Paling Pahit

Saturday, March 30, 2019

source

Omongan paling pahit yang bisa lo bilang ke diri lo sendiri yah "Nyerah aja kali yak, bagusnya?"
Ketika kamu merasa kayak sampah, yang kayaknya ngelakuin apapun nggak ada yang beres.
Minggu kemarin, terjadi sesuatu yang membuatku menanyakan kepantasanku menjadi seorang guru, apakah sebaiknya sa berhenti saja mengajari anak orang dan pulang ke rahim ibu. Sebuah omong-omongan yang sebaiknya tidak kumasukkan ke dalam hati, tapi terus saja mengusikku. Sekali lagi membuatku meragukan diri sendiri.

Siswamu membanding-bandingkan dirimu dengan seseorang yang memang nyatanya lebih baik darimu tentu sangat menyakitkan hati. Jiwa-jiwa muda itu  mengeluarkan pernyataan yang begitu lugas, kasar, namun jujur. Dikatakan dengan keras dan tanpa keraguan di dalam kelas yang sedang hening mengerjakan ujian. Rasanya menyebalkan, namun tak bisa menyangkal juga karena tahu kamu masih sangat jauh dengan kompetensi menjadi guru yang baik untuk mereka. Iya sih kenyataan, tapi tetap saja sakit mendengarnya. 
Rasanya usaha belajar selama enam tahun menjadi sia-sia saja. Susah payah jadi sarjana pendidikan, tapi buntu begini di tahun pertama mengajar. Sekolah lama-lama tapi menjelaskan sesuatu yang mudah kepada siswa saja sudah ngos-ngoson dan mati akal. Sebagai orang yang kehilangan arah, sa mulai merasa kalau ini bukan jalan hidupku. Masih belum tahu mau jadi apa, tapi sepertinya menjadi guru sudah tidak cocok untukku. Apa sebaiknya sa pulang saja ke kampung, dan bergelung menyedihkan di dalam sarangku.
Ini lebay sekali yha? Baru dikatain begitu saja sudah mau menyerah.
Sungguh kepribadian yang lemah ini.
Yha-yha-yha, sekali lagi kembali ke dalam self-pity yang super dekstruktif ini.
Hal-hal seperti itu sudah terjadi beberapa kali. Bukan perbandingan secara langsung. Tapi dari tingkah laku mereka sendiri sudah bisa kutangkap. Apa yang salah dengan diriku ini? Mengapa sangat sulit bagiku untuk berdiri di depan kelas dan memberikan penjelasan yang mudah dimengerti?Pandangan-pandangan yang tak mengerti dan wajah-wajah yang bingung itu.
Sungguh sa benar-benar tidak suka dengan ketololanku ketika berbicara di depan banyak orang. Why I talk too fast? Why I always mumbling something? Why it's really hard too just talking casually to other people? Why it's so hard for me to feel confidence for everything I do and have?
Kenapa sa terlalu lemah sebagai guru?
Kenapa sa tidak punya ambisi? Tidak punya apa-apa yang dicita-citakan? Tidak punya tujuan?
Kalau sudah begini sa kembali lagi mempertanyakan eksistensiku di dunia ini. Rasanya sa hidup di dunia ini hanya untuk menghabiskan napas yang dikasih Tuhan. Sudah mati dalam, tapi langkah hidup belum sampai batasnya. Seperti manusia sekarat yang menunggu kematian datang. Hidup hanya untuk sekedar menghabiskan napas yang tersisa saja.
Kemarin aku memeriksa hasil ujian mereka, dan hampir bisa dipastikan hanya seorang saja yang lulus. Bahkan siswa yang paling pintar di kelas itu saja hanya meraih angka 65. Apa artinya ini kalau bukan kegagalanku sebagai  seorang guru? Hal ini benar-benar menjatuhkan kepercayaan diriku yang tidak seberapa itu.
Sudah kehilangan wibawa di kelas, kini seburuk-buruknya mengajar hanya seorang saja yang melewati passing grade.
Sejujurnya aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri. Saat perjalanan pulang dari sekolah kemarin, kupikir-pikir lagi, kalau seandainya tidak punya dua tanggungan di rumah mungkin ada baiknya sa jadi relawan perang saja atau kabur ke Kutub utara dan jadi pembantu peneliti di sana. Tahu lah, kemungkinan hidup yang lebih rendah atau lebih sedikit kontak dengan manusia. Mungkin bakalan mati kena bom atau mati karena hipotermia. Belum apa-apa, kusudah pikir kematian lagi.
Kadang sa merasa kalau sa ini akan mati muda. Seperti  kedua orang tuaku. Bedanya aku mungkin lebih merana. Setidaknya, kalau pun bakalan mati muda, sa tidak ingin saat-saat terakhirku menjadi miserable dan merepotkan orang banyak. Mati yang cepat, tiba-tiba saja berhenti bernapas dan is death. Mati muda dan perawan, kemungkinan besar berakhir di neraka karena sepertinya catatan malaikat Atid milikku lebih panjang daripada malaikat rekanannya.
Kalau memang, menjadi guru bukan jalanku. Setidaknya beri aku pertanda yang jelas, tempelengkan pertanda itu di wajahku, lemparkan kenyataan itu di hadapanku biar kutak terus mengharapkan diri ini menjadi sosok pendidik kesiangan yang bakalan meluruskan sedikit otak remaja-remaja itu.
Sebenarnya, apa yang salah dengan diriku?

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?