source |
Omongan paling pahit yang bisa lo
bilang ke diri lo sendiri yah "Nyerah aja kali yak, bagusnya?"
Ketika
kamu merasa kayak sampah, yang kayaknya ngelakuin apapun nggak ada yang beres.
Minggu
kemarin, terjadi sesuatu yang membuatku menanyakan kepantasanku menjadi seorang
guru, apakah sebaiknya sa berhenti saja mengajari anak orang dan pulang ke
rahim ibu. Sebuah omong-omongan yang sebaiknya tidak kumasukkan ke dalam
hati, tapi terus saja mengusikku. Sekali lagi membuatku meragukan diri sendiri.
Siswamu
membanding-bandingkan dirimu dengan seseorang yang memang nyatanya lebih baik darimu
tentu sangat menyakitkan hati. Jiwa-jiwa muda itu mengeluarkan pernyataan
yang begitu lugas, kasar, namun jujur. Dikatakan dengan keras dan tanpa
keraguan di dalam kelas yang sedang hening mengerjakan ujian. Rasanya
menyebalkan, namun tak bisa menyangkal juga karena tahu kamu masih sangat jauh
dengan kompetensi menjadi guru yang baik untuk mereka. Iya sih kenyataan, tapi
tetap saja sakit mendengarnya.
Rasanya
usaha belajar selama enam tahun menjadi sia-sia saja. Susah payah jadi sarjana
pendidikan, tapi buntu begini di tahun pertama mengajar. Sekolah lama-lama tapi
menjelaskan sesuatu yang mudah kepada siswa saja sudah ngos-ngoson dan mati
akal. Sebagai orang yang kehilangan arah, sa mulai merasa kalau ini bukan jalan
hidupku. Masih belum tahu mau jadi apa, tapi sepertinya menjadi guru sudah
tidak cocok untukku. Apa sebaiknya sa pulang saja ke kampung, dan bergelung
menyedihkan di dalam sarangku.
Ini lebay
sekali yha? Baru dikatain begitu saja sudah mau menyerah.
Sungguh
kepribadian yang lemah ini.
Yha-yha-yha,
sekali lagi kembali ke dalam self-pity yang super dekstruktif ini.
Hal-hal
seperti itu sudah terjadi beberapa kali. Bukan perbandingan secara langsung.
Tapi dari tingkah laku mereka sendiri sudah bisa kutangkap. Apa yang salah
dengan diriku ini? Mengapa sangat sulit bagiku untuk berdiri di depan kelas dan
memberikan penjelasan yang mudah dimengerti?Pandangan-pandangan yang tak
mengerti dan wajah-wajah yang bingung itu.
Sungguh
sa benar-benar tidak suka dengan ketololanku ketika berbicara di depan banyak
orang. Why I talk too fast? Why I always mumbling something? Why it's really
hard too just talking casually to other people? Why it's so hard for me to feel
confidence for everything I do and have?
Kenapa sa
terlalu lemah sebagai guru?
Kenapa sa
tidak punya ambisi? Tidak punya apa-apa yang dicita-citakan? Tidak punya
tujuan?
Kalau
sudah begini sa kembali lagi mempertanyakan eksistensiku di dunia ini. Rasanya
sa hidup di dunia ini hanya untuk menghabiskan napas yang dikasih Tuhan. Sudah
mati dalam, tapi langkah hidup belum sampai batasnya. Seperti manusia sekarat
yang menunggu kematian datang. Hidup hanya untuk sekedar menghabiskan napas
yang tersisa saja.
Kemarin
aku memeriksa hasil ujian mereka, dan hampir bisa dipastikan hanya seorang saja
yang lulus. Bahkan siswa yang paling pintar di kelas itu saja hanya meraih
angka 65. Apa artinya ini kalau bukan kegagalanku sebagai seorang guru?
Hal ini benar-benar menjatuhkan kepercayaan diriku yang tidak seberapa itu.
Sudah
kehilangan wibawa di kelas, kini seburuk-buruknya mengajar hanya seorang saja
yang melewati passing grade.
Sejujurnya
aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri. Saat
perjalanan pulang dari sekolah kemarin, kupikir-pikir lagi, kalau seandainya
tidak punya dua tanggungan di rumah mungkin ada baiknya sa jadi relawan perang
saja atau kabur ke Kutub utara dan jadi pembantu peneliti di sana. Tahu lah,
kemungkinan hidup yang lebih rendah atau lebih sedikit kontak dengan manusia.
Mungkin bakalan mati kena bom atau mati karena hipotermia. Belum apa-apa,
kusudah pikir kematian lagi.
Kadang sa
merasa kalau sa ini akan mati muda. Seperti kedua orang tuaku. Bedanya
aku mungkin lebih merana. Setidaknya, kalau pun bakalan mati muda, sa tidak
ingin saat-saat terakhirku menjadi miserable dan merepotkan orang banyak. Mati
yang cepat, tiba-tiba saja berhenti bernapas dan is death. Mati muda dan
perawan, kemungkinan besar berakhir di neraka karena sepertinya catatan
malaikat Atid milikku lebih panjang daripada malaikat rekanannya.
Kalau memang,
menjadi guru bukan jalanku. Setidaknya beri aku pertanda yang jelas,
tempelengkan pertanda itu di wajahku, lemparkan kenyataan itu di hadapanku biar
kutak terus mengharapkan diri ini menjadi sosok pendidik kesiangan yang bakalan
meluruskan sedikit otak remaja-remaja itu.
Sebenarnya,
apa yang salah dengan diriku?
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?