bawah hujan deras, bisa saja asal urat malu sudah
putus semua. Aku melakukan yang paling gampang dan paling diam. Mengurung diri
di kamar, mengubur seluruh tubuh di bawah selimut dan diam saja seperti orang
mati alias tidur.
Menangis
dan meraung lantas memukul-mukul bantal hanya akan membuat lelah selain itu
akan mengundang tanya orang banyak. Kau tentu tak ingin setelah pelepasan
stress dan kebencian yang epic, kau dihadapkan pertanyaan mengapa matamu bengkak?
mengapa menangis? Kenapa teriak-teriak? Kamu kesurupan? Orang-orang bertanya
hanya sekedar basa-basi saja, bukan benar-benar peduli pada apa yang kau
rasakan atau apa yang membuatmu menangis. Kalau pun kau masih punya kekuatan
untuk bercerita, setelah mendengar kemalangan hidupmu pun mereka hanya akan
menyuruh sabar, terimalah, ikhlas lah dan sederet kata-kata penghiburan yang
miskin makna.
Ya sudah
diam saja.
Itu yang
aku lakukan.
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?