Aku tahu,
hari ini tidak tepat kelahiranmu. Angka 27 Desember hanya asal-asalan kau
tulis ketika gurumu meminta mu pulang bertanya kepada nenek. Jalan pulang
terlalu jauh, sementara tanggal kelahiran dibutuhkan sekarang. Baru
beberapa meter dari sekolah kau berhenti, lantas memilih dengan asal di antara
angka 1 sampai 31 dan kau memilih 27 entah mengapa.
Namun,
meskipun sejarah penanggalan kelahiranmu seperti ini, aku mengikut saja. Karena
begitu menyedihkan rasanya tidak bisa merayakan apa-apa.
Bagaimana
keadaan di akhirat?
Jangan
menjawab karena aku hanya iseng bertanya.
Bagaimana
Tuhan?
Marah kah
ia pada anak gadis mu ini? yang bahkan ketika kau hendak pergi dia tak ada
di sampingmu?
Hidup
memang bajingan.
Aku
paling tua dan paling singkat di sampingmu.
Terlalu bodoh untuk sekedar menebak pertanda.
Terlalu bodoh untuk sekedar menebak pertanda.
Tapi,
penyesalan memang tidak ada gunanya dan aku harap mama mau berdoa di sana agar
anak-anakmu tegar. Agar kami tidak tumbuh menyusahkan orang lain. Cukup Mama
saja yang kami buat susah, tidak perlu orang lain.
Ma, Mama
pergi di saat aku belum siap. Meskipun aku sudah berada dalam dua puluh
lingkaran umur, kedewasaanku sama sekali nol. Rasanya, aku dipaksa dewasa
ketika aku masih ingin bermanja-manja denganmu. Kita mengalami kebersamaan yang
sangat singkat.
Saat ini,
anak-anak gadis yang lain mungkin sedang bermanja-manja dengan ibu mereka.
Bercerita tentang lelaki yang mereka sukai, pula tentang lelaki yang
mengejar-ngejar mereka. Tapi aku di sini hanya mampu bercerita di depan layar
kaca. Berharap kamu membacanya dari atas sana.
Aku gila
mungkin. Mana mungkin di alam bazrah tersedia laptop dan jaringan internet.
Tapi, aku
tulis saja lah, banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu tentang hidupku
setelah Mama pergi. Semoga Tuhan menyampaikan. Tuhan punya banyak cara untuk
melihat, pula mengajakmu melihat anak-anakmu.
Ma, bulan
desember ini adalah bulan yang berat. Terlebih lagi tanggal dua satu,
yang katanya hari ibu. Ingin kuhilangkan tanggal itu dari bulan desember. Tidak
perlu ada dua satu, langsung dua-dua saja dan bulan desember genap bertigapuluh
hari. Hari itu semua orang mengganti display picture mereka dengan foto bersama
ibu mereka, dengan ucapan selamat hari ibu.
Sementara
aku, di sore harinya dibuat menangis oleh adik sendiri. Alan. Alan menelpon,
kupikir ada sesuatu yang gawat terjadi di rumah. Ternyata, dia hanya ingin
menelpon saja.
“Rin,”
“Apa?”
“Hari ibu
ini hari.” Katanya. Aku ingin langsung menjawab, tapi entah mengapa, leherku
tercekat. Aku berusaha sebaik mungkin mengatur napas, dan menelan duri di
tenggorokan. Namun Alan dengan cepat menanggapi jeda sunyi di percakapan
telepon kami. “Yaaaaa kasihan…. Da menangis eeeee….”
Pecah.
Saat itu,
aku tidak peduli bahwa aku tidak menutup pintu kamarku, sehingga teman kostku
dengan mudahnya melihat aku menangis. Aku pun tidak peduli menjadi
kakak yang lemah di hadapan adikku sendiri. Aku menangis saja.
Sedikit meraung-raung kemudian sesenggukan. Lantas mengutuk kehidupan yang
brengsek.
Mengapa
tidak ada lagi yang bisa ku sms bila uang di ATM sudah tidak ada?
Mengapa
tidak ada lagi yang bisa kudengar gosipnya setiap akhir minggu lewat telepon?
Mengapa
tidak ada sosok yang menjadi alasan utama aku menginstal aplikasi ‘Skype’ di
laptopku?
Mengapa
aku harus menjadi yatim piatu?
Mengapa
orang-orang yang bisa kupanggil ‘Pak’ dan ‘Bu’ adalah guru-guruku.
Mengapa
begitu sulit bilang Mama, Papa?
Mengapa aku
tidak bisa menghadiahimu kue, dengan angka 48 (gila!) di atasnya, dengan
gonjrengan gitar Alan yang mengiringi lagu selamat ulang tahun yang Aku
nyanyikan bersama Nur? Mungkin aku akan kabur dari perkuliahan demi membawa
sekotak kue ulang tahun untukmu, yang kemudian akan kamu marahi namun
ujung-ujungnya kamu tidak bisa berlaku apa-apa lagi karena aku yang nekat hasil
turunan sifat nekat darimu datang dengan ceria.
Ma, kini
aku tumbuh sendiri. Seperti sebatang pohon yang hanya satu-satunya di muka
bumi. Berada di hutan belantara tanpa teman satu spesies. Aku terluka dan
menyembuhkan diri sendiri. Berkelana seorang diri, terlalu takut menjadi beban
hidup orang lain. Tidak ada tempat untuk bersandar karena tempatku
bermanja-manja sudah pergi.
Kehidupan
ini ingin kukutuk tapi aku terlalu pengecut kepada Tuhan.
Ingin
marah tapi tolol rasanya memaki takdir.
Jadi
kukatupkan bibir rapat-rapat dengan geligi yang saling bergesek lantas
menyumpah dalam hati ‘kenapa?’
Aku tahu,
banyak yang lebih sial dari pada diriku. Lebih mengerikan jalan hidupnya
disbanding diriku.
Tapi aku
tidak ingin melihat ke bawah.
Aku ingin
melihat ke atas.
Ma, aku
bingung menetukan arah hidupku. Setidaknya, bila engkau ada segalanya bisa
lebih mudah. Sekarang, semua harapan dan beban ada di pundakkku. Dan hidupku
tidak lagi milikku sendiri. AKu tidak bisa berlaku sesuka diriku dan semuanya
menyiksa. Kadang ada keinginan untuk kabur dan menghilang, berharap alien
menginvasi bumi, dan aku diculik, dibawa pergi ke galaksi yang jauh.
Setidaknya
dengan begitu semua harapan orang-orang dan beban yang mereka layangkan apdaku
bisa menghilang.
Egois aku
ya?
Betapa
menyakitkan bagi diriku yang paling singkat berada di sampingmu ketika kau
menderita sakit. Berikut pula kekurang ajaranku selama merawatmu.
Mengapa
Tuhan memberikan cobaan yang kejam bukan kepalang?
Bahkan,
Astaga
sial.
Maaf pun
tak sempat kuucapkan padamu.
Sadis.
Dan aku
sungguh malu kepada mata orang-orang yang selalu saja menanyakan, “Apa pesan
terakhir mamamu?”
Aku hanya
mampu menggeleng, dan berkata, “tidak ada pesan apa-apa. Dia pergi dengan
tenang.”
Lalu
mereka berkata, “Kasihan.”
Kasihan.
Apa
maksud?
Mereka
orang-orang yang terlalu terbiasa pada drama-drama anak yatim piatu di
televisi, yang termakan pada cerita-cerita kejam atau kisah-kisah inspiratif
dari mereka yang tidak berbapak dan beribu.
Kalau
bukan yang yatim piatu di timpa musibah bertubi-tubi,
Ya mereka
akan mengukir prestasi seluas langit setinggi jagad raya.
Kalau
bukan dikasihani, ya dikagumi dengan cara yang menyakitkan.
Kami
anak-anakmu seperti piala yang dipandang-pandangi dengan rasa iba yang ganjil.
Mereka
menaruh harapan yang harus kami penuhi.
Itu
terlalu berat untukku, Ma.
Aku ragu
pada diriku sendiri.
Aku tidak
suka.
Ma,
kedewasaanku, Alan, dan Nur tumbuh tidak pada waktunya. Kedewasaan datang
terlalu cepat. Kami mulai membahas hal-hal yang tidak seharusnya kami bahas.
Pikiran-pikiran kami mulai tercemar.
Masalah
pembagian harta, tanah, uang. Orang-orang mulai meracuni kami dengan hal-hal
gono-gini.
Bayangkan.
Maaaaaa….
Kenapa
kamu pergi cepat sekali?
Aku masih
ingin pelukan, juga nasi goreng lezat bukan kepalang buatanmu.