Kultum Malam Ini dan Postingan-Postingan yang Belum Ditulis

Tuesday, June 23, 2015

here
Alooooo!
How many days I miss to post #NulisRandom2015?
Almost five I think.
Well, kemarin dulu gue baru pulang dari kampung halaman bapak gue, tempat di mana sinyal operator yang gue pake untuk modem tuh nggak ada alhasil hue nggak bisa nge-net dan posting. Well, sebenarnya gue udah nulis konsep sih di catatan ponsel, sayangnya di ponsel gue nggak bisa masuk ke akun email gue yang mana mengakibatkan gue nggak bisa post. Jadinya gue berhutan cerita pemirsaaaa… gue berhutang lima cerita untuk tantangan ini. Dan karena gue terlalu sibuk merajut—dan kemudian membongkar kembali rajutan tersebut dan menggantinya dengan pola yang baru—gue jadi males buat nulis. OmeJi. Itu kelemahan gue. Udah lima hari gue nggak nulis, lalai dari tantangan ini dan gue balik ke kebiasaan lama gue. Bermalas-malasan.

Tapi gue harus bisa membayar hutang cerita itu, gue udah punya konsep dan gue harap gue bisa menuliskannya diantara pengerjaan proyek rajutan gue. Banyak hal yang mau gue ceritakan tentang perjalanan gue ke kampung halaman bapak gue. Tentang perjalanan itu sendiri, keluarga bapak gue, cerita-cerita masa kecil bapak dan apa yang gue dapatkan dari cerita tersebut, dan apa yang gue harapkan dari diri gue setelah perjalanan ini.
Jadi, untuk sementara waktu berikan gue kesempatan untukk menyusun cerita tersebut dan gue bakalan bercerita tentang kultum (kuliah tujuh menit) yang gue denger di antara shalat Isya dan Tarawih tadi. Gue nggak terlalu merhatiin penceramah pas awal-awal dia membuka kultumnya—secara gue merajut pada saat itu, yes. Gue bawa rajutan ke mesjid—, nada dan irama suaranya juga cenderung biasa aja seperti penceramah kebanyakan. Tapi kalau disimpulkan isi ceramahnya sih tentang hubungan orang tua dan anaknya. Bagaimana ada kewajiban dan hak yang dimiliki dua komponen dalam keluarga tersebut. Tadi penceramahnya bilang kalau kita harus berbakti pada orang tua kita (ya iyalah, kisanak!), bagaimana kita harus berperilaku pada ke dua orang tua kita. Bagaimana akibatnya kalau kita nggak berbakti pada orang tua kita. Ya… seperti itulah intinya.
“….bagi hadirin sekalian yang ada di sini, apabila anda masih memiliki kedua orang tua anda atau salah satunya, maka berbaktilah pada mereka, sayangilah mereka, bla-bla-bla… neraka…. Bla-bla-bla….”
Okayyyyy…. Neraka sudah disebut-sebut.
Apa bila kita tidak berbakti kepada orang tua, maka kita akan masuk neraka.
Pas penceramahnya bilang kayak gitu, gue jadi mikir…..
Gue kan suka membantah gitu sama orang tua gue.
Gue suka sewot sama Bapak-Mams gue.
Gue suka dongkol kalau disuruh ini itu sama mereka.
Terus gue gimana dong? Gue bakalan abadi dong di neraka? Soalnya kan sebelum Bapak sama Mams balik ke kampung halaman mereka yang sekian juta ribu tahun cahaya dari alam hidup gue ini, gue belum sempat minta maaf sama mereka.
 Really?
Seseorang di dalam kepalaku berkata, “Bisa jadi sih, Rin. Lo kan bandel gitu. Masuk neraka nggak mau, giliran dilarang membantah sama orang tua lo nggak mau. Emak lo aja sering lo sewotin.”
Yah, gue udah ngantongin kunci pintu neraka nih.
Kok tiba-tiba gue ngerasa ancur banget yah?
Gue langsung ngerasa semua dosa-dosa gue sama orang tua gue, kalau dipake buat bunuh gue, gue nggak hanya bakalan mati tapi juga hilang tanpa sisa sampai ke atom-atomnya, lenyak tanpa jejak *ini apaan sih?*.
Kemudian gue cheriing up diri sendiri, “Riiinnnn!!!! Jangan tebar beling di mesjid! Malu tahu diliatin orang-orang. Tari kembali-tarik kembali, turunkan suhu mata lo. Awas air panas!”
Intinya gue masih mencari-cari dalam kebingungan gimana caranya menghapus dosa gue. Minimal, kalau seandainya prinsip dosa dan pahala manusia itu menganut asas tukar menukar—dimana sekian pahala bisa dipake untuk menebus dosa—gue pengen tahu seberapa banyak dosa yang gue buat sama orang tua gue supaya gue bisa cari pahala untuk dipake menebus dosa-dosa gue ke mereka.
Itu pun kalau gue mampu menebus dosa mengingat banyaknya hal bodoh yang gue perbuat kepada orang tua gue.
“Penyesalan datang belakangaaaaannnnn…..”
Tapi-tapi-tapi, kalau gue mekakukan kebaikan—mencari pahala—untuk menebus dosa-dosa gue dan supaya nggak masuk neraka, berarti gue oportunis dan pamrih dong? Nggak melakukan semua kebaikan hanya demi Tuhan semata dong?
Duh, terkadang, menjadi makhluk yang punya banyak dosa itu membingungkan.
Sekedar saran buat kalian yang baca postingan ini, berhenti lah berbuat dosa. Nanti susah buat menghapusnya.
*Seseorang: “Kan ada yang namanya tobatttttt!!!”

Tobat sih bisa, tapi beban moralnya itu yang ngeri.

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?