Hampir pukul dua dini hari, dan kita
bersama puluhan orang ;lainnya masih memadati jalanan. Klakson-klakson
kendaraan nyaring dibunyikan, bersahut-sahutan dengan bunyi terompet dan
ledakan kembang api yang secara sukarela diletuskan oleh orang-orang kelebihan
uang seolah ingin memperpanjang perayaan pergantian tahun. Teman-teman kita
berada jauh di depan, meliuk-liukkan motor guna saling menantang untuk saling
beradu laju. Sementara kamu hanya melajukan motormu di kecepatan 20, terlalu
lambat menurutku.
Jalan-jalan
kemudian menjadi sepi, riuh sehabis pesta tertelan malam. Wajah-wajah mengantuk
berpisah di tikungan, dan jantungku semakin kencang memalu tulang rusukku.
Angin malam membelai pelan, dan mataku mulai kehilangan objek untuk dipandang
selain punggungmu.
Satu
teman berpisah di tikungan sebelum gerbang kompleks.
Dua
pasang berbelok di lorong ketiga.
Teman
yang terakhir berhenti di rumah ketiga sebelum pertigaan.
Kau
membunyikan klakson, pengganti sampai jumpa.
Kini
tinggal kau dan aku. berdua menelusuri sisa perjalanan menuju rumahku. Sisa
perjalanan yang membuatku bingung, antara ingin mensyukuri atau merutuk.
Menghabiskan malam tahun baru bersamamu membuatku mengucapkan satu permintaan
pada kembang api. Permintaan yang dari dulu kubiarkan tertahan di ujung lidah,
kini dengan berani kuminta.
Aku ingin
satu keberanian.
Keinginan
itu menggelinding seperti bola salju. Tubuhku gemetaran, yang jelas bukan
dikarenakan dingin malam. Aku melirik spion motor, mencari-cari alasan aagr aku
tak perlu melakukan hal ini. Namun, hanya pantulan sebagian pipimu yang
tertutupi helm saja yang kulihat.
Aku sudah
menunggu bertahun-tahun. Beragam skenario telah bermain di kepalaku. Dari semua
tempat, dari semua waktu, dari semua kesempatan. Di sini, di atas motormu, dini
hari, aku membulatkan tekat untuk mengatakan semua hal yang bertahun-tahun
kupendam kepadamu.
Satu
belokan lagi rumahku.
Bilang.
Blang.
Bilang.
"Li--“
"Mas--"
"Apa?"
"Apa?"
Kau
terkekeh pelan, kemudian menoleh sedikit. "Kenapa?"
Rasanya
angin awal Januari benar-benar membekukan tubuh. Aku sampai merinding.
Bukan.
Itu karena lirikan matamu.
Ah,
sebaiknya tidak usah kukatakan.
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?