Perkara Baca-Baca, Haruskah?

Saturday, June 13, 2015

here


Aloooo!
Awal puasa dan akhir puasa (Lebaran) hampir semua orang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara akrab dengan kegiatan baca-baca, entah gimana kalau orang Sulawesi lain atau orang-orang di pulai lainnya, apakah mereka baca-baca juga atau enggak. Nah baca-baca ini semacam kegiatan syukuran gitu deh, di mana biasanya disediakan hidangan makanan dan ada pemuka agama yang akan membaca doa. Kegiatan ini merupakan lambang atau cara kita bersyukur kepada Tuhan karena masih diberikan kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan Ramadhan. Hmmm, nggak cuma pas masuk bulan Ramadhan aja sih, tpai pas ada acara-acara penting lainnya biasanya jug abaca-baca alias syukuran.
Baca-baca = syukuran.

Dan well, intro dikit, karena Mama udah pulang otomatis segara urusan rumah tangga jatuh ke tangan gue (Paksa dewasa! Paksa dewasa!). Dan sebagai seorang kepala rumah tangga (Ya Tuhan beratnya istilah ini….) gue harus menyesuaikan diri dan mau nggak mau gue harus mengurusi  hal-hal yang belum waktunya gue urusin. Salah satunya adalah, baca-baca alias syukuran.
Dan di sini lah gue, sebagai orang yang socially misfit, bakalan dianggap nggak punya ada nggak punya kesadaran sosial nggak punya rasa syukur sama orang-orang yang benar-benar mewajibkan acara baca-baca ini.
Awal cerita tadi gue ngumpul bareng nenek, tante dan sepupu gue. Kita cerita-cerita gitu deh ngalor-ngidul sampai mereka mulai bahas bulan Ramadhan. Sampai di situ, gue bertanya.
“Haruskah kita baca-baca kalau masuk puasa?”
Mereka kompak bilang harus, tapi nggak harus-harus amat sih. Sekali lagi, itu untuk mensyukuri datangnya bulan ramadhan. Sudah jadi kebiasaan wajib untuk mengadakan acara baca-baca (syukuran kecil-kecilan) ini. Duh bingung.
Semacam gimana ya kalau kita pinjam istilah hukum islam? Yang nggak wajib, tapi dianjurkan. Hmmm. Itu. (Ya Ampun istilah agama sendiri aja lo lupaaaaa!) #dor
Terus gue nyeletuk, “Mestikah? Kalau kita tidak lakukan bagaimana?”
Kompak lagi dah gue dibilangin, “Astaga Rin, ko Muhammadiyah kah?”
Lhaa ini kenapa bawa-bawa Muhammadiyah? Salah Muhammadiyah apa?
Tolong, bagi anda yang beraliran Muhammadiyah, bila anda sedang membaca postingan ini tolong bacalah tanpa ada tendensi apa-apa. Tidak ada niat untuk menjelek-jelekkan aliran dalam postingan ini. Yang menulis hanya orang yang tidak tahu apa-apa dan masih perlu banyak belajar (agama!)
Salah satu tante gue menjelaskan, “Muhammadiyah itu to Rin, dia tidak pake acara-acara begitu. Semacam tidak mau merepotkan, tidak rempong kayak kita-kita ini. Kalau kamu mau baca-baca atau tidak, itu terserah kau. Itu kan cuma adat saja, kebiasaan.”
Nah, sepanjang hidup gue ini, gue cuma punya satu agama yang gue anut (ya iyalah), Islam. Tanpa embel-embel. Islam ya islam. Sekali pun shalat gue suka telat dan bolong, sekali pun gue malas ngaji, doa yang ditahu cuma doa makan sama doa untuk orang tua. Ya gue islam. Di KTP gue pun cuma islam, nggak ada tambahan ekor. Jadi gue pun nggak tahu gimana pola pikir atau adat atau kebiasaan orang-orang beraliran Muhammadiyah ini. #Duh Ini Kok Malah Meluas Ke Urusan Aliran Sih
Nah, balik lagi ke acara baca-baca tadi.
Gue bertanya-tanya gitu. Kenapa sih orang-orang selalu melakukan kegiatan ini saat memasuki awal bulan Ramadhan?
Orang-orang bilang, untuk mempertahankan adat kebiasaan.
Kalau saya nggak mau gimana?
Maksudnya, waktu dulu zaman nabi orang-orang rempong nggak sih dengan hal ginian? Apakah nabi menganjurkan kita untuk melakukan hal-hal seperti ini?
Suer, ini serius gue nanya karena gue buta banget sama hal-hal yang seperti ini.
Gue butuh alasan.

Gue butuh alasan yang selain melakukan hal seperti ini karena adat kebiasaan, karena semua orang melakukan maka gue juga harus ngelakuin ini, karena kalau nggak ngelakuin ini gue  akan dianggap misfit.

No comments:

Post a Comment

Kalau menurutmu, bagaimana?