here |
Alooooo!
How many days I
miss to post #NulisRandom2015?
Almost five I
think.
Well, kemarin dulu
gue baru pulang dari kampung halaman bapak gue, tempat di mana sinyal operator
yang gue pake untuk modem tuh nggak ada alhasil hue nggak bisa nge-net dan
posting. Well, sebenarnya gue udah nulis konsep sih di catatan ponsel,
sayangnya di ponsel gue nggak bisa masuk ke akun email gue yang mana
mengakibatkan gue nggak bisa post. Jadinya gue berhutan cerita pemirsaaaa… gue
berhutang lima cerita untuk tantangan ini. Dan karena gue terlalu sibuk
merajut—dan kemudian membongkar kembali rajutan tersebut dan menggantinya
dengan pola yang baru—gue jadi males buat nulis. OmeJi. Itu kelemahan gue. Udah
lima hari gue nggak nulis, lalai dari tantangan ini dan gue balik ke kebiasaan
lama gue. Bermalas-malasan.
Tapi gue harus bisa
membayar hutang cerita itu, gue udah punya konsep dan gue harap gue bisa
menuliskannya diantara pengerjaan proyek rajutan gue. Banyak hal yang mau gue
ceritakan tentang perjalanan gue ke kampung halaman bapak gue. Tentang
perjalanan itu sendiri, keluarga bapak gue, cerita-cerita masa kecil bapak dan
apa yang gue dapatkan dari cerita tersebut, dan apa yang gue harapkan dari diri
gue setelah perjalanan ini.
Jadi, untuk
sementara waktu berikan gue kesempatan untukk menyusun cerita tersebut dan gue
bakalan bercerita tentang kultum (kuliah tujuh menit) yang gue denger di antara
shalat Isya dan Tarawih tadi. Gue nggak terlalu merhatiin penceramah pas
awal-awal dia membuka kultumnya—secara gue merajut pada saat itu, yes. Gue bawa
rajutan ke mesjid—, nada dan irama suaranya juga cenderung biasa aja seperti
penceramah kebanyakan. Tapi kalau disimpulkan isi ceramahnya sih tentang
hubungan orang tua dan anaknya. Bagaimana ada kewajiban dan hak yang dimiliki
dua komponen dalam keluarga tersebut. Tadi penceramahnya bilang kalau kita
harus berbakti pada orang tua kita (ya iyalah, kisanak!), bagaimana kita harus
berperilaku pada ke dua orang tua kita. Bagaimana akibatnya kalau kita nggak
berbakti pada orang tua kita. Ya… seperti itulah intinya.
“….bagi hadirin
sekalian yang ada di sini, apabila anda masih memiliki kedua orang tua anda
atau salah satunya, maka berbaktilah pada mereka, sayangilah mereka, bla-bla-bla…
neraka…. Bla-bla-bla….”
Okayyyyy…. Neraka
sudah disebut-sebut.
Apa bila kita tidak
berbakti kepada orang tua, maka kita akan masuk neraka.
Pas penceramahnya
bilang kayak gitu, gue jadi mikir…..
Gue kan suka
membantah gitu sama orang tua gue.
Gue suka sewot sama
Bapak-Mams gue.
Gue suka dongkol
kalau disuruh ini itu sama mereka.
Terus gue gimana
dong? Gue bakalan abadi dong di neraka? Soalnya kan sebelum Bapak sama Mams
balik ke kampung halaman mereka yang sekian juta ribu tahun cahaya dari alam
hidup gue ini, gue belum sempat minta maaf sama mereka.
Really?
Seseorang di dalam
kepalaku berkata, “Bisa jadi sih, Rin. Lo kan bandel gitu. Masuk neraka nggak
mau, giliran dilarang membantah sama orang tua lo nggak mau. Emak lo aja sering
lo sewotin.”
Yah, gue udah
ngantongin kunci pintu neraka nih.
Kok tiba-tiba gue
ngerasa ancur banget yah?
Gue langsung
ngerasa semua dosa-dosa gue sama orang tua gue, kalau dipake buat bunuh gue,
gue nggak hanya bakalan mati tapi juga hilang tanpa sisa sampai ke
atom-atomnya, lenyak tanpa jejak *ini apaan sih?*.
Kemudian gue
cheriing up diri sendiri, “Riiinnnn!!!! Jangan tebar beling di mesjid! Malu
tahu diliatin orang-orang. Tari kembali-tarik kembali, turunkan suhu mata lo.
Awas air panas!”
Intinya gue masih
mencari-cari dalam kebingungan gimana caranya menghapus dosa gue. Minimal,
kalau seandainya prinsip dosa dan pahala manusia itu menganut asas tukar
menukar—dimana sekian pahala bisa dipake untuk menebus dosa—gue pengen tahu
seberapa banyak dosa yang gue buat sama orang tua gue supaya gue bisa cari
pahala untuk dipake menebus dosa-dosa gue ke mereka.
Itu pun kalau gue
mampu menebus dosa mengingat banyaknya hal bodoh yang gue perbuat kepada orang
tua gue.
“Penyesalan datang
belakangaaaaannnnn…..”
Tapi-tapi-tapi,
kalau gue mekakukan kebaikan—mencari pahala—untuk menebus dosa-dosa gue dan
supaya nggak masuk neraka, berarti gue oportunis dan pamrih dong? Nggak
melakukan semua kebaikan hanya demi Tuhan semata dong?
Duh, terkadang,
menjadi makhluk yang punya banyak dosa itu membingungkan.
Sekedar saran buat
kalian yang baca postingan ini, berhenti lah berbuat dosa. Nanti susah buat
menghapusnya.
*Seseorang: “Kan
ada yang namanya tobatttttt!!!”
Tobat sih bisa,
tapi beban moralnya itu yang ngeri.
No comments:
Post a Comment
Kalau menurutmu, bagaimana?