Akhir yang Tak Pernah Kita Tahu

Friday, March 29, 2013

Ching-Teng Ko:  “ In fact, when you really like a girl, you’d be happy for her. When you see her finding her Mr. Right,  you will want them to be together and to live happily ever after “
Kita tidak pernah tahu, kemana takdir membawa kehidupan ini.
Aku yang dulu tak pernah memperhatikan dirimu, aku yang begitu sibuk dengan hidupku, kesenanganku, terlena dalam egoku, bermain-main dengan hidup.
Aku tak pernah tahu seperti apa rasanya menyayangi seseorang sampai kau hadir di dalam hidupku, mengusikku dengan tingkahmu yang lembut dan malu-malu. Kamulah yang mengajarkanku rasa kasih ini, kamulah yang menciptakan banyak warna di dalam kehidupanku, kamulah yang menjadikannya sempurna.

Buku-buku tebal. Detensi. Sepi.
Adalah tiga hal yang mempertemukan diriku denganmu. Pertemuan Pertama, setiap kali aku mengingatnya selalu membuatku malu pada diriku sendiri.
"Maaf..." gumammu ketika itu, tak sengaja menjatuhkan sebuah buku tebal hard cover di kakiku. Sukses membuatku mengaduh kesakitan.
"Hati-hati dong kalau mau ngambil buku! Lo kata nih jempol kaki milik nenek moyang lo?!!" teriakku padamu saat itu. Kau hanya mampu menunduk, menganggukkan kepala dan meminta maaf berkali-kali. Aku hanya melengos, kemudian mengambil buku secara acak dan kembali duduk di sudut perpustakaan.
Sungguh, bukan gayaku untuk duduk diam di tempat sepi dan penuh rak-rak buku seperti ini. Kalau bukan karena ancaman tidak naik kelas gara-gara nilai mata pelajaran kimiaku yang bermasalah, aku tentu tidak akan berdiam diri di sini.
Tak lama, kau muncul di hadapanku dengan membawa buku-buku tebal itu. Kau menarik salah satu kursi yang ada dan duduk membelakangiku. Aku mencoba mengabaikan kehadiranmu, namun dengan suasana perpustakaan yang sepi, ditambah lagi hanya ada kau dan aku di dalamnya (tak terhitung penjaga perpustakaan yang sibuk bermain game di meja jaganya) membuatku gusar. Aku tak pernah suka tempat yang sepi.
"Hei, kau!" panggilku setengah berteriak, tak mempedulikan delikan terusik dari sang penjaga perpustakaan.
Kau sedikit menoleh, memandangiku dengan pandangan bertanya-tanya. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Ano... sebenarnya aku sedang menunggu seseorang."
"Siapa?"
"Anak yang dikenai detensi oleh Ibu Ika."
Sial. Itu aku.
Kamu kembali menunduk di depan buku yang kau baca, menulis sesuatu entah apa itu, mengisi waktu menunggumu.
Kamu yang tampaknya biasa-biasa saja, kalem. Membuatku ingin mengerjaimu. Bagaimana kalau kutinggalkan saja detensi ini?
Setelahnya, aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan menuju tempat penitipan barang dan mengambil tasku dari salah satu lokernya.
"Kau pulang saja, sepertinya orang yang kau tunggu tidak akan datang." kataku padanya. Ia hanya mengangkat kepalanya sejenak, lalu kembali menekuni apa yang ada di hadapannya.
Dengan santai aku keluar, namun baru beberapa langkah kurasakan ada sesuatu yang menahan bagian belakang seragamku. Kulihat, kau berdiri dibelakangku.
"Ini, aku sudah membuatkan beberapa soal untuk kau kerjakan. Kau bsia memberikan hasilnya apdaku besok, dan kita lihat materi apa saja yang belum kau mengerti." katamu pelan sembari mengangsurkan kertas itu di tanganku.
Dan seharusnya aku tahu, aku tak menerima kertas pemberianmu itu.
Kertas yang menjadi pengikat kita.
Awal kisah kita.
Here

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?