Hampir Kukatakan

Friday, June 9, 2017


Hampir pukul dua dini hari, dan kita bersama puluhan orang ;lainnya masih memadati jalanan. Klakson-klakson kendaraan nyaring dibunyikan, bersahut-sahutan dengan bunyi terompet dan ledakan kembang api yang secara sukarela diletuskan oleh orang-orang kelebihan uang seolah ingin memperpanjang perayaan pergantian tahun. Teman-teman kita berada jauh di depan, meliuk-liukkan motor guna saling menantang untuk saling beradu laju. Sementara kamu hanya melajukan motormu di kecepatan 20, terlalu lambat menurutku. 

Jalan-jalan kemudian menjadi sepi, riuh sehabis pesta tertelan malam. Wajah-wajah mengantuk berpisah di tikungan, dan jantungku semakin kencang memalu tulang rusukku. Angin malam membelai pelan, dan mataku mulai kehilangan objek untuk dipandang selain punggungmu. 
Satu teman berpisah di tikungan sebelum gerbang kompleks.
Dua pasang berbelok di lorong ketiga.
Teman yang terakhir berhenti di rumah ketiga sebelum pertigaan.
Kau membunyikan klakson, pengganti sampai jumpa.
Kini tinggal kau dan aku. berdua menelusuri sisa perjalanan menuju rumahku. Sisa perjalanan yang membuatku bingung, antara ingin mensyukuri atau merutuk. Menghabiskan malam tahun baru bersamamu membuatku mengucapkan satu permintaan pada kembang api. Permintaan yang dari dulu kubiarkan tertahan di ujung lidah, kini dengan berani kuminta.
Aku ingin satu keberanian.
Keinginan itu menggelinding seperti bola salju. Tubuhku gemetaran, yang jelas bukan dikarenakan dingin malam. Aku melirik spion motor, mencari-cari alasan aagr aku tak perlu melakukan hal ini. Namun, hanya pantulan sebagian pipimu yang tertutupi helm saja yang kulihat.
Aku sudah menunggu bertahun-tahun. Beragam skenario telah bermain di kepalaku. Dari semua tempat, dari semua waktu, dari semua kesempatan. Di sini, di atas motormu, dini hari, aku membulatkan tekat untuk mengatakan semua hal yang bertahun-tahun kupendam kepadamu.
Satu belokan lagi rumahku.
Bilang.
Blang.
Bilang.
"Li--“
"Mas--"
"Apa?"
"Apa?"
Kau terkekeh pelan, kemudian menoleh sedikit. "Kenapa?"
Rasanya angin awal Januari benar-benar membekukan tubuh. Aku sampai merinding.
Bukan. Itu karena lirikan matamu.
Ah, sebaiknya tidak usah kukatakan.


No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?